“Ren, aku cinta kamu” kataku waktu itu, saat ketemu Renjani yang ketiga kalinya. Setelah ngucapin kata-kata itu, beban ku sedikit berkurang. Ya, beban memendam rasa yang selama ini ku simpan. “Sinting kamu, ya…. Berani-beraninya ngomong gitu” kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir perempuan yang selama ini aku puja-puja. Ah…. Andaikan saja aku tidak secepat itu ngomong “Ren, aku cinta kamu,” mungkin akan beda jawaban yang aku terima. Minimalnya, Renjani tidak akan ngomong seperti itu…. tapi, aku ngga mau terlalu berandai-andai lebih jauh. Karena andaian itu, hanya akan membuat aku lupa.
Lelah rasanya badan ini, setelah lima jam aku habiskan di atas kasur tipis, dalam kamar ukuran 2×1 m ini. Meskipun udah larut malam, namun mata belum juga mau untuk diajak tertutup. Kata-kata kemarin siang masih sulit untuk aku lupakan. Terlalu berat untuk bisa aku enyahkan dalam waktu singkat. Angin dingin di luar menuntun aku untuk segera melangkahkan kaki, membiarkan tubuhku diperkosa oleh dinginnya yang membanting tulang rusukku, yang semakin hari semakin menonjol keluar.