Rambutnya yang enggan disentuh sisir terlihat tetap halus menutupi separuh wajahnya yang seminggu ini terlihat murung. Diamnya jelas membebani setiap langkahnya yang tak lagi ringan. Jejak-jejak kakinya terlihat gontai tertatih. Dia tak lagi berlari atau pun melayang bebas. Seperti banyak tanya yang membebani langkah itu untuk melesat bebas meraih mimpi-mimpinya yang selalu bersenandung. Bahkan keyakinannya tentang mimpi-mimpinya itu seperti nyanyian yang meyejukkan. Seperti gelitik tawa bayi yang begitu renyah di telinga.
Hujan tak kunjung reda. Daun-daun basah berkilauan ketika terpantul lampu teras. Dingin begitu lengkap. Terbayangkan air yang dibawa commulus nimbus dari segala penjuru mata air di bumi ini berkeliling ke mana angin menghembuskannya hingga satu perintah sakral memintanya untuk tumpah ruah menjadi butiran hujan. Bumi beserta isinya pun bersuka cita. Dan Tuhan sangat adil memberlakukan itu. Begitu juga dengan berbagai pertanyaan yang tumpah ruah menghujami hatinya saat itui. Pertanyaan serangkaian puzzle itu membungkamnya bisu. Diteguknya kopi yang mulai dingin. Pahit di lidah itu seperti candu baginya. Sekali lagi dia melayang mengarungi ruang tanpa batas.
...