Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Ruang Tanpa Batas...

18 April 2011   12:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 58 0
Hujan malam ini seperti sudah diramalkannya karena mengingat mendung yang menghiasi cakrawala sejak siang menjelang. Secangkir kopi masih mengepul dan dua batang rokok putih sisa kemarin menemaninya di teras kantor yang kini menjadi rumah keduanya. Lagi-lagi ia berkutat pada pertanyaan yang sama. Bagaimana jika semua ini terhenti seketika? Adakah cahaya itu menuntunnya untuk pulang? Butiran hujan yang tak lagi terlihat jatuh satu-satu bersenandung meluruhkan hatinya yang selama ini gersang. Hatinya menangis dalam diam. Pertanyaan itu semakin sering menggelayuti doa-doanya ketika malam tiba.

Rambutnya yang enggan disentuh sisir terlihat tetap halus menutupi separuh wajahnya yang seminggu ini terlihat murung. Diamnya jelas membebani setiap langkahnya yang tak lagi ringan. Jejak-jejak kakinya terlihat gontai tertatih. Dia tak lagi berlari atau pun melayang bebas. Seperti banyak tanya yang membebani langkah itu untuk melesat bebas meraih mimpi-mimpinya yang selalu bersenandung. Bahkan keyakinannya tentang mimpi-mimpinya itu seperti nyanyian yang meyejukkan. Seperti gelitik tawa bayi yang begitu renyah di telinga.

Hujan tak kunjung reda. Daun-daun basah berkilauan ketika terpantul lampu teras. Dingin begitu lengkap. Terbayangkan air yang dibawa commulus nimbus dari segala penjuru mata air di bumi ini berkeliling ke mana angin menghembuskannya hingga satu perintah sakral memintanya untuk tumpah ruah menjadi butiran hujan. Bumi beserta isinya pun bersuka cita. Dan Tuhan sangat adil memberlakukan itu. Begitu juga dengan berbagai pertanyaan yang tumpah ruah menghujami hatinya saat itui. Pertanyaan serangkaian puzzle itu membungkamnya bisu. Diteguknya kopi yang mulai dingin. Pahit di lidah itu seperti candu baginya. Sekali lagi dia melayang mengarungi ruang tanpa batas.

...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun