Aku ingin senyum, bukan tangisan
Jika aku ingin membeli,
Aku ingin bernafas, bukan kematian
Jingga apa? warna apa? bedebah apa,
Jawabnya, itu naluri bukan pertapa,
Jujur, meski maskulin tak pantas ada,
Jantung langit juga liar mendekap bara
Tuhan, Tuhan, Tuhan,
Ampun, ampun, ampun,
Kereta badai menghujam dinding epidermis,
Harapan berderai, seakan biduk bersujud miris
Hari terkapar resah, dalam untaian sang pesimis
Seharusnya progeni berkelakar, lalu optimis
Tanpa ampun, amarah racunmu meneror
Tak tampak lagi peraduan maafmu mengalir
Tempat aman kian bringas menjadi kotor
Titah amanat semakin tak terhiraukan terukir
Tembang lara semakin sendu tak berpelipur
Aku hanya ingin,
Tak ada lagi tangisan di dunia ini,
Sebab tangisan selalu mengisyaratkan duka
Aku hanya ingin,
Tempat sembilu ini tak mengalir lagi,
Seakan menimpa mereka yg tak berdosa
Tuhan, akankah fakta mengingkari fakta?
Tuhan, bisakah musibah berganti mujizat ?
Tuhan, pernahkah kehidupan berlalu dari derita?
Tuhan, mampukah vonis itu harus diperlambat?
Oleh : Abdy Busthan,
Surabaya, November 2013
____________