Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Membenahi Fungsi Sosialisasi Politik atau Partai akan Bubar Dengan Sendirinya Sebab Rakyat Semakin Sadar akan Kebutuhan Politik

18 September 2022   07:00 Diperbarui: 18 September 2022   07:03 161 1
A. Indikator Pemerintahan Berjalan Baik Yakni Partai Semakin Sedikit

Semakin sedikit partai adalah indikator pemerintahan sebagai alat negara telah melakukan hal yang baik untuk masalah sosial dan ekonomi. Pun begitu sebaliknya, jika makin tumbuh banyak partai dan apalagi ada sosok independen yang mendeklarasikan diri mau masuk ke jajaran jabatan publik atau pemerintahan, maka negara tersebut di salah satu alatnya yakni pemerintah tidak baik memenuhi kebutuhan idiil atau rasa aman dalam mengatur hubungan pergaulan hidup rakyatnya, dan tidak baik memenuhi kebutuhan materiil atau ketenangan mengatur pemenuhan hajat hidup rakyatnya.

Lalu apakah kelompok yang berkesempatan pada saat itu menjalankan penyelenggaraan pemerintahan harus memperkecil atau mensedikitkan partai. Saya rasa ini adalah arogansi partai/kelompok yang lagi berkuasa saat itu menghalangi rakyat suatu negara Itu untuk memenuhi kebutuhan idiil dan materiilnya. Saya rasa semua paham apa itu negara, bentuk dan sistem negara serta sistem pemerintahan.

Bangsa Indonesia punya UUD 45 dalam menetapkan bentuk dan sistem negara serta sistem pemerintahan. Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam mengisi jabatan publik atau pemerintahan jelas bergantung pada partai sebagai salah satu alat negara berbentuk republik, untuk merekrut atau mengisi jabatan-jabatan alat negara yakni pemerintahan.

Dari pemahaman ini, bentuk negara republik baik-buruknya pemerintahan dan capaian indikator program pemerintahan bergantung baik-buruknya partai dalam merekrut anggotanya serta kualitas pendidikan dan pelatihan anggota partai tersebut dalam mengisi jabatan publik untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan.

Pemahaman ini, republik menghendaki adanya sosialisasi politik yang merata pada publik/rakyat agar bisa menjalankan penyelenggaraan pemerintahan republik tersebut. Dari sini, tujuan akhir dari adanya negara republik dengan salah satu alatnya yakni pemerintahan untuk mencapai cita-cita negara yang di Indonesia sesuai pembukaan UUD 45, bergantung negara tersebut bagaimana mengatur alat negara untuk mengisi jabatan publik yakni partai sesuai pembukaan UUD 45 tersebut.

Bisa dipahami, maju tidaknya suatu negara republik Indonesia ini bergantung bagaimana membenahi sistem kepartaian agar benar-benar menjadi alat negara untuk merekrut yang akan menjalankan pemerintahan, salah satu alat negara terpenting tersebut.

Pemahaman membenahi disini yakni perihal sosialisasi politik. UU kepartaian kita tinggal mengatur dan menekankan pentingnya sosialisasi politik sebagaimana pembukaan UUD 45. Selama ini, pengaturan kepartaian tentang sosialisasi politik ini seperti diserahkan apa adanya menurut partai itu sendiri, seperti partai-partai di republik ini bukan alat negara saja.

Kita sepakat UUD 45 sebagai dasar negara, kita sepakat mendirikan negara sebagaimana susunan yang diletakkan dasarnya sebagaimana pembukaan UUD 45, tapi alat negara untuk merekrut personel yang akan menjalankan penyelenggaraan pemerintahan negara yakni partai tentang sosialisasi politik bergantung keinginan partai itu sendiri, bagaimana kalau partai-partai tersebut mensosialisasikan pada anggotanya tidak sesuai pembukaan UUD 45?

Saya tidak mengatakan bahwa penyelenggara pemerintahan yang ada sekarang tidak paham UUD 45, hingga negara ini lambat mencapai cita-cita negara atau malah seperti salah urus hingga melenceng dari kepentingan negara. Kebijakan penting pemerintahan seperti menyingkirkan kebutuhan politik rakyat dan hanya seperti kemauan segelintir elit kepentingan semata.

Saya rasa, ini sebab penyelenggara pemerintahan alat negara ini diisi oleh orang-orang dari partai yang gagal mensosialisasikan UUD 45 atau partai tersebut memang tidak menjalankan fungsi sosialisasi politik. Presiden dan DPR di isi dengan partai, dua lembaga tinggi negara ini yang menentukan kebijakan hingga ke hal yang remeh-temeh tentang yudikatif, pertahanan, keamanan, dan segala urusan idiil maupun materiil, hal-hal yang sangat urgen-penting lainnya.


B. Meningkatkan Fungsi Sosialisasi Politik Adalah Jaminan Partai Pada Rakyat Akan Memimpin Negara Ini Dengan Baik

Iya ini soal kepemimpinan pemerintahan entah di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kualitas kepemimpinan ini bergantung pada kualitas sosialisasi politik dari partai. Harapan dari sini bagaimana meminimalisir individu-individu yang hanya bernafsu berkuasa belaka sebab punya kekuatan, meminimalisir individu-individu yang sok tinggi ilmu lulusan universitas terbaik tapi tidak paham mengelola negara sebagaimana cita-cita pendiri bangsa yang dituangkan dalam pembukaan UUD 45 serta batang tubuhnya.

Meminimalisir individu-individu yang sok punya pengertian pemahaman yang baik tapi tidak bisa memahami bangsa ini, meminimalisir itu semua kesimpulan saya adalah kualitas sosialisasi politik dari partai-partai yang ada di Indonesia ini sebagai alat negara untuk mengisi personel pemerintahan.

Saya rasa semua paham apa itu sosialisasi, poin penting keteraturan kemasyarakatan agar anggota-anggota masyarakat tidak melenceng dari norma dan nilai kemasyarakatan. Dari sini kenapa sangat menggelikan ketika mau pemilu partai membuka pendaftaran untuk jadi caleg dari partai tersebut atau melakukan konvensi dari bukan anggota partai untuk nantinya dijadikan calon presiden.

Mungkin yang dianggap lazim dan penanda partai itu buruk adalah ketika partai tersebut memburu individu yang popularitas atau elektabilitas tinggi untuk dicalonkan di legislatif maupun eksekutif. Pendapat saya, jangan pilih itu partai dan individu yang dicalonkan tersebut, sebab itu adalah sumber kekacauan dan bibit fasis yang akan berkuasa. Saya menganggap partai tersebut telah melanggar UU kepartaian yang menyatakan partai sebagai alat sosialisasi politik negara. Jangan dukung dan pilih partai pelanggar UU kepartaian tersebut.

Memuakkan bagi yang paham, ketika ada individu independen menaikkan popularitas dan elektabilitasnya untuk dapat menjadi pejabat publik, buruk sekali jika individu independen itu malah diambil partai untuk dicalonkan mengisi jabatan publik. Salah kaprah menurut saya ketika lembaga survei opini publik atau konsultan pemenangan politik berbusa-busa di media mengeluarkan rilis hasil temuannya ada individu independen yang tidak terikat dengan partai atau bukan anggota partai mengatakan pantas jadi presiden atau jabatan eksekutif sebab popularitas dan elektabilitasnya tinggi.

Sentimen dan segmentasi dijadikan penilaian perspektif opini publik, yang hal ini pendekatan-pendekatan pemasaran. Lihat saja latarbelakang pendidikan dan metode yang digunakan empu lembaga survei Indonesia yang menjamur kini di tiru metodologi penelitiannya, pemasaran kok digunakan untuk politik. Bagaimana tidak kacau pemerintahan dan negara ini jika di pimpin oleh orang-orang yang dipasarkan bukan karena kualitas negarawan atau kualitas kepemimpinannya, hanya kepemimpinan hasil framing dan injeksi setting agenda opini.

Saya tidak mengatakan bahwa partai gagal merekrut anggota dan mengkader anggotanya dengan pendidikan dan pelatihan sesuai ketatanegaraan Indonesia, tidak mampu menjalankan fungsi sosialisasi politik. Saya tidak membandingkan kemampuan partai kalah dengan individu yang punya kekuatan, atau partai tidak kemampuan membangun kekuatannya.

Saya tetap menganggap partai adalah partai dan individu yang punya kekuatan tetaplah bukan partai tapi tetap individu, tapi saya ingin berharap jangan sampai partai-partai kalah atau di ekspansi serta direbut kepentingannya oleh individu-individu independen, istilahnya partai dibeli rekomnya untuk individu yang akan maju mengisi jabatan-jabatan publik.

Bagi saya, partai sedikit atau banyak tidak ada soal, sebab di negara maju juga multipartai tapi yang dominan hanya dua. Saya berharap partai di Indonesia sangat banyak, mungkin lebaynya saya ingin mengatakan ratusan bahkan ribuan partai pun tidak ada soal, ini negara republik yang demokrasi dan menganut multipartai, tapi sebagai indikator bahwa pemerintahan itu baik dalam memenuhi kebutuhan politik warganya saya berharap hanya ada sedikit partai yang dominan, seperti negara-negara yang demokrasinya maju walaupun banyak partai tapi hanya ada dua partai dominan di parlemen atau di kabinet.

Pemahaman awam, kenapa partai yang dominan hanya dua atau sedikit di pemerintahan, sebab rakyat percaya pada partai tersebut dalam menjalankan pemerintahan dan sesuai harapan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan politik sebagaimana konstitusi negara tersebut. Artinya di republik, akan kembali pada rakyat tersebut partai mana yang pantas atau tidak pantas mewakili kepentingannya.

Bahkan ada indikator jika partai memperoleh suara atau kursi parlemen dibawah 20% secara nasional tandanya partai tersebut tidak pantas ada mewakili kekuasaan rakyat, artinya partai tersebut buruk, partai tidak berkualitas, atau asosiasi apapun hal yang tidak baik. Saya tidak mengatakan bahwa partai-partai di Indonesia buruk sebab suara nasional dibawah 20% semuanya.

Artinya, harusnya secara simpel tujuan setiap partai bagaimana menargetkan suara dan kursi diatas 20% setiap tingkatan pemerintahan. Gamblangnya, partai tersebut sudah baik secara internal dalam menata kepartaian dan menata perkaderan keanggotaannya secara tertib. Sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk menyerahkan kekuasaannya dalam mengatur kebutuhan politiknya pada partai tersebut, yakni memberikan suara di Pemilu pada partai tersebut, sebab kepemimpinan anggota partai tersebut punya kualitas kenegarawanan dan kepemimpinan sesuai pembukaan UUD 45 serta batang tubuhnya.

Apakah itu jadi acuan, saya rasa iya, sebab jika tidak begitu pasti rakyat akan memilih partai lain. Tapi intinya apapun hasil Pemilu yang diperoleh partai tersebut, seperti partai baru misalnya memang butuh dua periode atau dua kali pemilu agar bisa melaksanakan sosialisasi politik dengan baik, setiap partai menjadi incubator atau kamp konsentrasi untuk mendidik kepemimpinan negara. Bagaimana partai yang sudah berperiode-periode tapi tetap suara segitu, saya rasa partai tersebut tidak pantas ada lagi di negara ini.

Saya berpandangan, menjamurnya partai baru atau banyaknya partai yang muncul adalah baik sebagai indikator bahwa ini negara demokrasi. Tapi tetap saya berharap, hasilnya nanti partai-partai tersebut menjadi partai pendominasi atau di perolehan kursi di legislatif atau eksekutif dalam pemilu yakni diatas 20%, sebagai indikator partai tersebut baik atau pemerintahan alat negara ini berjalan sesuai konstitusi dan tujuannya.

Mungkin itu hanya salah satu indikator, banyak indikator lain tentang PDB kebutuhan politik materiil warga dan tentang IPM kebutuhan politik idiil masyarakat, saya rasa capaian itu akan berbanding lurus dengan suara atau kursi yang diperoleh partai tersebut dalam suatu pemilu, tandanya partai tersebut mampu memenuhi target PDB dan IPM dalam menjalankan pemerintahan negara atau rakyat merasakan kebermanfaatan adanya partai dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan.

C. Partai Baru Adalah Alternatif Bagi Rakyat Ketika Tidak Puas Dengan Partai Yang Sudah Ada

Sebagai partai baru di Indonesia wajar jika dibawah 20%, tapi jika partai itu sudah ada sejak periode-periode sebelumnya, saya berpikir kenapa tidak malu dan membubarkan diri saja itu partai-partai. Sebab mengaca pada pemilu 2019, ada 80 dapil untuk Pileg DPR RI, jika satu partai memperoleh satu kursi saja setiap dapil sudah dapat 14% kursi nasional. Jika rata-rata harga suara satu kursi atau target suara minimal (BPP) 250.000 suara setiap dapil dikali 80 kursi/dapil, sudah 20.000.000 (dua puluh juta) suara nasional, yang itu sekitar 14% lebih suara nasional juga.

Artinya, partai baru atau lama dapat satu kursi saja setiap dapil bisa diasumsikan punya kursi dan suara nasional sekitar 14% lebih. Jadi aneh, dengan partai yang di Pemilu sebelumnya punya kursi dan suara diatas 10% tidak bisa meningkatkan ke 20%. Banyak partai lama yang hanya stagnan dan malah turun, yang artinya kepercayaan masyarakat turun, lalu di pemilu selanjutnya lagi tetap stagnan dan turun, apa gak harus sadar diri untuk bubar saja itu partai. Kecuali stagnan tapi diatas 30% atau tidak turun dibawah 20% maka masih baiklah itu partai, tapi dibawah 20% stagnan dan turun?

Padahal di sistem Sainte Lague, ada ambang batas suara minimal untuk dapat satu kursi, yang artinya setiap partai asalkan dapat suara mencapai ambang batas suara minimal pasti dapat satu kursi. Artinya setiap partai baru, yang baru debut, di setiap dapil punya kesempatan besar yang sama untuk dapat kursi walaupun suara minim hanya sampai ambang batas Sainte Lague. Partai baru dalam Pemilu dengan sistem Sainte Lague untuk penghitungan dan pembagian kursi, dengan punya suara nasional 4% target ambang batas parlemen bisa dapat 8% kursi parlemen, jika paham ambang batas suara minimal Sainte Lague.

Apalagi partai lama yang sudah dikenal masyarakat, harusnya mampu melipat gandakan. Jika tidak punya kemampuan melipatgandakan, berarti dalam satu periode partai tersebut gak ngapa-ngapain, yang artinya kepada rakyat tidak bermanfaat atau masyarakat tidak merasakan adanya partai itu.

Sehingga kesimpulan saya, pemilu benar-benar jadi indikator pemerintahan berjalan sesuai konstitusi dan mencapai indikator-indikator kebutuhan politik rakyat sebagaimana pembukaan UUD 45 dan batang tubuhnya. Benar-benar menjadi alat rakyat menilai partai dalam benar-salah atau baik-buruknya menjalankan penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sebagai cara menghukum partai jika tidak mampu memenuhi kebutuhan politik yakni yang idiil/IPM (rasa aman pergaulan hidup) dan materiil/PDB (ketenangan ingin hajat hidup). Jadi wajar jika ditinggalkan dan jangan salahkan rakyat menjatuhkan pilihan atau memilih wakilnya dari partai lain, tapi masalahnya banyak partai masa yang tidak mau tahu pemerintahan baik atau tidak pokoknya pilihannya iya partai itu-itu saja.

Iya di negara ini, yang stabil dibawah 10% suara nasional adalah partai masa. Tapi partai yang tidak berbasis masa memang sering tumbuh dan hilang, tapi saya rasa partai berbasis kader mampu bertahan diatas 20% dan mampu melipatgandakan diatas 30% lebih suara dan kursi nasionalnya.

Masalahnya, ada berapa partai yang berbasis kader di Indonesia. Kata seorang pakar, 20% partai Indonesia berbasis masa, 30% berbasis kader, sedangkan 50% berbasis elit kepentingan secara tidak langsung, yang hanya ingin menguasai sumber daya Indonesia.

Tapi, semakin tinggi kesadaran masyarakat akan kebutuhan politiknya maka partai kader akan semakin tinggi perolehan suara dan kursi nasionalnya, kesadaran ini adalah poin penting kenapa harus menekankan sosialisasi politik. Jika ini tidak disadari oleh partai kader atau yang berbasis masa maka itu akan jadi peluang partai-partai baru menggantikannya, atau akan terus dikuasai oleh segelintir elit yang hanya ingin menguasai sumber daya Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun