Melihat hasil perolehan suara Jawa Barat di pileg menarik ketika Gerindra dan PKS menyalip PDIP dan Golkar di 2019, dari partai urutan ke 4 di 2014 menjadi urutan ke 2 PKS di 2019 secara perolehan kursi, Gerindra dari urutan ke 5 menjadi partai urutan ke 1. PDIP dan Golkar urutan 1 dan 2 pada 2014, turun ke 3 dan ke 4. Bisa dikatakan Jawa Barat menjadi basis Gerindra dan PKS yang waktu 2019 mengusung Prabowo-Sandi yang memperoleh 60% suara. Hal ini tidak jauh berbeda di Banten dan Jakarta yang masih dikatakan Jawa Barat.
Sedangkan Jawa Tengah, bisa dikatakan basis PDIP dimana ketika Pilpres 2019 mengusung Jokowi-Ma'ruf 77%. PDIP dari 27 kursi di 2014 menjadi 42 kursi di 2019, naik sekitar 36%, PKB menjadi juara 2 dengan 20 kursi, urutan ke 3 Gerindra 13. Urutan perolehan kursi tidak jauh berbeda seperti 2014, tidak ada yang signifikan kecuali perolehan kursi PDIP. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Jogja perolehan suara PDIP dengan partai lainnya.
Sedangkan Jawa Timur adalah daerah yang sangat tidak bisa ditebak kecenderungan dukungan pada partai-partai, bisa dikatakan sangat dinamis preferensi setiap event pemilu. Jawa Timur bisa dikatakan basis masa NU yang kadernya menyebar ke setiap partai. 2009 Demokrat menguasai, PDIP dan PKB menjadi urutan ke 2 dan 3, berbeda 2014 PKB menjadi juara dengan PDIP dan Gerindra urutan 2 dan 3, sedangkan 2019 PDIP yang langganan runnerup menjadi juara, PKB yang bisa dikatakan pemilik kandang harus turun kasta ke 2 dengan tetap Gerindra di urutan ke 3.
Walaupun Jawa Timur pada 2019 Jokowi-Ma'ruf memperoleh 65%, naik sekitar 10% dari 2014 yakni 55%, akan tetapi perolehan suara partai politik tidak ada yang signifikan perubahannya tiga besar Jawa Timur yakni PKB, PDIP, dan Gerindra. Pemilihan gubernur Jawa Timur tidak bisa dijadikan referensi sebagai preferensi yang linier dengan partai pengusung. Bisa dikatakan perolehan suara pemilu eksekutif dan legislatif tidak ada berpengaruh sejak 2014. Buktinya Pak De Karwo dari Demokrat pemenang Pilkada Gubernur 2013 malah Demokrat jatuh urutan ke 4 ketika Pileg 2014, yang Pileg 2009 menjadi juara 1.
Bisa dikatakan suara dan kursi partai sejak Pemilu 2014 hingga 2019 tidak ada perubahan sama sekali, yang artinya jarak suara dan pergeseran suara tidak signifikan. PDIP selalu kalah di Pilgub Jawa Timur, bahkan 2018 habis kalah Pilkada dengan mengusung kader di wakil gubernur, tapi masih stabil suaranya dan menjadi pemenang Pileg 2019. Sedangkan partai pengusung Khofifah-Dardak di Pilgub 2018 kebanyakan malah merosot perolehan suara dan kursinya di 2019. Uniknya juga, siapapun yang jadi gubernur, partai yang bukan pengusungnya di DPRD Jatim tidak pernah terdengar konflik di publik. Sedangkan di daerah lain tentu akan ramai gubernur dan DPRD tidak sejalan dan bahkan perang opini di media jika mayoritas partai di parlemen daerah kalah di Pilgub.
Melihat kekalahan Prabowo di dua kali perhelatan Pilpres banyak yang berasumsi sebab wakil pasangannya bukan dari Indonesia Timur yang sentral utamanya adalah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, atau tidak merepresentasikan NU yang besar di Jatim. Sedangkan kemenangan Jokowi diasumsikan sebab wakilnya selalu merepresentasikan Kader NU yakni JK dari Sulawesi Selatan dan Ma'ruf Amin walaupun bukan dari Indonesia Timur tapi dari kader elit NU.
Nahdlatul Ulama memang bisa dikatakan sentralnya di Jawa Timur, tapi kader elitnya tersebar seluruh Indonesia. Setidaknya jika pasangan Pilpres salah satu kandidatnya merepresentasikan NU, masih diasumsikan kuat peluangnya untuk menenangkan Pilpres. Pemilu legislatif dan eksekutif memang pendekatannya berbeda, legislatif menekankan pendekatan elektabilitas dan sedangkan Pilpres lebih pada akseptabilitas. Sedangkan di Indonesia ada Pemilu legislatif dan eksekutif, yang di sistem parlementer hanya Pemilu legislatif, hal ini konsekuensi sistem pemerintahan presidensial.
Legislatif lebih pada penguatan kader sedangkan eksekutif lebih pada mayoritas masa dan kombinasi kader untuk menjadi pendominasi atau juara pemilu. Hal ini yang menjadi perhatian kenapa cocktail effect kandidat Pilpres berdampak pada hasil Pileg, sebab akseptabilitas mayoritas masa pasangan Pilpres berdampak pada penguatan elektabilitas kader di Pileg. Hal ini menjadi asumsi dasar kenapa PDIP menjadi partai juara berturut-turut di 2014 dan 2019, ketika akseptabilitas mayoritas masa pada representasi NU wakil Jokowi berdampak pada elektabilitas kader PDIP, dimana Jokowi adalah kader PDIP bergandengan dengan kader NU yang berbasis masa, sangat terlihat di Jawa Tengah dan Jawa Timur dampak ekor jas tersebut.
Bahkan PKB dan PPP mengalami kemerosotan ketika tidak bisa mengusung kadernya di pasangan Pilpres walaupun partai ini diasumsikan berbasis NU, kalah sama partai yang mengusung kadernya di kandidat Pilpres bergandengan dengan tokoh NU, efek ekor jas itu nyata ketika partai kadernya menjadi kandidat merangkul akseptabilitas mayoritas masa. PDIP sangat diuntungkan sebab pasangan kandidat Pilpres yang merepresentasikan NU hanya satu yakni wakil presiden dari Jokowi yang kader partainya di Pilpres 2014 dan 2019. Berbeda ketika kader NU tidak hanya satu ketika pemilu 2004 dan 2009.
Bagaimana dengan perhelatan Pilpres 2024, hingga saat ini dipandang akan ada empat poros pengusung, yakni pertama KIB (koalisi Indonesia bersatu) di isi partai Golkar, PPP, dan PAN dengan asumsi yang akan diusung Airlangga, Monoarfa, Zulkifli, Erick Thohir. Lalu kedua Gerindra dan PKB dengan asumsi Prabowo-Muhaimin, ketiga yakni Nasdem, Demokrat, dan PKS yang asumsi kuat akan diusung AHY, Surya Paloh, Syaikhu, dan Anies. Poros terakhir PDIP sebab bisa mengusung sendiri tanpa membentuk kerjasama gabungan partai politik dengan asumsi kuat akan mengusulkan Puan, Ganjar, Risma, dan Anas.
Dari keempat poros itu yang dari Jawa Timur, yakni Muhaimin di kerjasama gabungan partai Gerindra dan PKB. Lalu Airlangga dari Jawa Timur di kerjasama gabungan partai Golkar, PPP, dan PAN. Pada kerjasama Demokrat, Nasdem, dan PKS ada AHY sebagai keturunan SBY dimana adiknya juga berangkat dari Dapil Jatim untuk DPR RI yakni EBY. Â Kemudian terakhir dari usungan PDIP ada Tri Rismaharini dari Kediri yang juga mantan Wali Kota dua periode Surabaya dan Abdullah Azwar Anas mantan Bupati dua periode Banyuwangi tempat kelahirannya.
Tokoh sekaliber nasional dari Jawa Timur yang ada beberapa sudah dilirik menjadi pasangan kandidat usungan Pilpres 2024, yakni; 1. Moeldoko mantan Panglima TNI dan sekarang ketua KSP dari Kediri; 2. Soekarwo mantan gubernur Jawa Timur dua periode yang sekarang menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden; 3. Pramono Anung dari Kediri yang sekarang menjabat Seskab Jokowi; 4. Hadi Tjahjanto mantan panglima TNI yang sekarang menteri ATR; 5. Muhajir Effendy dari Madiun sekarang Menkokesra; 6. Ida Fauziah dari Mojokerto sekarang menjabat menteri ketenagakerjaan; 7. Pratikno dari Bojonegoro menjabat Setneg; 8. Khofifah Indar Parawansa dari Surabaya pernah menjabat menteri Pemberdayaan Perempuan dan Mensos yang sekarang gubernur Jawa Timur; 9. Mahfud MD dari Sampang mantan Menkumham, Menteri Pertahanan, Ketua MK, dan sekarang Menkopolhukam dimana pada 2019 kandidat kuat Wapres Jokowi tapi detik terakhir berubah pada Ma'ruf Amin.
Artinya, jika ada polarisasi antara Gerindra dan PDIP dimana basis Gerindra Jawa Barat dan PDIP Jawa Tengah, sedangkan Jawa Timur di Pemilu eksekutif tidak bisa dipandang dari kekuatan basis partai tapi sebab ketokohan dan akseptabilitas mayoritas masa NU maka bisa dikatakan Gerindra dan PKB dengan Muhaimin yang digadang kuat pasangan Prabowo dengan begitu bisa dikatakan secara probabilitas akan memenangkan Pilpres, sebab Muhaimin adalah kader NU. Apalagi PKB menjadi partai kuat ke dua di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Keduanya adalah kader partai yang juga tokoh sentral sekaligus patron pemersatu partai. Sangat mungkin efek ekor jas (cocktail effect) dari faktor akseptabilitas mayoritas masa NU akan mengangkat suara elektabilitas kader partai dari Gerindra dan PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dimana kedua partai tersebut urutan ke 2 dan ke 3 di dua propinsi tersebut, bahkan di Jawa Barat walaupun PKB urutan ke 5 bisa masuk tiga besar sebab tokoh sentral PKB menjadi kandidat Pilpres.
Tapi di PDIP juga ada Abdullah Azwar Anas yang juga kader NU, bahkan jika Anas pada 2018 jadi maju berpasangan dengan Saifullah Yusuf peluang akan menang akan sangat tinggi mengalahkan Khofifah. Sebab Anas pada waktu itu dikenal sebagai senior IPNU dan tokoh sentral ISNU dan popularitas sangat tinggi yang beberapa bulan pasca pengumuman maju Cawagub elektabilitasnya berada tiga besar calon gubernur walaupun dijagokan sebagai calon wakil gubernur. Sayangnya tidak jadi maju sebab dipandang sama-sama NU dalam satu pasangan dan sepertinya para pihak kepentingan sudah berada pada pihak Khofifah jauh hari sebelum Anas deklarasi Cawagub. Padahal Anas bisa dikatakan ikon pembangunan pemimpin daerah yang sukses branding Banyuwangi sebagai Sunrise Van Java, juga mampu membangun semangat masyarakat untuk menggali potensi wilayah untuk dikembangkan sebagai ikon budaya, wisata, dan ekonomi masyarakat dengan gerakan literasi.
Bahkan gerakan literasi yang booming rentang tahun 2014 hingga 2018 bisa dikatakan dari Banyuwangi yang menular ke kampus-kampus, sebab pemerintahan Anas ketika menjadi bupati Banyuwangi berkerjasama dengan kampus-kampus ternama Jawa Timur. Maka jika Puan sebagai patron PDIP berpasangan dengan Anas maka probabilitas memenangkan Pilpres bukan suatu mustahil. Sebab Anas layaknya JK dan Ma'ruf Amin yang mampu mengkonsolidasikan akseptabilitas mayoritas masa NU, apalagi dengan pengalaman sukses memimpin pemerintahan daerah yang sejalan dengan fokus kepengurusan NU sekarang dalam membangun semangat masyarakat untuk menggali potensi wilayah untuk political interest warga NU. Ini bisa sepadan dengan proyeksi Gerindra dan PKB dengan pasangan Pilpres Prabowo-Muhaimin, pun begitu dampak ekor jas pada suara partai PDIP di Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana basis NU kuat.
Kader partai sekaligus tokoh sentral partai yang menjadi patron pemersatu partai sangat terasa cocktail effect pada suara partai. Hal ini sudah terbukti dengan Megawati pada PDIP pada 1999, 2004, 2014, dan 2019 walaupun di dua perhelatan Pilpres tidak jadi kandidat. SBY pada Demokrat di 2009 dan Prabowo pada Gerindra di 2014 dan 2019. Misal di luar negeri dengan Trump pada partai republik Amerika dan Biden pada partai Demokrat Amerika. Termasuk partai bikinan Macron yang identik namanya Marchei untuk mengusung dirinya memenangkan Pemilu Prancis, sekarang di rubah Renaissance agar bisa tetap berdiri setelah menyelesaikan periode keduanya. Pun begitu dengan kemenangan mutlak partai konservatif Inggris ketika Boris Johnson meminta Ratu Elisabeth membubarkan parlemen untuk mengadakan pemilu lebih cepat dimana dia tokoh sentral partai konservatif yang mampu menjadi patron pemersatu partai terkait kebijakan Brexit, yang padahal dia baru saja memimpin partai konservatif dan menggantikan perdana menteri Theresa May.
Semua tokoh sentral yakni ketua umum partai pasti menjadi patron pemersatu kader sebagai pemegang legitimasi kekuasaan keputusan partai, sebab itu semua partai berlomba untuk memajukan ketua umumnya untuk menjadi kandidat Pilpres. Maka tidak heran banyak usaha untuk menggugat ambang batas pencalonan presiden (PT/presidential threshold) pada MK walaupun tidak ada satupun yang berhasil dari puluhan gugatan tersebut, sebab semua partai politik paham betul cocktail effect hanya akan berdampak pada suara partai di Pileg jika kandidat Pilpres adalah ketua umumnya. Pun begitu pada Pemilu 2024 tidak masalah ada berapa pasangan Pilpres atau berapa poros yang bahkan menurut para pengamat akan sangat baik jika banyak pasangan Pilpres untuk meredam polarisasi hanya dua kubu, semua partai pasti kokoh untuk tetap berusaha memasang patron pemersatu partai untuk jadi kandidat Pilpres.
Maka tidak heran sekarang ada empat poros demi cocktail effect yang setidaknya tetap bertahan di parlemen walaupun suara tidak naik, asal tidak terlempar dari parlemen seperti Hanura. Urusan menang Pilpres bagi partai menengah dan bawah apalagi non parlemen tiada soal, yang penting sosok ketua umum tokoh sentral partai yang menjadi patron pemersatu partai, mampu mensolidkan internal untuk mendongkrak suara partai, kenapa harus bikin poros untuk lolos ambang batas pencalonan presiden agar tokoh sentral partai bisa jadi kandidat Pilpres. Tiga partai besar yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra secara berurutan menjadi inti poros yang ada sekarang, sedangkan partai menengah ada Demokrat. Dimana PDIP bisa lolos PT Pilpres tanpa membentuk gabungan partai politik pengusung kandidat, Golkar membentuk kerjasama gabungan partai politik dengan PAN dan PPP yang keduanya ini partai kelas bawah, lalu Gerindra mengajak partai kelas menengah PKB membentuk kerjasama gabungan partai politik, terakhir Demokrat bersama-sama partai kelas menengah yakni Nasdem dan PKS membentuk kerjasama gabungan partai politik untuk lolos PT Pilpres.
Keempat poros menurut pemberitaan yang masif setiap partai mengusahakan ketua umumnya untuk dijadikan kandidat Pilpres dari poros masing-masing. Keempat poros sama-sama ada tokoh dari Jawa Timur, cuman yang berbasis akseptabilitas mayoritas masa NU hanya poros Gerindra-PKB dengan Muhaimin dan poros PDIP dengan Abdullah Azwar Anas. Belakangan senter Golkar mendekati Khofifah yang mungkin sebagai kalkulasi akseptabilitas mayoritas masa NU, ketika Pilgub 2018 Jatim memang Golkar bisa dikatakan pengusung kuat utama. Kemudian senter Hadi Tjahjanto yang opini digiring dari group media Surya Paloh dari Nasdem, walaupun hasil Rakernas Nasdem munculkan tiga nama tidak termasuk Hadi Tjahjanto, hal ini mungkin kalkulasi walaupun AHY dari Demokrat adalah anak SBY dari Jawa Timur tapi kelahiran Bandung. Tapi tidak ada dari poros Demokrat, Nasdem, dan PKS yang menunjukkan akan mencari sosok dari akseptabilitas mayoritas masa NU entah tokoh dari Jawa Timur atau bukan.
Bagi setiap poros jika berpikir cocktail effect untuk suara partai di parlemen tentu kalah-menang bukan soal, apalagi itu partai kelas menengah dan bawah. Ada opini berkembang poros yang ada terbentuk sekarang tidak penting siapa kandidat yang mau diusung tapi siapa yang mau membiayai partai untuk Pemilu dan kampanye. Artinya di poros yang ada, beberapa partai anggotanya ada yang berpikir tidak masalah pasangan kandidat bukan kader partainya, asalkan kandidat yang diusung mau tidak membiayai kerja pemenangan pemilu. Tentunya kandidat tersebut punya popularitas dan elektabilitas yang mampu berdampak pada suara partai semacam cocktail effect, walaupun akseptabilitas mayoritas masa tidak punya. Tentunya tokoh yang punya popularitas dan elektabilitas apalagi punya akseptabilitas mayoritas masa akan memudahkan fundraising (pengumpulan urun dana kampanye) dari kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok elit, kelompok birokrasi bayangan, dan lain-lain yang punya political interest. Tinggal bagaimana partai memformulasikan kandidat usungan agar pasangan mudah melakukan fundraising, yang hal ini pasti semua partai mulai kelas atas, bawah, dan menengah meracik desain asumsi dan formulasi pasangan untuk memudahkan fundraising. Bagaimana pun Pemilu sama dengan perang hal pertama yang dihitung adalah logistik baru strategi dan taktik logis.
Para founder kelompok-kelompok tersebut tentunya siap sebagai penyumbang di proses fundraising partai maupun pasangan kandidat, asal logis dalam peluang atau probabilitas akan keluar sebagai pemenang Pemilu. Tentunya asumsi Jawa Timur sebagai kunci kemenangan Pemilu atau stempel kekuasaan pemerintahan menjadi variabel penting untuk memformulasikan pasangan kandidat dan desain asumsi-opini serta setting agenda media masa. Ada ujaran keberhasilan suksesi politik ditentukan oleh backup yang kuat dan jurnalistik yang mendalam. Seperti Golkar yang kuat di luar pulau Jawa sebab backup dari tokoh-tokoh lokal bekas tuan tanah pemain kunci perekonomian yang tetap berjaya sampai sekarang sedari inisiasi Golkar era orde baru untuk menjadi tulang punggung Golkar, walaupun di Jawa sudah mulai berkurang kekuatan politik tulang punggung Golkar tapi dengan kekuatan di luar pulau Jawa, Golkar masih menjadi runnerup suara nasional dan mayoritas kursi di parlemen.
Pun begitu dengan Nasdem, ketika berdiri mengusung isu restorasi dalam mengumpulkan kekuatan tulang punggung seperti Golkar, tidak heran Nasdem memang dikatakan pecahan Golkar seperti Gerindra, Hanura, PKPI, dan terakhir Berkarya. Surya Paloh punya kekuatan jejaring group bisnisnya seperti Golkar mulai ujung Sumatra hingga Papua, maka tidak heran Nasdem mampu menjadi partai kelas menengah mengungguli Demokrat yang partai pemenang 2009. Ada Perindo dan PSI yang punya karakter sama dengan Nasdem dan Golkar, punya backup yang kuat dan jurnalistik yang mendalam. Sedangkan partai yang hanya punya backup kuat ada Demokrat, Gerindra, PKPI, dan PKS. Partai berbasis mayoritas masa ada PBB, PPP, PKB, dan PAN dimana kekuatan berbasis kekuatan akseptabilitas masanya. Sedangkan PDIP adalah partai kader dalam menerobos kekuatan semua itu di masyarakat multikultural dan heterogen karakter warga Indonesia.
Jadi, secara karakter partai dalam membangun basis dan menarik dukungan punya resep formulasi tersendiri dalam membangun persepsi opini dengan desain asumsi serta setting agenda menurut kekuatan partai masing-masing. Artinya, tidak hanya bicara kecenderungan peta politik dari hasil pemilu 2019 bagaimana Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur secara perolehan kursi, masih ada sisi kekuatan lain di luar pulau Jawa, backup kelompok-kelompok elit, media masa mainstream nasional, faktor struktur masyarakat multikultural heterogen atau mayoritas masa, dan lain sebagainya dalam mengkalkulasi proyeksi memenangkan Pemilu. Tidak perlu berkecil hati, secara hitungan diatas kertas memang iya Jawa Timur menjadi variabel penting, semua pasti akan berusaha memasang patron pemersatu partainya untuk diusung menjadi kandidat Pilpres.
Pada akhirnya masalah kalah atau menang masih bisa kerjasama dalam membentuk pemerintahan baru pasca Pemilu. Seperti SBY pemenang Pilpres 2004 tapi partainya memperoleh suara hanya 7,45% saja, merangkul partai yang jadi pesaingnya ketika Pilpres, pun begitu ketika 2009. Sama juga dengan Jokowi dalam membentuk pemerintahan 2014 dan 2019 yang merangkul partai yang tidak mengusungnya, bahkan Gerindra dan Prabowo serta Sandiaga Uno malah masuk kabinet Jokowi dan kerjasama di parlemen pada 2019, yang hal itu suatu mustahil diluar negeri seorang rival menjadi bagian dalam menentu pemerintahan baru pasca pemilu.