Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781 1
MERAIH MIMPI
MENGGAPAI ASA

Novel by
ABDUL AZIZ ARIFIN
XII MIPA 5

PRAKATA
Mimpi itu bunga tidur. Apalah arti sebuah mimpi?. Dua kalimat itu sering kudengar keluar begitu saja dari mulut orang-orang disekitarku. Ya, bagi kebanyakan orang mimpi tak ada artinya. Namun tidak bagi sebagian orang, Mimpi bermakna goresan tinta yang suatu saat menjelma jadi sebuah lukisan indah yang pantas untuk dinikmati banyak mata.
Novel ini berkisah tentang penggalan sejarah perjalanan seorang anak perempuan yang punya mimpi besar dan bagaimana dia mewujudkan mimpinya. Semoga kita bisa mengambil banyak pelajaran dan hikmah dari cerita ini. Aamiin
Bandung, Maret  2022
Penulis

DAFTAR ISI
 

MERAIH MIMPI1
MENGGAPAI ASA1
PRAKATA2
DAFTAR ISI3
PROLOG4
1.MASA EMAS YANG BAHAGIA7
2.MAN JADDA WAJADA21
3.DIANTARA DUA PILIHAN36
4.SEKOLAH BARUKU59
5.LOMBA FILM DOKUMENTER71
6.MAHDI, SI PENAKLUK ULAR77
7.FINALIS YANG TIDAK TERDUGA82
8.BERJUANG, MERAIH NILAI SEMPURNA87
9.KITA HARUS TERPISAH94
10.LANGKAH INI SEMAKIN MENANJAK106
11.TAHUN TERAHIR BIKIN KETAR KETIR151
12.MIMPI ITU, AHIRNYA BISA KUGAPAI157








PROLOG

Saat bersekolah di SD, Bu guru pernah bilang, "Dua   per   tiga   isi   al   Quran   berupa   cerita,   artinya kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang merupakan kumpulan cerita yang diharapkan dapat menjadi sumber ibrah, pembelajaran atau hikmah bagi pembacanya." Kata-kata ini begitu membekas, hingga membuat aku berani menuliskan semua alur kehidupanku.
Buku ini cerita panjang dari perjalanan hidupku dan teman-teman dalam meraih cita-cita yang kusebut dengan mimpi, dan cerita tentang bagaimana upaya kerja keras yang aku lakukan untuk menggapai asa atau harapan.
Perkenalkan, namaku Faza. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Saat ini aku  kuliah  di  Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik Industri ITB, semester empat. Karena prestasi belajarku saat bersekolah di SMA 3 Bandung dinilai sangat baik, maka aku bisa masuk ke ITB melalui jalur undangan.

Sekarang, kalian  mungkin  menganggap  aku hebat. Padahal, sejatinya kehebatan yang kumiliki saat ini seperti gunung es. Gunung es yang kita lihat itu bagian kecil  dari tubuh gunung yang sebenarnya,  sementara bagian bawah gunung yang tidak terlihat kasat mata merupakan bongkahan maha besar yang menopang gunung yang kita lihat itu. Ya, kehebatanku saat ini dipupuk dari proses terus menerus sejak kecil hingga seperti sekarang.
Kalau ada yang nanya, puaskah aku dengan keadaan yang kumiliki saat ini? aku jawab, ya... Alhamdulillah. Aku bersyukur atas nikmat yang Allah berikan untuk aku dan keluarga. Syukur itu aku wujudkan melalui kerja keras  yang terus  menerus disertai dengan doa.
Impianku masih banyak. Masuk ITB merupakan bagian kecil mimpiku. Impian berikutnya, aku ingin bersekolah di Jerman atau Jepang. Aku akan lebih fokus mempelajari fisika  medis.  Mengapa  memilih  fisika medis? Karena aku merasakan sendiri, betapa tidak enaknya bagi pasien dan keluarganya menghadapi penyakit. Jika aku mampu mempelajari fisika medis,

maka aku mampu menciptakan alat-alat medis modern yang tentunya dapat membantu proses penyembuhan pasien lebih cepat dan akurat.
Aku berharap, buku ini bisa menginspirasi bagi kalian untuk terus menjadi pribadi yang kuat. Indonesia membutuhkan orang-orang hebat yang akan mengharumkan namanya di dunia. Kawan, hidup itu hanya sebentar. Kata ibuku, orang yang berbahagia itu mereka yang dapat memberikan kebermanfaatan yang besar bagi banyak orang. Jadi, aku berharap banyak, setelah kalian membaca buku ini, kalian bisa terus melangkah menata diri menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kehari. Sayangi dan hormati orangtuamu, karena kebahagian mereka menjadi sumber ridhonya Allah turun pada kehidupanmu.


Salam penuh kasih,
Faza



MASA EMAS YANG BAHAGIA

"Sejak lahir, kau memang special bagi ibu. Kau bayi mungil yang cantik, putih dengan suara tangisan yang telat terdengar. Itulah sebabnya, kenapa para dokter dan  bidan  yang  membantu  persalinan  ibu menjadi panik. Ibu masih ingat, bagaimana mereka dengan susah  payah  menepuk-nepuk  pantat  dan  punggung mu. Mereka berusaha keras agar kau bisa menangis secepatnya. Setelah sepuluh menit, barulah suara tangismu pecah dan langsung disambut sujud syukur Ayah dan Emak." Kalimat panjang ini  diucapkan ibu saat aku bertanya bagaimana proses kelahiranku. Ibu  juga bercerita tentang  bagaimana sedihnya hati ibu yang setiap hari menjelang magrib sampai jam sepuluh malam harus berusaha menenangkan tangisanku karena bayi mungilnya lapar, tapi tidak bisa menghisap ASI dengan leluasa. Ya, menurut dokter anak, aku mengidap penyakit jantung bawaan. Sekat-sekat di jantungku tidak tertutup dengan sempurna saat aku dilahirkan, sehingga suplay oksigen dalam jantung ku berkurang.

Dengan kondisi jantung yang kurang sempurna itu, maka  dokter menyarankan agar ibu harus mengupayakan supaya aku tidak boleh sakit. Aku harus mendapat asupan gizi  yang cukup supaya tumbuh  kembang jantungku sempurna dengan cepat.
Aaah... ibu tentunya mengalami masa-masa yang sulit saat mengurus aku yang sangat ringkih. Tapi, ibu tidak pernah mengeluh. Dia dibantu  Bi Elis, merawatku dengan penuh cinta kasih hingga ahirnya aku bisa tumbuh sehat dan kuat.
*****
Semilir angin Sabtu pagi yang cerah ini membuat semua orang dewasa dirumahku sibuk dengan kegiatan beres-beres rumah. Ibu mencuci setumpuk baju-baju kotor yang ditabungnya seminggu ini, Bi Elis bersih- bersih di halaman luar dan ayah merapihkan semua kamar.
Aku sendiri tidak punya tugas megurus rumah. Jadi, pagi ini aku sibuk sendiri memilih buku-buku koleksi keluarga kami. SI PUTIH YANG CERDIK adalah judul buku kesayanganku. Buku ini, sebenarnya sudah berulang kali dibaca. Rasanya... setiap

membacanya, buku ini masih saja bisa membuat tawaku lepas.
Mungkin, kali  ini  suara  tawa  itu  mengusik pendengaran ibu. Hingga ibu yang sedang asyik mencuci baju pun berlari ke kamar.
" Apa yang membuatmu tertawa, teh?" Tanya ibu di balik pintu kamar.
" Ini bu... si putih. Dia pandai sekali menipu  kucing nakal".
" Boleh ibu lihat, apa judul buku yang kamu
baca?"
Akumenyerahkanbukuyangtadikubaca.
Judulnya Si putih yang cerdik. Buku ini menjadi buku kesayanganku sejak dua tahun terahir, karena hampir setiap malam buku ini jadi pengantar tidur kami.
"Teteh bisa baca buku  ini?"  Ibuku  bertanya dengan wajah yang tampak tak percaya.
"Iya... kasian deh. Ibu baru tau ya?" Kataku bercanda.
"Coba, ibu  ingin  dengar  bagaimana  caramu membaca." Lagi-lagi, ibu  sepertinya tidak  percaya dengan kemampuan membaca yang ku miliki. Untuk

membuktikan kemampuanku  ini, mulailah  kubaca halaman pertama.
" Si putih bersembunyi di balik pintu. Matanya yang hijau cerah bergerak liar, mencari bola kesayangannya..."
Tiba-tiba, ibu menepuk bahuku dengan lembut sambil berkata..."Sebentar teh, baca halaman tujuh ya..." Tanpa protes, aku menuruti keinginan ibu. Ku buka halaman tujuh, " Hai! Jangan lari kesitu. Ada  banyak Kucing jahat. Si Putih berlari kencang menjauh dari gerombolan kucing liar yang menghadangnya. Aduuuh, lari kemana lagi ini? aku sudah letih berlari. Ya Allah, bantulah hamba. Si Putih semakin terpojok. Gerombolan kucing liar makin mendekatinya. Tiba-tiba, si putih menginjak bongkahan kayu. KRAAAAAKKKK... BUUUUMMM. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tong-tong besar yang menggelinding itu. Gerombolan kucing liar itu kemudian lintang pukang menghindari gerak liar tong-tong besar. Jeritan kucing mulai terdengar bersahutan. Meoong... meooong ... meooong..." Aku berhenti membaca dan langsung tertawa lepas. Ibu masih diam dan memperhatikan aku yang tertawa.

"Jadi... kenapa teteh tertawa?" Tanya ibuku.
" Aku tertawa karena Si Putih pintar bu. Dalam kondisi terdesak, dia menginjak kayu yang menjadi alas tong-tong besar. Gerombolan kucing liar bukan kalah oleh Si Putih, tapi kalah oleh tong tong besar yang tentu saja itu di luar perkiraan musuhnya".
"Subhanallah..." ibu memelukku erat.
Allah Maha Pemberi Ilmu. Dia menebar ilmu kepada semua hambaNya. Aku yang saat itu berumur tiga tahun tujuh bulan sudah bisa membaca dengan pemahaman yang cukup  bagus, tanpa  ada  yang mengajariku secara khusus.  Kalian  tentu  bingung, kenapa bisa seperti itu?
Sttt... aku kasih bocorannya ya. Begini, ketika Ibu atau Bi Elis mengajak Aa yang berumur empat tahun bermain kartu huruf, aku yang saat itu berumur dua tahun sangat tertarik dengan kartu-kartu berwarna merah yang dibaca dengan suara riang oleh ibu atau Bi Elis. Apa yang dibaca Ibu atau Bi Elis, Aa pasti  menirukan bacaannya  dan  diam-diam  aku  ikutan meniru membaca kartu-kartu merah itu juga lho.

Ibu juga biasa mengajak aku dan Aa Faqih ke toko buku. Biasanya, sebelum berangkat kami buat perjanjian tentang berapa banyak buku yang boleh kami beli. Seingatku, dalam satu bulan, setiap anak punya lima buku baru. Belanja buku menjadi tamasya yang paling menyenangkan. Selain buku, lego, balok-balok  dan permainan edukatif lainnya menjadi barang-barang yang sangat penting bagiku.
Ibuku memang hebat, disela-sela kesibukannya mengajar dan mengurusi dua anak balitanya, beliau selalu menyempatkan waktu untuk mengajari Aa Faqih untuk membaca  dengan  metoda  Glan  Dommand.  Padahal, saat itu Aa masih berumur empat tahun. Ibu dan Bi Elis juga rajin membacakan buku cerita bagi kami. Ada perpustakaan mini di sudut kamar, dan itu menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi kami sekeluarga.
*****
Minggu pagi yang cerah, semua anggota keluarga kali ini berjalan-jalan ke Batu Kuda, di lereng Gunung Manglayang. Jarak dari rumah kesana sekitar 5 KM. Aku yang saat itu masih berumur kurang dari 4 tahun,

hanya mampu berjalan setengah perjalanan. Sisanya, melanjutkan perjalanan dengan bergelayut manja di gendongan Ayah.
Batu Kuda itu hutan pinus di pinggir kota yang masih alami  dengan  pemandangan  asri,  menjadi  suguhan mewah bagi orang-orang kota yang biasa menghirup udara kotor. Aku dan Aa bermain petak umpet, berlari-lari di sela-sela bongkahan batu besar. sementara itu, ibu dan ayah mendirikan tenda kecil.
Bosan dengan  permainan  petak  umpet, Aa mengajak aku untuk bermain di mata air yang letaknya tidak jauh dari tempat Ayah dan Ibu mendirikan tenda.
"Za... ada kecebong! Kita tangkap yuk!"
"Pake apa?  Sepertinya  susah  nangkapnya. Kecebong itu bergerak dengan cepat. Minta bantuan ayah, yuk!"
"Aaah... lama. Aku coba tangkap pake gelas plastik bekas aja. Kamu cari botol air mineral di tumpukan sampah, buat nampung kecebong yang kita tangkap."
Kami memulai petualangan kecebong. Aa dengan penuh semangat  menangkap  kecebong di  mata air,

sedangkan aku berusaha mencari botol air mineral bekas. Ahirnya, setelah bersusah payah, botol mineral itu bisa ku peroleh juga.
Hampir satu  jam  aku  dan Aa  berusaha menangkap kecebong. Sialnya, setelah lelah berusaha, kami hanya mampu menangkap tiga ekor saja. Ayah dan ibu yang sudah beres  mendirikan tenda  mulai memanggil. Saking asyiknya, panggilan mereka diabaikan.
"Aduuuh, sampai capek rasanya tenggorokan ini memanggil nama kalian berdua. Apa yang sedang kalian lakukan?"
Ayah memperhatikan kegiatan kami. Dia tersenyum melihat tiga ekor kecebong  dalam  botol plastic yang aku pegang.
"Mengapa kalian menangkap kecebong?"
"Suka aja, lihat ekornya yang terus bergerak. Bikin gemes. Bolehkah kami bawa pulang, yah?" tanyaku penuh harap.
"Untuk apa?"
"Mau dipelihara, Yah" kata Aa dengan penuh semangat.

"Kecebong itu  lucu  saat  masih  kecil.  Kalo dipelihara, maka kecebong itu membesar. Apa kalian sanggup memeliharanya?"
"Sanggup, Yah. Makin besar kan pastinya jadi lucu. Ekornya mungkin tambah besar. aku suka melihat matanya yang kecil. Kalo sudah besar, mata kecebong mungkin ikut membesar juga." aku menjawab dengan penuh keyakinan. Ayah tertawa mendengar jawabanku.
"Kalian fikir, bentuk kecebong tidak akan berubah jika mereka membesar?"
"Enggak" jawab kami kompak.
Ayah kembali tertawa. Kali ini tawanya makin
keras.
"Berhenti dulu nangkap kecebongnya. Sekarang
waktunya makan siang. Sebelumnya, bersihkan dulu tangan kalian. Ibu sudah menunggu di tenda, ada banyak makanan yang bisa kalian habiskan."
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, kami berlarian menuju tenda. Aa yang lebih besar dan kuat, berhasil sampai ke tenda lebih dulu.
"Aduuuh... bajunya kotor sekali. Apa yang kalian lakukan?" ibu bertanya dengan penuh keheranan.

"Aku nangkep kecebong, bu. Nih... dapet tiga!" kataku dengan bangga.
"Yey... ngaku-ngaku. Faza cuma duduk di pinggir kolam. Aku yang berusaha nangkepnya bu. Kecebong ini mau kita bawa pulang." Aa Faqih mendelik kearahku. Aku nyengir.
" Sudah  ah.  Berhenti  ngurusin  kecebong. Sekarang kalian makan siang dulu. Kalo sudah makan, boleh bergabung sama ayah. Kalian bisa tiduran di tenda."
Tanpa harus diperintah untuk kedua kalinya, kami langsung menyantap makanan yang sudah ibu siapkan. Hmmm... ada nasi uduk, ayam goreng, sosis panggang, wortel dan buncis rebus, kentang goreng dan pindang telur puyuh kesukaan kami.
"Coba bayangkan, seandainya kalian yang ada di dalam botol itu. Bagaimana perasaan kalian, dipisahkan dari orangtua, teman-teman dan tempat tinggalmu?"
"Kenapa ibu bertanya seperti itu?" kata Aa Faqih. "Kalo aku, gak mau pisah dari orang-orang yang
ada di rumah kita."
"Terus, kenapa kalian menangkap kecebong ini?"

Kami berdua diam, mulai mencari jawaban yang bisa diterima oleh ibu.
"Aku mau  tau,  kecebong kalo  sudah  besar, bentuknya seperti apa..." kata Aa Faqih. Ibu tersenyum menatap aku yang bingung.
"Naah, ini jawaban yang hebat. Kalau itu alasannya, ibu mengijinkan kalian membawa kecebong ke rumah. Jangan lupa, kalian sendiri yang harus mengurus kecebong itu dibantu Bi Elis.
"Yeeeey... asiiik. Makasih Ibuuu"
Aku dan Aa langsung memeluk ibu. Seharian itu, kami berada di Batu Kuda. Tenda menjadi tempat tidur siang bagi kami berempat. Banyak hal yang kami lakukan disana, semua sangat menyenangkan.
*****
Ibu pulang kerja lebih siang dari biasanya. Dia membawa setumpuk buku bacaan yang menarik. Aku bersorak riang melihat satu buku bergambar kecebong. Hmmm... jadi ingat kecebong yang pernah kami tangkap di Batu Kuda. Sayang, umurnya tidak lama. Dia hanya bertahan dua hari saja di akuarium. Keburu di makan kucing, sih.

" Buku baru lagi, bu? Buat kita kan" tanyaku penuh harap.
"Iya... biar Aa dan Teteh bisa melihat seperti apa kecebong kalau sudah besar. sekarang, ibu ganti baju dulu ya. Nanti sore buku itu kita baca bersama."
" Alhamdulillah... makasih ibuuu."
Buku bergambar kecebong itu langsung kulihat- lihat dengan penuh semangat. Ada gambar lingkaran dengan gambar kecebong dan panah dengan gambar- gambar yang berbeda.
"Ibu... kecebong yang kita tangkap,  itu  jika hidupnya lama  akan seperti ini juga?"  tanyaku penasaran.
"Tentu saja, Za"
"Kapan kita main ke Batu Kuda lagi? Kali ini aku mau nangkap kecebong lebih banyak dan memeliharanya dengan  benar. Aku  ingin  melihat perubahan kecebong menjadi katak."
" Kita harus cari waktu libur selain hari sabtu dan minggu. Biar ayah bisa ikut. Ibu kan tidak sanggup menggendong anak cantik." Kata ibu sambil tertawa.

Aku ikut tertawa juga. Membayangkan perjalanan ke Batu Kuda yang menanjak  dan  berkelok-kelok panjang membuat keinginanku surut juga.
Jika aku berjalan dari rumah sampai sana, butuh waktu setidaknya empat jam. Uuuh lama ...  Aku tidur terlentang. Membayangkan pengalaman waktu kemping seharian di Batu Kuda. Saat itu aku tiduran, melihat pucuk pohon-pohon pinus bergerak-gerak lambat di tiup angin. Ketika pohon itu bergerak mengikuti arah angin, Ada suara-suara aneh yang terdengar. Kata Ayah, suara itu muncul dari gesekan daun-daun pinus. Aku juga bisa melihat langit biru dengan awan-awan yang bergerak. Lama rasanya kami berbaring  menatap langit luas. Terasa banget, indahnya ciptaan Allah yang maha hebat. Sepanjang perjalanan itu, aku melihat kebun- kebun singkong dan pohon jeruk bali berderet rapi di pinggir jalan. Sepertinya, semua rumah penduduk  di kampung Cikoneng yang kami lalui memiliki pohon jeruk. Sayang, kami tidak bisa mencicipi buah jeruknya. Kata Ayah, buah-buah itu belum siap untuk di panen, masih kecil. Rasanya masih pahit dan tentunya belum
bisa di makan.

Sore itu ibu menemaniku membaca buku-buku yang baru dibelinya. Jika ibu ada di rumah, maka Bi Elis bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Waktu-waktu bersama ibu menjadi waktu yang sangat berkesan, karena ibu pandai membaca cerita dengan intonasi suara yang berbeda-beda mengikuti karakter tokoh bacaannya.
*****

MAN JADDA WAJADA

Aku mulai bersekolah di TK ketika berumur empat tahun empat bulan dan setahun kemudian masuk ke SD. Masa-masa bahagia bersekolah mulai kurasakan saat belajar di TK dan SD Islam Full day school. Setiap hari  senin  sampai  jumat,  aku  sudah  berada  di  sekolah dari jam 08.00 dan pulang pukul 16.00.
Gedung sekolahku kokoh dan luas. Bangunan sekolah membentuk huruf U dengan tiga lantai. Setiap lantai gedung berisi kelas-kelas yang berderet rapi. Sekolah ini  sangat  bersih.  Ada banyak  petugas kebersihan yang selalu siap menjaga kebersihan lorong- lorong koridor, tempat wudhu dan WC. Lapangan besar berada ditengah-tengah gedung. Lapangan ini multi fungsi. Semua kegiatan pembelajaran luar kelas dapat dilakukan disana. Di sudut lapang, ada taman bermain dan perpustakaan sekolah. Jika waktu istirahat, Aku dan teman-teman sering berkunjung kesana. Koleksi buku-bukunya banyak, sehingga selalu menarik minat membaca bagi semua murid.

Lamanya waktu bersekolah tidak menjadi beban bagiku. Kenapa? Karena saat di sekolah, aku punya banyak teman dan guru-guru yang hebat. Delapan jam bersekolah menjadi waktu yang sangat singkat karena berisi kegiatan belajar yang menyenangkan.
Sejak kelas satu, pelajaran Quran Hadits menjadi pelajaran yang sangat kusukai, karena aku bisa belajar membaca huruf arab, menghafal ayat demi ayat Al Quran  dan  hadits-hadits  pilihan.  Bu  guru  bilang,  jika aku menghafal al Quran, maka aku sedang membangun satu pintu yang megah di SurgaNya untuk aku dan ibuku kelak.
Pelajaran lainnya yang sering membuatku takjub adalah pelajaran IPA dan matematika. Menurutku, guru IPA itu keren. Guruku ini membuat kami semua bisa menjadi murid yang sangat kreatif. Dengan belajar IPA, kami bisa memahami banyak hal tentang kehebatan ciptaan Allah. Matematika menjadi pelajaran yang aku suka karena bapak guru yang mengajarnya kata teman- temanku seperti tukang suntik semangat. Walaupun kening kami berkerut menghadapi soal-soal sulit, pak guru ini selalu saja bisa membuat kami semua nyaman

mengerjakan setiap latihan  soal yang diberikannya karena bagi beliau, sekecil apapun hasil pekerjaan kami, selalu ada kata pujian yang membesarkan hati kami semua.
*****
Ketika kami  di  kelas  empat,  ada  kenangan terindah yang masih ku ingat tentang guru matematika. Saat itu, semua anak menerima hasil ulangan harian. Anehnya, tidak ada coretan sama sekali selain tulisan perolehan nilai kami masing-masing. Saat itu, nilaiku
Pada bagian bawah kertas, ada tulisan rapi berisi komentar beliau;
"Faza sayang, coba lihat lagi jawabannya. Ada beberapa jawaban yang sebenarnya hampir tepat. Bisakah mencari jawaban yang kurang tepat dan
memperbaikinya sendiri?. Ingat ya, Allah maha melihat setiap perbuatan hambaNya."
Rupanya,    bukan    aku    saja    yang  mendapat
komentar di kertas ulangan. Semua teman mendapat komentar, tetapi tentu saja bunyinya berbeda-beda. Komentar ini membuat kami semua ahirnya mengulang kembali  mengerjakan  soal  ulangan  dengan  lebih hati-

hati. Setiap aku menemukan jawaban yang kurang tepat, aku menandainya dengan ballpoint merah.
Setelah beres diperbaiki, kertas-kertas ulangan itu kembali diserahkan kepada guru untuk diperiksa. Alhamdulillah, nilaiku menjadi 100 plus komentar manis bu guru ; Barakallah, prestasi belajarmu luar biasa.
Syukron katsira.
Pernah, waktu kelas lima aku tidak berani pulang ke rumah karena mendapat nilai kecil untuk pelajaran bahasa Indonesia. Saat aku pulang sekolah, setelah mandi dan makan, aku cepat-cepat masuk kamar dan mengurung diri disana.
Ibu yang sedang menggendong adik bayi datang ke kamar. Dia tersenyum melihat aku yang cemberut dan berkemul selimut.
"Ada apa, sayang?"
"Aku bodoh, bu..." jawabku dengan suara pelan. "Bodoh? Apa itu bodoh?" Ibu balik bertanya.
Wajahnya masih menampakkan senyum yang khas. Kali ini dia duduk di kasur sambil menggendong ade bayi.
"Nilai ulangan Bahasa Indonesiaku kali ini jelek.
Aku dapat angka 60. Berarti aku bodoh, kan bu?"

"Siapa yang bilang kalau teteh itu bodoh?"  "Enggak ada. Aku saja yang merasa bodoh."
Jawabku sambil menunduk.
"Sayang, di dunia ini tidak ada yang bodoh, yang ada mungkin hanyalah orang-orang yang malas sehingga dia tidak memperoleh hasil maksimal dari apa yang dikerjakannya. Ibu tanya, apakah sebelum ulangan, kamu belajar dengan bagus?"
Aku menggelengkan kepala.
"Berarti, teteh sekarang sudah tau apa yang jadi penyebab nilai kecil. Sekarang, mau memperbaikinya?"
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Oke... urusan nilai sudah beres. Bagi ibu, bukan nilai besar yang harus kau peroleh setiap ulangan, tapi bagaimana maksimalnya usaha kamu dalam belajar. Nilai besar itu akibat dari pemahaman kamu yang benar terhadap ilmu yang diberikan Allah. Sekarang kita main bareng de bayi, yuk. Pindah ke kamar ibu ya..."
Penjelasan Ibu yang panjang ini begitu membekas dihati. Diam-diam, aku berjanji dalam hati untuk belajar lebih keras lagi, sehingga punya nilai yang bagus dan dapat membahagiakan ibu.
*****

Hari yang paling istimewa dan dinanti semua siswa  adalah  hari  Jumat,  karena  pada  hari  itu  ada kegiatan kepramukaan. Seharian penuh kami mempraktekkan semua  ilmu  yang  diterima  selama seminggu dalam bentuk unjuk kerja kelompok. Kami merencanakan dan membuat produk yang akan dibuat dalam kelompok. Dalam kelompok itu, kami semua bekerjasama dengan riang. Kadang perdebatan sengit keluar dari  mulut kami.  Biasanya,  kami  berdebat tentang karya apa yang akan dibuat, ribut menentukan tahapan langkah-langkah kerja dan kadang berebut pembagian tugas.
Kegiatan ahir semester merupakan moment yang paling menyenangkan bagi kami semua. Selama hampir dua minggu, kami melakukan ujian lisan dan test tertulis. Uniknya, semua kegiatan ujian menjadi waktu yang sangat dinanti karena kami semua membuktikan hasil belajar selama satu semester secara mandiri. Tidak ada bantuan yang dapat diberikan oleh siapapun untuk menjawab soal-soal yang diajukan bapak dan ibu guru, semua dikerjakan secara mandiri. Sekolah kami sangat memperhatikan masalah disiplin dan tanggungjawab

pribadi, sehingga kami tidak pernah mendengar cerita tentang  mencontek.  Mengapa  bisa  seperti  itu?  Ya... karena kami yakin malaikat Rakib dan Atid mencatat semua perbuatan kita. Bu guru bilang, anak yang shaleh itu tentunya sangat memperhatikan amalan apa yang akan dicatat malaikat Rakib saja.
*****
Ada kegiatan pembiasaan yang unik yang kami rasakan saat berada di kelas enam. Pada awal tahun pelajaran, kami  mendapat  arahan  dari  wali  kelas tentang motivasi belajar. Bu Guru bilang, kita semua harus menjadi pejuang yang berusaha maksimal untuk menguasai semua ilmu. " Anak-anak, masa depan yang kalian hadapi itu sangat berat. Untuk itu, mulai hari ini kita akan sama-sama saling menguatkan sehingga bisa menguasai semua pelajaran. Ujian Nasional itu hal yang mudah yang harus kita  taklukkan. Ujian yang sesungguhnya justru hadir setelah kalian meraih hasil Ujian Nasional, yaitu saat kalian harus memilih sekolah yang terbaik, di jenjang yang lebih tinggi. Sekolah yang baik itu bisa kita miliki jika kita punya nilai besar dalam

UN. Jadi, mari kita sama-sama saling menguatkan diri untuk belajar maksimal."
Tiba-tiba, Rifqi mengangkat tangan dan berkata dengan percaya diri...
"Bu Guru, aku mau NEM ku tertinggi di sekolah
ini!"
"Subhanallah... In Syaa Allah, Nak. Malaikat
langsung mencatat niat mulia yang engkau ucapkan. Siapa lagi yang mau nilai NEM nya rata-rata sepuluh?"
Pertanyaan Bu guru menantang kami. Semua anak di kelasku mengangkat tangan, kecuali Nisa.
"Nisa sayang, mengapa tidak mengangkat tangan?"
"Aku tidak  mungkin  mendapat  nilai sepuluh untuk Matematika dan IPA. Dua pelajaran itu begitu susah untuk dikuasai, bu guru."
"Anak-anak... dalam menjalani hidup, seseorang yang berjiwa pemenang, tidak mengenal kata susah. Kita ditakdirkan oleh Allah menjadi orang-orang yang hebat, dan inilah saat yang tepat untuk membuktikannya. Kita akan sama-sama belajar, mengasah pemahaman melalui latihan soal. In Syaa

Allah, bapak dan ibu guru dengan iklas menemani kalian semua dalam belajar. Satu hal yang harus kalian yakini... Allah pemilik semua ilmu. Mintalah padaNya dengan kesungguhan  hati,  maka dengan  suka cita diberikannya pintu pemahaman akan ilmu Allah yang maha luas bagi semua hamba. Yakinkah kalian dengan janji Allah yang akan menolong semua hambaNya?"
"YAKIIIIN BU GURUUU. IN SYAA ALLAH..."
kami menjawab serentak.
"Nisa, yakin bisa mendapat nilai tertinggi?"
"In Syaa Allah, bu Guru. Aku akan berusaha keras. Jazakillah..." jawab Nisa sambil tersenyum.
Wejangan bu guru begitu membekas di hati kami semua. Sejak saat itu, kami melatih diri memecahkan setiap soal-soal kuis dengan penuh sukacita. Ketika kami mengalami kesulitan, maka kami akan mendiskusikannya bersama-sama dalam kelompok kecil. Jika masalah  ini  tidak  dapat dipecahkan  dalam kelompok, barulah kami meminta bantuan guru.
Dalam kelas, diterapkan pola tutor sebaya. Semua punya gelar tutor untuk mata pelajaran yang paling disukainya. Aku sendiri menjadi tutor bagi pelajaran

matematika dan IPA. Tugas tutor menjadi pembimbing bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal tertentu. Saking senangnya pada kedua pelajaran itu, teman-teman memberi julukan si gudang angka. He he he... ada-ada saja.
*****
Waktu pelaksanaan  Ujian  Nasional  tinggal  menghitung hari. Tiba-tiba muncul perasaan bingung, takut, khawatir dan cemas dihatiku. Aku merasa perlu untuk menenangkan hati dengan bicara pada ibu. Ya... bagiku, ibu tempat curhat yang paling keren.
"Ibu, besok aku ujian. Aku takut..." "Takut kenapa, teh?"
"Aku takut tidak bisa menjawab soal-soal ujian dengan baik. Aku takut tidak dapat nilai sepuluh."
"Sayang, nilai sempurna itu memang bagus. Tapi itu bukan  tujuan ahir  bagi seorang pelajar.  Nilai sempurna itu buahnya usaha yang maksimal dan hadiah atas ridho yang Allah berikan pada hamba-hamba yang disayangiNya. Sempurnakan  ihtiar  yang telah  kau lakukan dengan shalat dan lantunan doa yang tulus kepada Allah. Sudahkah kau shalat dan berdoa?"

"Sudah, bu"
"Alhamdulillah... kini, saatnya kau menyerahkan semua urusan  kepada  Allah.  Hilangkan  perasaan bingung, takut, khawatir dan cemas dihatimu, karena semua itu datangnya dari syetan yang mengganggu konsentrasimu dalam berjuang. Ayo, sekarang senyumlah." Kata  ibu  sambil mengusap  lembut rambutku.
"Jangan lupa  telpon  eyang,  emak  dan  aki. Mintalah doa pada mereka semua. Ibu dan ayah pastinya akan mendoakan kelancaran ujianmu, sayang."
"Iya bu, terima kasih ya..."
Kupeluk ibu  dengan  erat.  Senyum  manisku terkembang sempurna. Ya, aku harus menyempurnakan ihtiar yang telah ku lakukan dengan doa.
*****
Hari yang mendebarkan hati itu ahirnya datang juga. Selama tiga hari kami melakukan ujian nasional. Guru yang mengawasi kami saat ujian bukanlah guru- guru yang sudah biasa menemani kami saat belajar. Mereka guru-guru yang berasal  dari  sekolah  lain. Walaupun begitu, kami tetap dapat menjalankan ujian

dengan baik karena guru yang mengawasi kami saat ujian bersikap ramah.
Setiap soal dapat aku  kerjakan dengan  baik. Kesulitan terbesar yang aku rasakan saat mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Keningku sempat berkerut saat membaca tulisan yang panjang-panjang.
Kuhela nafas panjang. "Hmmmp... tenang  Za,  baca perlahan tiap soal. Pilihlah dengan teliti jawaban terbaik. Kamu pasti bisa menjawabnya!!!" Kata-kata ini kuulangi beberapa kali di dalam hati. Ya, aku sangat memerlukan ketelitian yang super ekstra.
Saat ujian, kelas sunyi senyap. Burhan yang biasanya ribut dan paling susah diatur pun saat ujian bisa bersikap tenang. Kadang, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Tapi dia tidak mencontek. Ya, kami semua sepakat jika jika mencontek itu sama seperti berkhianat pada diri sendiri. Mencontek itu perbuatan hina yang harus kami hindari.
*****
Hari ini, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Pengumuman hasil Ujian Nasional dikirim via pos. Olalaaa... bagaimana hasilnya?

Aku sedang membantu Ibu yang memasak sayur bayam ketika pak pos datang mengantar surat kelulusan yang aku tunggu sedari pagi.
"Ibuuuu... tolong buka hasilnya. Aku enggak berani lihat sendiri," pintaku setengah merajuk pada ibu. Saat itu, hatiku  berdebar kencang. Takut dan penasaran bercampur jadi satu.
"Ah, tenang aja, Za. Pasti lulus lah!" kata Aa yang waktu itu menonton film kartun dengan adikku.
"Lulus sih mungkin iya. Tapi bagaimana dengan nilainya? Aku takut hasilnya jelek."
" In Syaa Allah bagus, sayang. Sini, mana amplop suratnya." Kata ibu sambil duduk di kursi panjang. Kami bertiga merubungi ibu yang siap-siap membuka surat pengumuman.
Ayah yang dari tadi berada di kamar, tiba-tiba muncul di depan kami.
"Eeeh... tunggu dulu bu. Biar Ayah saja yang
buka."
"Iya, Teh. Berikan surat ini pada Ayah. Biar ayah
yangbuka.Kitaakansama-samamelihathasil

perjuanganmu selama enam tahun." Sahut ibu. Surat kelulusan kemudian ku serahkan pada Ayah.
"Bismillah..." Ayah merobek bagian dari ujung surat pengumuman.  Dadaku  berdetak makin  tak karuan. Semua mata tertuju pada surat yang kini berada di tangan Ayah.
"Alhamdulillah... Faza  dinyatakan  LULUS dengan NEM 28,90"
"HOOOREEEE..."
Aa dan Ade berteriak keras. Mereka jauh lebih heboh berteriak dari aku sendiri. Aku tersenyum lega. Mulut ade  yang  penuh  makanan  terbuka  lebar. Makanannya sampai tumpah ke lantai. Dia ikut tertawa dan berlari-lari riang.
Hari ini... suara Ayah terdengar begitu indah di telinga. Senyum lebar langsung terkembang dari semua penghuni rumah ini. Ibu dan Ayah menciumiku dan mengucapkan tasbih berkali kali. Aa dan adikku pun turut senang.
Berulangkali kulihat kertas  pengumuman  itu. Hei... ada angka 10 untuk nilai matematika dan IPA!!!. Hatiku bersorak riang.

Benarlah mahfudzah man jadda wajjada, yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan berhasil. Aku  sudah  membuktikannya.  Terima kasih yaa Robb, janjiMu benar adanya.
*****

DIANTARA DUA PILIHAN

Sebulan lagi, tahun ajaran baru akan segera dimulai. NEM ku yang besar membuat aku leluasa memilih sekolah terbaik yang ada di kota Bandung. Kenapa sampai sekarang aku kesulitan menentukan sekolah?. Setiap kali ayah atau ibu bertanya, aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Malam itu, aku sengaja tiduran di kamar ibu. Aku berharap bisa  ngobrol  banyak  hal  dengan  kedua orangtua ku.
"Teh, kenapa tiduran disini?" tanya ayah. "Biarin aja... kangen dipeluk sama ibu."
"Trus, ayah tidur dimana?. Masa, jadi tidur  berempat disini. Ade Mahdi bisa kejepit sama badan teteh lho."
"Ibuuuu..." rajukanku pada ibu biasanya ampuh. Ibu yang sedang  membaca  buku cerita  ahirnya tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Duduk dekat sini, teh," kata ibu.
"Aku melanjutkan sekolahnya dimana?"

"Siapa yang mau bersekolah, ibu atau teteh?" Ayah menimpali.
"Aku, tapi..."
"Maunya teteh bagaimana?" ayah bertanya serius. Kali ini koran yang sejak tadi dibacanya disimpan ke meja kecil di sudut kamar.
"Aku mau sekolah yang bisa memberi kesempatan yang banyak buat murajaah. Tapi, aku juga mau bersekolah yang memberi ilmu umum lainnya".
"Ya sudah, teteh masuk pesantren modern aja. Disana diajari pelajaran umum dan juga pelajaran agama. Murajaah menjadi salah kewajiban semua santri. Ada banyak pesantren yang bisa teteh pilih. Mau di kota Tasik, Kuningan, Cerbon atau mau ke Jombang?". Ayah mengajukan banyak alternative. Waduh... semua ada di luar kota Bandung. Aku semakin bingung.
Ibu dengan cepat memeluk erat. Tangannya mengusap punggungku dan berkata lembut.
"Teh, masa depanmu ditentukan oleh pilihan  sekolah yang saat ini teteh buat. Ibu dan ayah akan mendukung semua keputusan yang teteh ambil. Kalau teteh merasa perlu untuk mempelajari apa dan

bagaimana hidup di pesantren, ibu bisa mengajak teteh jalan-jalan ke pesantren. Hari Sabtu dan Minggu besok, ibu ada pekerjaan di Tasik. In Syaa Allah, ibu bisa meluangkan waktu ngantar teteh berjalan-jalan ke pesantren. Mau?"
"Mauuu..."
"Oke, syaratnya... teteh harus mau ikut ibu ke tempat kerja, duduk berlama-lama di kantor. Kalau bosan, bisa membaca buku atau menggambar. Jadi, bawa buku yang teteh suka."
Aku mengangguk cepat dengan mata berbinar. Alhamdulillah, Membayangkan rencana bepergian dengan ibu membuat perasaanku jadi bahagia.
Ayah yang dari tadi diam, tiba-tiba bicara.
"Teeeh. Ayah sudah ngantuk nih. Jadi, tidur bareng ayah?"
"Gak ah. Sempit." Jawabku sambil beringsut

turun.

*****
Saat ibu datang, Aku masih asik membaca buku

Negeri Lima Menara di ruang tunggu kantor. "Bosen, ya..." kata ibu.

"Enggak. Aku sudah beres membaca separuhnya" kataku sambil mengacungkan buku yang sedang dibaca.
"Alhamdulillah, urusan ibu sudah beres. Yuk, kita bisa pergi sekarang. Ada petugas pokjar yang mengantar kita keliling pesantren."
Kami berjalan ke tempat parkir. Benar saja, ada kijang inova yang menunggu ibu  dan  aku.  Bapak sopirnya sangat ramah. Namanya Pak Agus. Beliau seorang kepala UPTD DISDIK yang tentunya kenal dengan banyak pengurus pesantren.
Tempat yang pertama dikunjungi, sebuah pesantren yang ada di Manonjaya. Gedung pesantren ini terlihat besar, tapi lengang.
"Inilah pesantren tertua di Tasikmalaya. Kyai- kyai hebat yang  sekarang  membuka pesantren  di seluruh Jawa Barat, tentunya pernah mondok disini. Nanti, kita bisa melihat bagaimana para santri belajar. Bapak sudah menghubungi pengelolanya." Pak Agus membuka obrolan dengan Ibu. Mereka kemudian asyik berbincang tentang banyak hal. Aku sendiri tidak mengerti, karena kebanyakan mereka berbicara tentang

pekerjaan Ibu yang berkaitan dengan Pak Agus sebagai pengurus pokjar kabupaten.
Mobil melaju pelan di jalan desa yang mulus. Sejauh mata memandang, hamparan hijau padi di sawah menjadi pemandangan yang membuatku takjub. Aku yang terbiasa melihat hiruk pikuk mobil dan motor di jalanan kota, merasa aneh dengan jalan lengang yang kami lalui. Mobil terus melaju, sudah hampir satu jam berjalan. Dari kejauhan, aku melihat menara masjid yang tinggi menjulang. Masjid itu terkesan klasik dan sederhana.
"Sebentar lagi kita sampai." Kata pak Agus.
Laju kecepatan mobil mulai berkurang, kemudian menepi dan  masuk  ke  pintu  gerbang  kompleks pesantren. Bangunan yang dari jauh sudah terlihat, kini ada di depan mata. Masjid ini sangat besar dan asri, dikelilingi kolam ikan dan taman bunga. Tepat di belakangnya, ada dua bangunan memanjang, berlantai dua.
Kami bertiga berjalan menuju ruang penerima tamu. Ada dua orang santri yang menjadi petugas piket,

mereka berdiri menyambut kami dan menyalami Pak Agus dengan takjim sambil mengucap salam.
"Waalaikum salam... Bapak Kyai nya ada?" jawab pak Agus.
"Kyai sedang  takziyah  ke  luar  kota.  Ada  saudaranya yang meninggal."
"Ustadz yang piket hari ini, siapa?"
"Ustadz Maman, pak. Silahkan duduk, kami akan memanggilnya."
Kami bertiga duduk di kursi tamu. Tidak lama kemudian, Ustadz Maman datang. Pak Agus dan Ustadz Maman terlibat pembicaraan yang hangat. Sepertinya, mereka sudah kenal akrab. Pak Agus memperkenalkan Ibu dan aku, yang berniat mesantren.
"Alhamdulillah... teteh mau mesantren?" tanya ustadz Maman.
Aku mengangguk malu.
"Teteh boleh lihat-lihat kondisi di pesantren ini. Mantapkan hati  untuk  memilih  antara  sekolah  di Bandung atau mondok1. Ada ukhti yang akan menemani


1 Kata lain untuk mesantren.

teteh untuk berjalan-jalan melihat pondok putri. Teteh boleh bertanya banyak hal pada ukhti2."
"Ya ustadz, jazakallah atas bantuannya."
*****
Aku dan Ukhti Maryam berkeliling kompleks pondok putri. Tempat yang pertama dikunjungi aula utama. Di tempat ini, para santri melakukan kegiatan sorogan3, lalaran4 atau bandongan5. Aula ini sangat luas dan bersih. Lantainya terbuat dari marmer dengan pilar- pilar yang besar dan terlihat kokoh. Di beberapa sisi aku melihat papan tulis dengan tulisan arab gundul.
Berikutnya,    kami    mengunjungikobong6 santriwati. Kobong ini merupakan kamar-kamar yang menjadi tempat tinggal para santriwati disaat beristirahat. Pondok putri ini memiliki 24 kobong. Kata Ukhti Maryam, setiap kobong dihuni oleh delapan orang santri putri. Kobong ini sangat sederhana,  hanya berbentuk ruang tertutup, dengan satu jendela dan
2 Panggilan untuk perempuan muslim.
3 Kegiatan belajar mandiri, dimana santri membacakan hafalan ayat atau hadits di depan ustadz yang memperhatikan ketepatan hafalannya tersebut. 4 Gaya belajar santri secara berkelompok untuk menghafal ayat atau hadits 5 Belajar secara klasikal, dilakukan secara bersama-sama dimana para santri menyimak penjelasan kitab dari ustadz.
6 Tempat istirahat para santri setelah lelah belajar.

pintu. Ukurannya sekitar 8 x 12 meter. Aku tidak melihat dipan sebagai tempat tidur, meja,dan juga kursi. Di kamar ini, hanya ada dua lemari besar dan empat lemari kecil serta satu rak berisi sandal dan sepatu.
"Ukhti, para santri tidur dan belajar dimana?" tanyaku heran.
"Ya dikamar ini, Za. Kalau mau tidur, kami menggelar kasur  lipat.  Lemari  besar  itu  tempat penyimpanan semua kasur dan perlengkapan tidur lainnya. Lemari kecil dipakai untuk menyimpan baju dan barang-barang pribadi kami. Satu lemari kecil  dipakai oleh dua orang santriwati. Jika kami mau makan atau belajar, biasanya menggelar tikar di bagian tengah ruangan ini."
"Oooh ... begitu." Aku mengangguk tanda faham. "Jika aku tidur disini, iiih mungkin susah untuk bisa merasakan tidur pulas. Di rumah, aku biasa tidur di kasur yang empuk, hangat dan luas," kataku membatin.
"Sekarang, kita melihat kamar mandi, yuk" ajak Ukhti Maryam.  Aku  mengangguk,  lalu  mengikuti langkah kaki Ukhti yang telah menuruni tangga.

"Hati-hati, lantainya licin!"  Ukhti Maryam memperingatkanku. Ups, hampir saja aku terpeleset. Benar, lantai yang ku injak ini basah dan licin. Aku melihat banyak lumut dekat kulah7, dan ada banyak sampah plastik di lantai kamar mandi. Iiiih, jorok sekali mereka... lagi-lagi aku bicara sendiri di dalam hati.
"Petugas piket mungkin belum sempat membersihkan kamar mandi, jadi maaf ya... terlihat kotor. Maklum lah. Kamar mandi ini digunakan oleh banyak orang. Kami harus bergantian memakai kamar mandi, sehingga semua dilakukan dengan cepat. Jadi, wajar saja jika kebersihan WC ini kurang terjaga dengan baik." Ukhti menjelaskan tanpa diminta. Aku tersenyum dan mengangguk.
Ukhti Maryam memegang tanganku saat kami menuruni tangga. Waaah, tangganya jauh lebih kecil dan berkelok tajam. Di ujung tangga, ada ruangan besar. Banyak orang yang sibuk menyiapkan makanan. Oooh ini rupanya dapur mereka. Kompor gas berbaris rapi.



7 Bak penampungan air yang besar berisi air bersih, tempat mandi dan mencuci baju para santri

Aku menghitungnya... ada sepuluh kompor. Banyak sekali ya?
"Setiap hari, dapur ini menyiapkan makanan  untuk delapan ratus orang. Lihatlah panci dan wajan itu, ukurannya besar, bukan?.  Faza  bisa  masuk didalamnya." Ukhti Maryam mencoba bergurau, aku jadi tertawa.
"Alhamdulillah, kita sudah selesai berkeliling di daerah kekuasaan para akhwat. Di gedung sana, itu kobong para ikhwan. Kami dilarang kesana. Jika ada yang berani mendatangi kobong ikhwan, maka akan dikenai sanksi keras. Saat pertama masuk kompleks pesantren, Faza lewat ke masjid, ya?" tanya Ukhti Maryam. Aku mengangguk.
"Selain tempat shalat,  mesjid menjadi  pusat kegiatan dakwah.  Saat  tiba  waktu  shalat,  semua penghuni pesantren wajib melakukan shalat berjamaah di masjid. Ikhwan shalat di lantai satu, sementara akhwat shalatnya di lantai dua. Jalan yang digunakan bagi ikhwan dan akhwat berbeda, jadi tidak mungkin bagi kami untuk berpapasan jalan. Tujuannya, menjaga

pandangan kami semua, sehingga hati  kami selalu terjaga."
Tanpa terasa, aku menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya untuk berkeliling kompleks pesantren. Kami ahirnya kembali ke ruang tamu. Ibu, Bapak Agus dan Ustadz Maman sudah menunggu kami disana.
"Bagaimana, senang berada di pesantren?" tanya pak Ustadz Maman.
Aku mengangguk dan tersenyum ramah. Ustadz Maman kembali  melanjutkan  pembicaraannya denganku.
"Disini, Faza bisa mutala'ah kitab8, murajaah9, belajar  al  Quran  dan  hadits.  Untuk  pelajaran  umum, nanti Faza bersekolah di SMP Negeri Manonjaya. Setiap pukul 06.00, bis pesantren mengantar santri dan santriwati yang bersekolah, dan di jemput kembali pukul
14.00. Selama satu jam, semua santri diberi waktu untuk beristirahat. Saat adzan Ashar, semua kembali berkumpul di mesjid. Selesai shalat, para santri belajar bersama di  aula hingga maghrib.  Usai  shalat  magrib,

8 Mengkaji kitab/buku
9 Menghafal ayat-ayat al Qur'an

santri makan malam bersama, lalu bersiap untuk shalat Isya. Lepas  shalat  Isya,  semua  warga  pesantren beristirahat di kobong masing-masing dan bangun pukul
03.00 untuk melakukan qiyamul lail10 dan murajaah hingga adzan subuh. Setelah shalat subuh, semua santri diberi waktu untuk menyiapkan diri pergi sekolah dan sarapan pagi. Nah, inilah kehidupan yang dijalani para santri. Jadi, kalau Nak Faza mau mondok, maka seperti inilah rutinitas hidup yang harus dilalui setiap hari."
Aku menyimak penjelasan Ustadz Maman.
Hmmm... berat juga.
"Ustadz... aku masuh boleh ketemu Ibu dan pegang handphone? " tanyaku
"Semua santri tidak ada yang diperkenankan membawa handphone. Jika mau nelpon, bisa menggunakan telpon pesantren di ruang sekretariat. Ketemu Ibu? Tentu saja boleh. Nanti, ibuu bisa nengok tiga bulan sekali."
Ketemu Ibu hanya tiga bulan sekali? Olalaaa... berat banget. Aturan  tidak  bawa  handphone gak


10 Shalat tahajud di malam hari

masalah. Tapi tidak ketemu Ibu selama itu? Wuidiiih... hatiku makin ciut.
Ibu yang melihat perubahan ekspresiku, tersenyum. Dia mengusap-usap punggungku  dengan lembut.
"Jazakallah untuk bantuannya, ustadz. Sepertinya Faza harus  memikirkan  dulu  sebelum  mengambil keputusan."
"Ya, betul. Tentu saja harus difikirkan dengan benar. Bapak berdoa,  semoga  Allah  memberikan kekuatan dzikir dan fikir bagi ananda.
Jawaban pak ustadz langsung diaminkan oleh
kami.
Tidak lama kemudian, ibu pamit. Kami kembali
masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan pulang. Mobil sudah berada di jalan kabupten yang mulus dan lengang. Hanya ada satu atau dua mobil  angkutan pedesaan yang berpapasan. Selebihnya, sawah dan gunung yang hijau menjadi suguhan pemandangan bagi mata kami.

"Pak Agus, adakah pesantren lain, yang lebih modern di kota ini?" tanya ibu. Aku tertarik untuk menyimak pembicaraan ini.
"Ada bu.  Di  daerah  Singaparna.  Namanya Pesantren  Al  Furqon.  Jika  kita  mau  ke  Bandung  dan menggunakan jalan Garut, pesantren itu bisa kita lewati. Apakah kita akan mencoba datang kesana?"
"Ya, tentu saja harus dicoba Pak. Biar Faza punya gambaran yang utuh tentang pilihan pesantrennya." Jawab ibu mantap. Aku tersenyum senang.
Mobil kami  kembali  melaju.  Kali  ini  sudah mendekati kota Tasikmalaya sehingga banyak mobil lain yang berpapasan. Hmmm... sudah ramai, tapi  tentunya tidak sepadat lalu lintas di jalanan kota Bandung.
Setelah hampir satu jam bergerak cepat, laju mobil tiba-tiba  melambat.  Rupanya  sudah  hampir sampai ke tempat yang dituju. Benar saja, dari jauh sudah terlihat gedung yang megah di pinggir jalan raya utama. Kami segera turun dan masuk ke ruang tamu pesantren.

Seperti di pesantren yang pertama tadi, kami disambut oleh santri yang bertugas piket.  Dengan ramah, mereka mempersilahkan kami duduk. Ruang tamu ini jauh lebih besar dan bersih. Ada foto-foto kegiatan pesantren dengan pigura sederhana namun tertata rapi, sehingga enak untuk dilihat.
"Silahkan menunggu sebentar, Alhamdulillah... kyai baru saja selesai  mutolaah kitab,  jadi  bisa menerima tamu," kata santri itu pada ibu dan pak Agus.
Santri itu kemudian pamit dan pergi menuju bagian dalam pesantren. Tidak berapa lama, datanglah seorang laki-laki dewasa seumuran ibu dan seorang lagi terlihat seperti kakek.
"Assalamualaikum Kyai," Pak Agus  dan  ibu langsung berdiri menyambut mereka. Aku juga ikut berdiri, tanda hormat dan takzim pada orang yang lebih tua.
"Waalaikum salam warohmatullahi wabarakatuh, silahkan duduk" jawab pak Kyai ramah. Lelaki yang disamping Kyai tampaknya mengenali Ibu. Dia tersenyum ramah kearah kami.

"Alhamdulillah, ahirnya Ibu Yuyun berkenan mampir ke rumah kami. Terima kasih, Bu."
Ibu sepertinya kaget, dia memperhatikan orang yang duduk disamping Kyai. Tak lama kemudian, ibu mulai ingat sesuatu dan tersenyum sambil berkata
" Pak Zainal, ya? Alhamdulillah... saya bertemu saudara yang lama tidak bertemu. Apa kabar, Pak? Terahir kita ketemu di Pokjar Subang, ya. Kalau tidak salah, setahun yang lalu."
"Betul bu. Sekarang saya off menjadi tutor. Saat ini mengambil program doktoral di Jakarta, jadi sulit mengatur jadwalnya."
"Kalian saling kenal, rupanya. Syukurlah, bisa menyambungkan tali  silaturahmi  lagi."  Kata  Kyai sambil tersenyum. Kami semua mengangguk. Wajah Kyai terlihat berwibawa, lembut, tegas dan tenang. Sorot mata kyai, kini beralih padaku.
"Siapa namamu, nak?"
"Faza, Kyai..." jawabku pelan. "Nama lengkapnya?"
"Faza Lisan Sadida, Kyai. Ini anak kedua saya. Dia saat ini sedang mencari tempat untuk melanjutkan

pendidikannya. Katanya ingin mesantren," kali ini ibu yang menjawab pertanyaan Kyai.
"Apa yang membuat Faza ingin mondok di Pesantren?" tanya Kyai padaku.
"Aku ingin membangun satu pintu di surgaNya, Kyai..." jawabku pelan sambil menunduk. Tatapan mata Kyai membuat aku tidak berani mengangkat muka.
"Maksudnya apa?" Kyai kembali bertanya. Aku bingung, menatap ibu. Dalam hati aku berkata, "Bu... bantulah jawab."
Kali ini, Ibu membantuku.
"Begini, Kyai. Faza baru lulus dari Madrasah Ibtidaiyah. Saat Imtihan kemarin, hanya Faza yang mewakili seluruh siswa kelas 6 untuk tampil membacakan   hafalan   al   Quran.   Juz   30,   Surat   Al Baqarah dan Surat Ali Imran. Dia ingin tetap menjaga hafalannya dan tentunya ingin terus menambah hafalan al Qur"an."
"Subhanallah... Alhamdulillah. Nak, sini... duduk dekat Kakek!" Tangan Kyai melambai kearahku. Aku melihat ibu sebentar. Ibu mengangguk.

Aku berjalan pelan menuju kursi Kyai. Tangan Kyai langsung mendekap erat tubuh kecilku. Beliau mengusap-usap jilbab yang kupakai. Saat itu, Aku sempat mengintip wajah kyai. Ada genangan air mata disana.
"Sayang... tinggallah disini, di rumah kakek. Kau bisa belajar banyak hal. In Syaa Allah, cita-cita mu untuk membangun  pintu  syurga  buat  Ibu,  bisa diwujudkan disini."  Kyai  berbicara  lembut.  Aku  mengangguk.
"Taukah kau, orang tuamu memberi nama yang indah. Nama adalah doa. Allah sudah menjawab doa orangtua mu. Taukah kau, apa arti nama mu ini?"
Pertanyaan Kyai aku jawab dengan gelengan kepala.
"Wanita yang  berbahagia,  karena  lisan  dan perbuatannya selalu benar."
Kyai menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum bahagia. Kyai kembali berbicara dengan ibu.
"Jika Ibu mengijinkan, sekarang juga Faza bisa langsung tinggal di pesantren ini. Tidak perlu tinggal di pondok. Faza akan menjadi anakku, jadi dia punya satu

kamar di pesantren ini. Faza anak yang special. Aku sendiri yang akan menjaga hafalan al Quran nya."
"Subhanallah... jazakillah  untuk  tawarannya, Kyai. Kami harus membicarakan hal ini dengan ayahnya dulu. Untuk  saat  ini,  bolehkah  Faza  berkeliling  pesantren?"
"Ya, tentu saja boleh. Biar santriwati yang mengantar Faza.  Ibu  dan  Bapak  Agus sebaiknya beristirahat di rumah kami. Mari, kita pindah ke sana," kata Pak Zainal ramah.
*****
Pesantren ini, mempunyai fasilitas yang jauh lebih bagus. Ada kelas-kelas yang memiliki fasilitas IT modern, dan  kamar-kamar  untuk  santri  memiliki fasilitas lengkap. Satu kamar digunakan empat orang. Ada dua tempat tidur susun, empat meja dan kursi belajar, empat  lemari  pakaian,  satu  kulkas  dan  dispenser serta satu kamar mandi.
"Disini, semua warga pesantren menggunakan dua bahasa,  Inggris dan arab.  Jika  ada  yang  menggunakan bahasa Indonesia, maka dikenai hukuman atau denda berupa kegiatan menghafal kosa kata baru.

Bagi santri baru, aturan ini tidak berlaku pada tiga bulan pertama. Setelah tiga bulan, semua santri dapat berkomunikasi dengan dua  bahasa."  Ukhti  Imas menjelaskan tata tertib pesantren saat kami melihat kelas bahasa.
"Susahkah belajar disini, uhkti?" tanyaku penasaran.
"Tidak. Malah terasa sangat menyenangkan!. Ustadz dan ustadzah sangat faham bagaimana mengajari kami. Mereka sangat sabar,jadinya seperti orangtua sendiri. Pembelajaran  dilakukan  dengan suasana yang penuh semangat. Oh ya, Santri baru biasanya tidak boleh pulang ke rumah, sebelum satu tahun mondok  disini.  Tapi,  orangtua  bisa  datang menjenguk anaknya setelah enam bulan santri belajar di pesantren."
"Duuuh. Lebih berat lagi nih."batinku mengeluh. "Kenapa, Za. Takut ya?" Ukhti Imas sepertinya
faham dengan raut wajahku yang terlihat lesu.
"Tidah, ukhti. Hanya kaget saja. Setahun tidak ketemu keluarga, berat banget tuh..." kataku jujur.

"Ya... awalnya memang berat.Tapi, disini kita menjadi keluarga  besar  yang  saling  menyayangi. Landasan cinta karena Allah menjadikan kami menjadi keluarga besar yang sangat dekat. Oh ya, kiriman makanan dari  keluarga  bisa  jadi  obat  mujarab kangennya. Padatnya jadwal belajar juga membuat waktu setahun jadi terasa seperti sebulan. Ana sudah empat tahun mondok, Alhamdulillah  betah.  Malah, kalau libur pesantren, dan pulang ke rumah jadi terasa aneh. Maunya kembali ke pesantren secepatnya". Ukhti Imas berkata seperti itu sambil tertawa. Dia berasal dari Cianjur, sudah menjadi santri senior disini.
"Ukhti, setelah tamat mondok disini, mau kuliah dimana?" tanyaku penasaran.
"Fakultas kedokteran UIN, Jakarta." Jawabnya mantap.
"Emang bisa, gitu?" tanyaku heran.
"Kenapa tidak? Ada banyak senior kami yang mendapat beasiswa dan kuliah di fakultas kedokteran UIN Jakarta. Bahkan, mereka ada yang sudah lulus. Sekarang mengabdi di pesantren ini. Dokter Ikhsan, dulu beliau lulusan terbaik dari pesantren ini."

"Waaah.. hebat!"
"Iya. Banyak juga alumni kami yang kuliah di Sudan, Mesir dan Saudi Arabia. Mereka dapat beasiswa penuh lho. Pokoknya, belajar disini gak akan kehilangan kesempatan hidup bahagia di dunia dan akhirat!" Ukhti Imas berpromosi. Aku tertawa sambil mengangkat kedua jempol.
"Ada yang diterima di ITB?" tanyaku iseng. "Belum. Mungkin nanti ada, setelah Faza mondok
disini," kata Ukhti Imas sambil menyalamiku. Lagi-lagi kami tertawa bersama. Kami baru bertemu, tapi Ukhti Imas sangat ramah, sehingga aku betah berlama-lama keliling pesantren.
Selama dua jam berkeliling, aku tidak melihat sampah. Semua  gedung  tampak  bersih  dan  rapi. Pepohonan rimbun  mengelilingi kompleks,  sehingga udara segar terasa di seluruh pesantren. Tanpa terasa, kami berdua sudah kembali ke rumah Kyai. Ukhti Imas mengantarku bertemu Ibu.
Ibu tersenyum cerah menyambutku. Dia sedang bersiap makan siang. Ada ikan bakar, sambal, lalap

daun singkong rebus dan tempe goreng yang tersaji diatas meja makan.
"Oooh ini yang namanya Faza, cantik sekali. Sini, Nak. Salim ke Umi!"
"Umi ini istrinya Kyai," kata ibu. Aku mengangguk takjim padanya, lalu mencium tanganUmi.
"Kita makan bersama, yuk. Ukhti Imas juga ya." "Jazakillah, Umi. Saya sudah makan. Saya akan
melanjutkan tugas piket dulu. Mohon pamit..." kata Ukhti Imas. Umi mengangguk.
Siang itu, aku makan dengan lahap. Ustadz Zainal punya istri yang pandai memasak. Ikan nila bakar ini sungguh nikmat. Nasi yag disuguhkan juga tak kalah enaknya, rasanya berbeda dengan yang biasa kami makan di  rumah.  Ternyata,  itu  karena  proses memasaknya di tungku dan menggunakan kayu bakar.
Suasana pedesaan  yang  asri  menjadi pemandangan yang langsung dapat dilihat saat makan. Ya, itu karena kami makan siang di bale-bale belakang rumah Kyai. Ada kolam ikan dibawah bale-bale ini, sehingga sisa-sisa makanan langsung dibuang ke kolam. Ikan-ikan besar dan kecil langsung berebut remah

makanan yang aku lempar. Aku betah berlama-lama menyaksikan ikan-ikan  ini.  Sayangnya,  hari  terus beranjak sore, dan kami harus melanjutkan perjalanan pulang. Usai shalat Ashar, kami pamitan pada tuan rumah.
"Faza, kakek menunggu kedatanganmu di pesantren. Jangan  lupa,  ya...  teruskan  kebiasaan mujaraah nya. In Syaa Allah akan menjadi jalan menuju ridhaNya. Pesantren membutuhkan orang-orang hebat seperti dirimu, Nak. Pesantren bukan tempat membuang anak nakal yang tidak diharapkan orangtuanya. Kakek selalu berharap, ada banyak anak hebat yang iklas mempelajari ilmu Allah disini." Kyai memegang erat tanganku. Aku tersenyum dan mengangguk hormat.
Mobil kembali melaju, kali ini tujuannya ke kota Bandung, kota dimana aku tinggal. Sepanjang perjalanan aku memikirkan kata-kata terahir yang  diucapkan kyai dan Ukhti Imas. Mampukah aku hidup selama lima tahun di pesantren?. Pertanyaan itu tidak berani kujawab. Aku memilih untuk tidur saja.

perjalananyangberkelok-kelokmembuatkepalaku sedikit pusing.
*****
Jadwal pendaftaran siswa baru tinggal tiga hari lagi. Sampai sekarang, aku belum bisa memutuskan mau melanjutkan sekolah dimana. Malam itu, ayah dan ibu masuk ke  kamarku.  Diam-diam,  aku  sedikit takut berhadapan dengan mereka berdua.
"Teh, boleh ayah bicara sebentar?" tanya ayah.
Aku mengangguk, menghentikan membaca buku.
"Bagaimana, sudah membuat keputusan tentang sekolah?"
"Belum, yah. Aku masih bingung. Pesantren memang menarik, tapi aku tidak berani jauh dari rumah. Aku gak mau pisah dari ibu..."
"Teteh tdk bisa bersekolah di tsanawiyah, karena jadwal pendaftarannya sudah lewat seminggu yang lalu. Ayah kira, teteh jadi mesantren..." suara ayah sedikit ditekan saat mengatakan mesantren. Tentu saja, ayah kecewa karena  aku  tidak  mendaftar  di  madrasah tsanawiyah yang sama dengan tempat Aa belajar. Aku diam, makin menunduk.

"Dimanapun kau bersekolah, ibu dan ayah akan mendukungmu. Tapi, kondisi sekolah di luar sana berbeda dengan sekolah lamamu. Teteh harus bisa menerima keadaan dan terus bertahan dengan prinsip- prinsip belajar yang sudah dimiliki saat ini. Masa depanmu ditentukan  dengan  apa  yang  akan  kau lakukan." Kali ini ibu berbicara pelan, tapi tegas.
"Jadi, bagaimana?" ayah kembali bertanya.
"Aku tetap bersekolah di Bandung saja, bu." Ahirnya aku bicara.
"Tidak jadi mesantren?" ayah bertanya memastikan. Aku mengangguk.
"Baiklah, ini keputusanmu. Kami akan mendukung semua yag kau putuskan sendiri. Sekarang, sekolah mana yang kau pilih?" ayah kembali bertanya.
"Aku bersekolah di SMP Negeri saja, yah."
"Besok, ibu akan mengajakmu untuk mendaftar di sekolah negeri yang katanya terbaik di wilayah timur.
Kita lihat bersama, seperti apa, ya. Tapi ingat, kalau sudah mendaftar, tidak bisa pindah sekolah lagi." Ibu berkata dengan suara tegas. Aku menganggukkan kepala, tanda setuju.
*****


SEKOLAH BARUKU

Bangunan sekolah ini lebih kecil dari SD ku, hanya berupa gedung dua lantai dengan luas lahan yang mungkin sekitar seperempatnya dari luas sekolahku dulu. Ketika aku mendaftar, petugasnya tersenyum ramah dan mengatakan, "Ini NEM tertinggi. Pasti diterima, bu!". Ibu hanya tersenyum, lalu pamit pulang. Aku yang ada disamping ibu juga ikut tersenyum.
"Teteh yakin, mau sekolah disini?" Ibu kembali bertanya. Aku mengangguk.
"Yakin, tidak mau mesantren?"
"Iya, Bu. Yakin." Aku menjawab pendek. Dalam hati, sebenarnya  aku  masih  ragu.  Bisakah  aku beradaptasi dengan baik? Entahlah....
Selesai urusan mendaftar sekolah, aku dan ibu kembali pulang. Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak berdiam diri. Setidaknya, aku harus menunggu sekitar sepuluh hari dari sekarang untuk memulai bersekolah di SMP Negeri.
*****

Tahun ajaran baru dimulai. Aku resmi menjadi salahsatu murid kelas VII B. kelasku ini terletak di lantai dua. Kelasnya lebih kecil dibandingkan dengan kelasku saat di SD, jumlah siswa per kelas nya 40 orang. Anak-anak lain sepertinya sudah saling kenal. Ya,
tentu saja, karena mereka kebanyakan berasal dari sekolah yang sama. Hanya aku sendiri yang berasal dari madrasah ibtidaiyyah. Dari sekian banyak murid, siswi yang memakai kerudung hanya dua orang. Aku lebih banyak diam dan memperhatikan kelakuan teman- teman. Kadang, ada satu atau dua orang teman yang mengajak kenalan, aku mengangguk dan tersenyum pada mereka.
"Assalamualaikum, boleh aku duduk disini?" sapa seorang anak perempuan. Dia cantik, kulitnya putih. Sepertinya, dia juga tidak punya banyak teman. Aku tersenyum, lalu mengangguk dengan cepat.
"Waalaikum salam, namaku Faza. Kamu, siapa?" "Aku Sarah..." jawabnya.
Kami kemudian ngobrol tentang asal sekolah dan tempat tinggal masing-masing. Bagiku, ini teman yang pertama di sekolah baru ini. Adzan Dzuhur

berkumandang. Aku  bergegas  mengemasi  barang- barangku.
"Sarah, aku harus sholat. Kita cari mushola, yuk!" "Tadiakusempatbertanyakekakakkelas, dimana musholanya. Ternyata ada di seberang kelas
kita, Za. Yuk, aku tau tempatnya."
Aku dan Sarah segera menuju mushola. Ternyata, sudah banyak anak-anak lain yang mau sholat juga. Mushola ini kecil, ada di lantai dua. Dibawahnya, ada tempat wudhu dan kantin sekolah. Beda banget dengan tempat sholat di sekolahku yang dulu. Ada masjid besar dan megah, yang letaknya tepat di tengah kompleks sekolahan. Aaah, jangan membandingkan dengan yang lama, terima apa adanya, Zaaa. Aku lagi-lagi bicara sendiri di dalam hati.
Sejak hari itu, Sarah menjadi teman terbaikku. Selain dia, ada lima orang teman lainnya yang juga baik, tapi mereka beda kelas. Kami kenal satu sama lain, karena sama-sama menjadi anggota ekskul kerohanian di sekolah ini.
*****

Suasana kelas  ribut  banget. Guru  Bahasa  Indonesia yang seharusnya mengajar, tidak datang karena sakit.  Sebenarnya,  ada  tugas  yang  harus dikerjakan anak-anak. Tapi, mereka sepertinya tidak peduli. Hanya aku, sarah dan Ilham yang mengerjakan tugas ini. Kelas semakin ribut tak terkendali. Beberapa anak laki-laki bermain bola di kelas.
"Panggilan... untuk KM kelas VII B, harap segera menemui guru piket." Pengeras suara diatas papan tulis berbunyi sangat keras.  Anak-anak  yang dari  tadi membuat keributan, langsung berlarian ke kursinya masing-masing. Mereka terburu-buru mengambil buku tugasnya masing-masing. Ilham yang jadi KM, bergegas pergi ke ruang piket.
"Kalian, yang namanya ada dalam kertas  ini ditunggu oleh Bapak Irawan. Temui beliau di dekat tiang bendera." Kata Ilham. Kertas yang dipegangnya segera diserahkan kepada Indri, sekretaris KM. Indri membacakan nama  Sanusi,  Burhan,  Rizal,  Fahmi, Amira, Nida, Fauzi, dan entah siapa lagi, aku lupa. Hanya ada empat nama yang tidak ada dalam daftar yang dibacakan Indri.

Tiba-tiba, Burhan keluar dari tempat duduknya. Dia berjalan kearah meja Ilham. Tangannya langsung menjambak baju Ilham. Dengan marah, dia menarik Ilham keluar dari kursinya.
"Dasar tukang lapor! Temen apaan, gak solider!" teriak Burhan.
"Aku hanya menjalankan perintah guru!" Balas Ilham. Dia berusaha melepaskan cengkraman Burhan.
Seperti dikomando saja, anak-anak  yang tadi bermain bola langsung mengerubungi Ilham. Mereka ikut marah juga.  Keributan  di  kelas  ini  semakin memanas. Indri berteriakiteriak panik, mencoba membela KM nya. Teriakannya itu ternyata diabaikan.
"DIAAAM!!!" Teriak Pak Irawan. Kami tidak menyadari kehadiran beliau. Tiba-tiba saja pak Irawan sudah berdiri di depan pintu kelas.
Semua anak terdiam, mereka langsung berjalan ke kursinya masing-masing dengan wajah cemas. Siapa sih yang gak kenal Pak Irawan, Pembina ekskul yang terkenal sangat disiplin.

"Siapa yang masih mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, acungkan tangan yang tinggi!" perintahnya tegas. Aku, Sarah, Indri dan Ilham mengangkat tangan.
"Baiklah... anak yang mengacungkan tangan, tetap tinggal di kelas. Lanjutkan pekerjaan kalian. Yang lainnya, ikuti bapak sekarang juga!" kata Pak Irawan sambil berjalan keluar kelas. Anak-anak lain bergegas keluar kelas. Mata mereka menatap sinis kearah kami, yang masih terdiam dengan bukunya masing-masing. Aku pura-pura  tidak  melihat  mereka,  buru-buru  menulis.
*****
Hari ini ada ulangan Matematika. Ketika aku datang, anak-anak sudah ribut kasak kusuk, membuat catatan kecil berisi rumus-rumus matematika. Aku tidak peduli, dan berusaha duduk tenang.
"Sudah siap untuk ulangan, Za?" tanya Sarah yang baru datang dari mushola. Aku mengangguk mantap.
"Aku belum siap. Bisakah kau ajari? Ada beberapa bagian yang belum ku mengerti"

Sarah membuka buku latihan soal. Dia menunjukkan soal-soal  yang  belum  dikerjakannya. Dengan senang hati, aku mengerjakan soal-soal itu satu persatu sambil mencoba menjelaskan sebisaku. Sarah mengangguk-anggukkan kepalanya. Kadang, dia bertanya ini dan itu.
"Assalamualaikum..." sapa Bu Ida, guru Matematika.
"Waalaikum salam Bu..." kami menjawab serentak. Kelas langsung senyap. Aku dan Sarah, buru- buru membereskan buku kami masing-masing.
"Kumpulkan buku paket dan buku catatan kalian di meja depan. Ibu harap, kalian bisa mengerjakan soal ulangan ini dengan baik. Jangan ada yang mencoba berbuat curang. Mengerti?"
"Mengerti Buuu..." kami berteriak nyaring.
Ibu Ida membagikan kertas ulangan. Kami semua langsung sibuk mengerjakan ulangan. Setengah jam berlalu, aku baru mengerjakan setengah bagian dari soal yang diberikan bu guru. Dari arah samping, aku melihat Hilda menarik rok nya. Dia mencontek. Aku pura-pura tidak melihatnya.

"Za... aku gak bisa. Minta contekan dong," Sarah yang duduk disampingku berbisik. Aku menggelengkan kepala, kembali berusaha mengerjakan soal-soal itu.
Satu jam kemudian, terdengar suara bel pergantian jam pelajaran. Kami segera mengumpulkan kertas ulangan  matematika.  Tidak  berapa  lama kemudian, guru IPS datang. Bu Ida langsung keluar kelas.
Ketika bel tanda pulang, Sarah masih cemberut.
Aku jadi tidak enak hati.
"Sarah, maafkan aku. Sampai kapanpun, aku tak bisa membantu memberikan contekan. Tapi, aku akan membantu menjelaskan pelajaran  sebisaku, sebelum ulangan dimulai. Aku tidak biasa mencontek dan tidak akan pernah memberikan contean pada siapapun. Ini prinsip hidupku. Jadi, tolong fahamilah."
"Ya, tidak apa-apa" jawab Sarah pendek.
*****
Seminggu kemudian, bu Ida membagikan kertas ulangan. Dari empat puluh orang, hanya dua orang siswa yang mendapat nilai 10, aku dan Hilda. Hilda tersenyum senang ketika teman-teman bertepuk tangan

dan menatap bangga kearahnya. Aku hanya tersenyum saja. Sarah mendapat nilai 65.
"Faza, maaf ya. Waktu itu aku marah sama kamu. Kata Umi, kamu benar. Tidak sepantasnya aku marah," kata Sarah. Aku mengangguk dan menyalaminya.
"Kita belajar  lebih  semangat.  Kalau  perlu  bantuanku, jangan sungkan untuk bertanya. Tapi tidak pada saat ulangan."
Sarah mengangguk. Hari ini ada ulangan Bahasa Sunda. Aku harus belajar ektra, karena banyak kosa kata bahasa  sunda  yang tidak kufahami.  Sarah membantuku mengajari bahasa sunda.  Dia memang jagonya. Ketika ulangan, sarah mengerjakan soal dengan riang. Aku sendiri lebih sering mengernyitkan alis, karena banyak yang tidak bisa. Lagi-lagi, aku melihat Hilda dan teman sebangkunya mencontek. Aku menghembuskan nafas kesal.
*****
Dadaku sesak menahan tangis. Nilai ulangan Bahasa Sunda dan PKn ku dibawah angka 60. Hilda, seperti biasa memiliki nilai sempurna. Aku pulang ke

rumah lebih siang dari biasanya. Ajakan kumpul untuk persiapan pembuatan film dari Sarah, kuabaikan.
Saat aku datang, Ibu ternyata sudah ada di rumah. Ibu tidak kerja, karena adikku sakit. Melihat aku datang dengan wajah kusut, ibu hanya tersenyum.
"Kenapa, mukanya ditekuk seperti itu?" tanya ibu. "Aku kesal. Kenapa orang-orang terbiasa bersikap
tidak jujur  pada  dirinya,  juga  pada  guru-guru. Sepertinya, kecurangan yang dibuat mereka  itu dibiarkan."
"Urusan apalagi?"
"Soal ulangan, bu. Hilda dan teman-temannya dapat nilai sempurna. Aku hanya dapat nilai 60 untuk PKn dan 45 untuk Bahasa Sunda," kataku.
"Ibu tanya, teteh marah karena nilai kecil, Atau karena kebiasaan teman-teman yang mencontek?"
"Karena keduanya."
"Sayang, jika marah mu karena nilai, maka kemarahan mu itu akan hilang saat nilaimu besar. Ketika kau belajar maksimal, nilai besar itu datang dengan sendirinya."

"Untuk punya nilai besar, aku harus belajar keras. Sementara teman-teman, mereka sepertinya tidak perlu belajar seperti yang aku lakukan."
"Jika teteh sudah belajar maksimal, maka teteh termasuk orang yang beruntung. Teteh akan punya nilai besar dan mendapat pemahaman terhadap pelajaran itu. Sedangkan mereka, hanya dapat nilai besar saja. Sekarang, siapa yang beruntung?. Nak, hidup itu penuh perjuangan. Jika kau membiasakan diri untuk menjadi pejuang, maka kelak kau akan menjadi pejuang yang tangguh. Pemenang itu lahir karena proses latihan yang keras. Kalau kau marah pada teman-teman, itu gak ada artinya. Teteh malah meracuni diri sendiri dengan fikiran negative."
"Trus, aku harus bagaimana?"
"Lupakan kebiasaan  buruk  teman-temanmu.  Biarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka sendiri yang akan memetik buahnya. Dalam setiap perlombaan, pemenang itu tidak banyak. Orang bermental pemenang, biasanya akan bekerja lebih keras dibandingkan peserta lainnya. Pada ahir pertandingan, hasil yang diterima oleh pemenang dan peserta tentunya

berbeda, walaupun apa yang dikerjakan mereka pada awalnya mungkin saja sama. Za, Hidup itu sebuah pilihan. Apapun  pilihan  kita,  pada  ahirnya  akan dipertanggungjawabkan kepada  Sang  pencipta kehidupan."
Aku diam, berusaha menerima apa yang ibu  katakan.
"Sudahlah, sekarang teteh makan dulu. Ibu sudah masak sayur asem dan penjelan pedas kesukaanmu. Makan yang banyak, terus temani ade. Ibu ingin mandi dulu."
Aku mengangguk dan tersenyum, membayangkan sedapnya makanan yang disebutkan ibu. Ya, mulai sekarang, aku harus belajar lebih rajin dan tidak usah peduli pada kebiasaan buruk teman-teman.
*****

LOMBA FILM DOKUMENTER

Kelas berukuran 7 x 9 meter ini makin terasa sempit karena keributan yang dibuat Burhan CS. Kali ini, mereka bermain bola kertas.
Guru PKn berhalangan hadir karena sakit. Jadi, kami mendapat tugas mengerjakan latihan soal. Aku, Sarah dan Ilham sudah beres mengerjakan tugas itu, sehingga leluasa ngobrol rencana pembuatan film.
"Taufik ngajakin  kita  untuk membuat  film dokumenter. Ada lomba tingkat nasional. Ikutan gabung, yuk!" Sarah membuka obrolan.
"Boleh. Tema film nya, apa?"
"Itu dia... masih nyari tema film yang sesuai dengan kemampuan kita."
"Bagaimana kalo tentang permainan anak-anak?" usulku.
"Permainan seperti apa? Gadget?" Sarah memberikan usulnya.
"Gadget udah gak menarik lagi. Semua anak yang seusia kita, sudah punya aplikasi gadget masing-masing pada ponsel atau note book mereka."

"Jadi, permainan seperti apa yang akan di angkat untuk film kita?"
"Permainan anak-anak zaman dulu?. Engrang, congklak, gobak sodor, sondah? Uuuh... anak zaman sekarang, mana ada yang mengenal permainan seperti itu,"
"Justru disitu keunikannya. Sekarang, Kita cari tahu dimana tempat anak-anak yang masih menggunakan permainan seperti itu. Aku tanya ibu dulu, ya. Dia punya banyak temen, mungkin bisa bantu." Kataku menutup obrolan. Bu guru yang ngajar IPS sudah berdiri di depan pintu kelas.
*****
Seminggu ini, rencana pembuatan film dokumenter semakin mengerucut kepada pembicaraan teknis. Aku, Sarah, Taufik. Ilham dan Nadya asyik membicarakan pembagian tugas dan menyusun skenario pembuatan film dokumenter. Handy cam punya Taufik menjadi senjata utama yang paling berharga, dia merekam setiap moment dari film yang kami buat. Aku dan Sarah  menjadi reporter,  Ilham menulis script wawancara untuk narasumber sedangkan Nadya sebagai

pengarah gaya alias sutradara. Karena ide awalnya dari Taufik, maka dia menjadi leader kami dalam proyek ini.
Hari Sabtu, kami siap melakukan pengambilan film. Beberapa hari lalu, ibu sudah menghubungi kepala sekolah SD Alam dan mereka siap membantu. Pukul delapan pagi, kami berlima sudah berada di lokasi  pengambilan film. Saat kami datang, anak laki-laki asik bermain gobak sodor, sorodot gaplok dan petak umpet. Di sudut  lainnya,  anak-anak  perempuan  bermain sondah, bekel dan sapintrong. Taupik langsung membuka handy cam. Dengan cekatan, dia merekam semua yang dilakukan anak-anak. Waaah...Anak-anak kecil ini hebat, mereka tidak  canggung walaupun permainan yang dilakukannya terus disorot kamera. Kadang, Aku, Sarah dan Nadya secara spontan ikut larut dalam permainan yang mereka lakukan. kami bisa tertawa lepas bareng anak-anak lainnya saat bermain
Ular  Naga  karena  Nadya  yang  ketangkap,  langsung dikelitik oleh anak kecil yang jadi penjaga garda.
Bapak kepala sekolah mau meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan Sarah, yang jadi reporternya.Semua pertanyaan dijawabnya dengan

lengkap. Taufik yang merekam wawancara, beberapa kali mengacungkan jempolnya. Kepala sekolah juga mengusulkan agar Psikolog yang menjadi konsultan sekolah turut dijadikan sebagai narasumber. Kebetulan, hari itu dia ada di sekolah. Tentu saja, saran beliau kami sambut gembira. Ilham dengan sigap, langsung menulis daftar pertanyaan sebagai bahan wawancara dadakan kearahku.
Tidak terasa, hari beranjak senja. Ahirnya, kami berhasil merekam semua aktifitas permainan anak-anak sesuai script yang dibuat Ilham. Hmmm... indahnya. Sepenggal moment  masa  kecil  mereka,  berhasil diabadikan oleh tim. Penat yang dirasakan, setara dengan kebahagiaan berlimpah yang kami terima sore ini. dalam  perjalanan  pulang,  Ilham  dan  Taufik  merencanakan kegiatan mengedit film. Untuk urusan ini, mereka memang ahlinya.
Saat jam istirahat pertama, Taufik mengajak tim untuk kumpul di mushola. Taufik dan Ilham kesulitan dalam mengedit  film.  Kemampuan  mereka  dalam menggunakan computer masih terbatas.

"Minta bantuan Pak Agus aja, yuk. Beliau guru TIK yang baik," usul Nadya. Sarah melirik padaku, sambil berkata; "Urusan pedekate dengan Pak Agus, serahkan pada kami. Sekarang ada pelajaran TIK, Aku dan Faza bisa minta bantuan beliau. Gimana?". Taufik mengangkat jempolnya. Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Kami  langsung  bubar, kembali  ke  kelas masing-masing.
Siang ini, kami kembali berkumpul di laboratorium TIK. Pak Agus berkali-kali memuji ide kreatif yang dapat diterjemahkan dengan baik dalam film ini. Kami juga belajar bagaimana cara mengedit foto yang benar. Ramailah ruang laboratorium TIK dengan celoteh lima anak yang antusias memperhatikan setiap potongan film. Ilham dan Nadya sibuk dengan catatan skenario film yang dibuatnya. Aku, Sarah dan Taufik bertugas melihat film dan memastikan setiap alur film sesuai dengan skenario yang ada.
Tidak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Pak Agus meminta kita semua pulang. Pak Agus bersedia mengedit keseluruhan film ini hingga

ahir. Besok pagi, film sudah harus dikirimkan kepada panitia lomba melalui surel.
*****

MAHDI, SI PENAKLUK ULAR

Aku dan teman-teman tinggal menanti pengumuman lomba. Proses diskusi yang alot tentang film yang melelahkan, sudah berahir. Hari ini, aku pulang dengan bahagia.
Saat aku datang, ibu sedang duduk di ruang baca. "Assalamualaikum Ibuuu," sapaku, dan langsung
tiduran dipangkuannya.
"Waalaikum salam, nak." "Mahdi belum datang, bu?"
"Belum. Mungkin masih di jalan. Teteh mandi dulu, bau ah!" kata ibu sambil bercanda. Aku bukannya mandi, malah  berusaha  memeluk  ibu  yang  masih membaca bukunya.
"Ibuuu ... Assalamualaikum," Adikku yang baru datang berteriak heboh. Dia baru kelas empat SD. Mahdi punya segudang energy dalam tubuhnya, sehingga selalu saja ada tingkah polah yang membuat seisi rumah kelabakan.
"Aku punya kejutan buat Ibu.  Matanya  merem  ya!. Teteh juga diem. Awas, gak boleh ngintip." Katanya

ribut.Kamiberduamengikutiperintahnyasambil tersenyum.
"Ya, sekarang buka matanya!" "ASTAGHFIRULLAH, MAHDIIII !"
Ibu dan aku langsung berdiri karena kaget. Ular Piton yang panjangnya sekitar dua meter, bergelung malas diatas karpet.
"Tenang, dia masih tidur, bu." Jawabnya. "Aku yang menangkap ular ini sendirian, hebat kan?.
"Bukankah kamu tadi pergi sekolah? Dimana kamu menangkap ular itu?" tanya ibu beruntun. Aku sudah berusaha mengamankan diri, menjauh dari ular Piton yang meringkuk diam.
"Begini, Aku menyelinap ke luar sekolah lewat pagar samping. Disana ada kuburan. Terus, dibawah pohon besar itu ada lubang besar, tempat ular ini sama anak-anaknya tinggal. Naah, aku lihat ular besar itu lagi tidur. Kufikir, inilah saat yang tepat untuk mempraktekkan cara menangkap ular seperti yang pernah ibu ajarkan," katanya penuh semangat.
Ibu tertegun, Masyaallah... Beberapa minggu lalu, kami menonton petualangan Panji, Sang Penakluk

di salahsatu stasiun TV swasta. Panji, tokoh dalam film dokumenter itu seorang pemuda yang memiliki kemampuan menangkap ular berbisa. Selesai menonton, Ibu bercerita jika saat kuliah, Ibu pernah menangkap ular Piton yang nyasar ke tenda. Waktu itu, Mahdi minta agar ibu mempraktekkan cara menangkap ular dengan menggunakan ular-ularan karet. Ibu mengajari dia, bagaimana cara memegang ular dengan  benar. Mahdi dengan antusias mencoba beberapa kali.
Saat ini, aku dan ibu dibuat kaget sekaligus bangga dengan keberaniannya. Ibu bersyukur, karena ular yang ditangkap adikku dalam masa puasa, sehingga tidak begitu berbahaya. Bayangkan saja, selama empat jam ular ini berada dalam tas sekolah yang menempel di punggung adikku. Cerdasnya, bagian kepala ular dibungkus dengan plastik sehingga ular menjadi lemas karena kekurangan oksigen.
"Setelah nyampe rumah... mau diapain ularnya, De?" tanyaku iseng.
"Mau dipelihara. Di gudang, ada akuarium bekas. Itu bisa aku pake kan bu?" tanyanya sambil menatap

wajah ibu penuh harap. Ibu langsung menggelengkan kepala.
"Ular binatang buas, bukan untuk dipelihara. Hidupnya di alam bebas. Dia diciptakan Allah menjaga ekosistem sawah. Kamu tau, apa makanan ular ini?" tanya ibu serius.
"Tikus, ayam, musang... apa lagi ya teh?" katanya balik bertanya padaku. Aku nyengir sendiri, hebat juga otaknya.
"Nah, kalo ular ini ditangkap dan mati... ada berapa ekor tikus yang berkembang biak dengan cepat di sawah. Lalu, berapa banyak padi yang kemudian dimakan tikus-tikus itu?. Siapa yang akan dirugikan dengan matinya ular ini?" Ibu kembali bertanya pada adikku. Dia terdiam lama.
"Buuu... aku salah, ya?" Mahdi bicara dengan suara pelan.
Ibu tersenyum, lalu mengelus lembut rambut adikku. "Sayang, apa yang kau lakukan itu memang salah. Tidak sepantasnya kamu mengusik kehidupan ular itu. Jadi, kalau mau memperbaiki kesalahanmu,

sebaiknya ular ini kita kembalikan saja ke sungai. Mau?".
Mahdi mengangguk cepat. Tangannya buru-buru menggapai bagian kepala ular. Maksudnya mungkin mau membuka plastic yang menutupinya.
"Eit, jangan dibuka disini!" teriak ibu. "Kenapa, bu?" tanyaku penasaran.
"Kita tidak tau bagaimana kondisi ular ini. Jadi, sebaiknya dibawa keluar rumah dulu. Biar pak satpam yang buang ular ke sungai. Teh, coba lihat ke pos satpam, ada yang sudah berjaga gak sekarang? Kalo ada, minta datang ke rumah secepatnya." Waaah, aku deh yang harus bekerja.
Pak Umar, satpam yang jaga sore itu kaget banget melihat ular piton sepanjang dua meter bergelung lemas diatas karpet. Tangannya dengan cekatan membuka plastic yang mengikat kepala ular, lalu dibawa keluar. Mahdi mengikuti langkah kaki Pak Umar yang bergegas pergi menuju sungai di belakang kompleks perumahan. Aaah, Semoga saja kejadian ini bisa menghabiskan rasa penasaran adikku pada ular.
*****

FINALIS YANG TIDAK TERDUGA

Treeet... Hp ku bergetar, tanda ada pesan masuk untukku.
"Karya kita masuk sebagai finalis, Alhamdulillah". Pesan pendek dari Taufik ini mampu membuat aku terlonjak girang.
"Setelah jam pelajaran terahir, semua kumpul di laboratorium TIK. Ada yag harus kita diskusikan bersama." Pesan berikutnya masuk. Olalaaa... keren banget! Mataku langsung berbinar cerah. Lelah dan penat selama tiga minggu, sekarang terbayar lunas.
Siang itu, kami  berlima berkumpul  di  ruang laboratorium dengan Pak Agus. Dari awal bertemu, semua berwajah cerah  ceria.Pak  Agus berkali-kali menyalami kami berlima dan tersenyum lebar.
"Selamat, usaha maksimal yang kalian lakukan berbuah manis. Sekarang, saatnya kita menyiapkan diri untuk presentasi dihadapan dewan juri secara langsung. Panitia mengirim tiket akomodasi untuk tiga orang, jadi kita sekarang berembuk untuk menentukan siapa yang

akan mewakili tim,"  kata  Pak Agus  membuka  pembicaraan.
Kami saling pandang satu dengan yang lainnya. "Aku rasa, Taufik pantas mewakili kita semua.
Dia yang pertama punya ide untuk mengikuti lomba ini. Dia juga yang mendesain semua ide-ide yang kita lontarkan hingga berwujud film," Nadya mengemukakan pendapatnya. Kami bertiga mengangguk setuju.
"Terimakasih untuk kepercayaan kalian, tapi aku mau, ada yang menemaniku presentasi. Kalian lihat, finalis lain pada  umumnya orang  dewasa  yang professional dan mahasiswa jurusan jurnalistik. Hanya kita yang mewakili Jawa Barat dan masih anak SMP kelas dua pula..." jawab Taufik dengan suara pelan. Mendengar jawabannya,  kita  semua  merasa  ciut. Sepuluh finalis yang di undang ke Jakarta ternyata kumpulan orang-orang hebat. Sedangkan kita? Wuidiiih... pemula bau kencur!
"Jangan berkecil hati. Kalian sudah menjadi finalis, artinya kemampuan kalian setara dengan finalis lainnya. Bapak kira, sekaranglah saat yang tepat untuk menunjukkan kehebatan kalian. Saat ke Jakarta nanti,

bapak akan menemani kalian. Tugas bapak sebagai pembuka presentasi, selebihnya ... untuk urusan konten presentasi, bapak serahkan pada Taufik."
"Oke, sudah ada dua orang yang siap berangkat. Satu orang  lagi,  siapa?"  tanyaku  pada  mereka.  "Bagaimana kalau Nadya? Tim kita enam orang dengan komposisi berimbang antara putra dan putri. Jadi ... boleh dong  kalo  Nadya  yang  berangkat,"  usulku kemudian. Nadya langsung melotot kearahku.
"Yey... kemarin, kamu dan Sarah yang jadi reporter. Jadi,  lebih  pantas  kalian  dong!"  Nadya menyanggah sambil manyun.
Aku dan Sarah kompak melambaikan tangan sambil berkata, "No...No... No... TIDAAAK!. Kita itu bak pinang di belah dua. Kuota tinggal satu, jadii kami gak mungkin terpisakan. Sudahlah... terima nasib, Nad!" Sarah menggoda Nadya. Ugh... makin sebel saja dia.
"Nadya... jarang-jarang ada  kesempatan  buat show your power. Skala nasional pula! Udah, terima ya. DEAL!!!" Kali ini, Ilham angkat suara.
Pak Agus menjabat tangan Nadya.

"In Syaa Allah... Nadya bisa bekerjasama dengan Taufik. Sekarang, kita bantu mereka menyiapkan bahan presentasi," kata Pak Agus menutup perdebatan.
Persiapan presentasi dimulai dengan membuat power point minimalis. Ya, juri memberi waktu bicara hanya 10 menit bagi mereka bertiga. Mulailah kami berdiskusi tentang point mana saja yang layak diangkat dalam presentasi. Alhamdulillah, tiga jam berdiskusi itu akhirnya menghasilkan bahan tayang yang sangat memuaskan. Semoga, kami bisa jadi salahsatu pemenangnya.
Keesokan harinya, dengan menggunakan mobil orangtua Nadya, mereka bertiga berangkat ke Jakarta jam empat pagi. aku, Sarah dan Ilham seharian di sekolah, harap-harap cemas menunggu kabar baik dari mereka. Sampai jam tiga sore, kabar yang dinanti itu tak kunjung tiba. Duuuh, bikin penasaran saja.
Upacara bendera pada Senin ini menjadi special bagi kami berlima. Wow... sekolah memberikan apresiasi bagi kami yang menjadi juara ke dua tingkat nasional. hadiahnya banyak, ada handy cam, kamera yang super mahal, uang pengembangan minat dan bakat fotografi

senilai 10 juta rupiah dan plakat bagi lima orang anggota tim. Kepala sekolah menyerahkan plakat bagi kami di depan semua peserta upacara, tepuk tangan meriah menyertai penyerahan plakat tersebut. Hmmm... seminggu ini, kami menjadi tranding topic bagi guru maupun siswa satu sekolah.
Banyak orang yang memuji kami, tapi ada juga yang tersenyum mencibir dan berkata, "ah... itu sih faktor keberuntungan saja. Juri merasa kasihan karena mereka peserta termuda." Apapun komentar mereka, kami berlima hanya bisa tersenyum dan berkata... kita akan buktikan pada mereka semua, jika prestasi ini merupakan pembuka bagi prestasi  yang  lainnya. Semoga.
*****

BERJUANG, MERAIH NILAI SEMPURNA

Dua tahun bersekolah di SMP Negeri, masih saja aku tidak betah dengan kondisi sekolah. Selalu saja ada rasa rindu yang tiba-tiba hadir. Aku merasa kangen pada kehangatan proses belajar dengan guru-guruku yang hebat dan kangen pada teman-teman yang selalu berlomba dalam  belajar  di  sekolah  lamaku.  Jika perasaan itu  datang,  maka  aku  berusaha  lebih mendekatkan diri pada sahabat-sahabatku di DKM  Mesjid sekolah. Ya,  disini  kami belajar tahsin, menambah  jumlah  hafalan  al  quran  yang  dimiliki  dan berdiskusi tentang apasaja. Kegiatan kami dibimbing oleh kakak-kakak alumni. Mereka mahasiswa ITB dan Unpad yang masih peduli pada almamaternya.
Pada  tahu  ketiga,  kami  harus  belajar  ekstra
karena menghadapi ujian nasional. dalam hati, aku membuat target sendiri. Aku mau ke SMAN 3 Bandung. Sekolah terbaik yang kata-teman-temanku, "Itu sekolahnya para dewa pembelajar. Anak yang masuk ke sana memang niat banget jadi mahasiswa ITB!" aaah. Apapun    yang    mereka    katakan,    aku    tak peduli.

Pokoknya, aku harus berjuang lebih keras lagi untuk meraih impianku ini.
Sore ini, aku pergi ke tempat bimbel. Ada Try out tahap dua. Aku mengerjakan soal try out ini dengan penuhsemangat  danhati-hati,.Teman-temanyang mengerjakan soal di kursi barisan belakang, terdengar ribut mengeluh ini itu. Mereka saling kerjasama untuk mencontek. Sebel, gak di sekolah gak di tempat bimbel, mencontek sudah jadi budaya. Aku berusaha tetap fokus mengerjakan soal-soal ini, dan tidak peduli pada mereka. Duaharikemudian,pakIwanmenempel perolehan hasil try out di papan pengumuman. Yes, aku diperingkat  pertama  dengan  total  skor  328.  Teman-
teman di tempat bimbel langsung ribut. Mereka protes. "Pak,  Faza  kan   jarang  hadir   bimbel. Kenapa
nilainya bisa jadi yang paling bagus?" kata Indra sewot. "Dia jarang hadir, tapi bukan berarti tidak belajar.
Coba tanya, kenapa Faza tidak mau datang ke tempat bimbel?" kata Pak Iwan di depan kelas.
"Za, jawab  tuh!"  bisik  Airin,  yang  duduk disampingku. Aku gak mau jawab, masih anteng dengan soal matematika yang belum ketemu jawabannya.

"Pak, kalo di sekolah, kehadiran berpengaruh pada nilai. Bagaimana dengan di tempat bimbel?" kali ini, Helmi yang bersuara.
"Tidak ada pengaruh. Semua murni hasil usaha kalian masing-masing. Kehadiran 100% di Bimbel tapi tidak belajar maksimal, tetap saja tidak meningkatkan pengetahuan dirinya." Kata-kata Pak Iwan membuat teman-teman yang lain kembali ribut.
"Faza, bapak mau tanya. Berapa jam dalam sehari, waktu yang digunakan untuk latihan soal?"
"Mungkin sekitar lima jam, kadang lebih pak," jawabku.
"Itu diluar jam belajar di kelas dan bimbel, kan?" kembali Pak Iwan bertanya. Aku mengangguk.
"Kalian dengar sendiri, berapa banyak waktu yang dipakai dia untuk belajar? Jadi... siapa yang mau punya nilai besar, cobalah mengikuti waktu belajar Faza." Kata-kata Pak Iwan membuat anak-anak terdiam, mati kutu.
*****
Pelaksanaan Ujian Nasional tinggal sebulan lagi. Aku terus memacu diri untuk belajar lebih optimal

melalui Hypno Therapy yang kulakukan sendiri, dengan bantuan buku dan CD Interaktif. Seminggu sekali, aku menghipnotis diri  dengan  tujuan  merefresh  ulang semangat belajar  yang  kadang  kendor  dan  terus mengulang target nilai UN sebesar besarnya. Aku ingin mendapat nilai sempurna untuk Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Untuk Bahasa Indonesia, aku tidak berani mematok nilai sempurna. Selain itu, belajar mandiri dan qiyamul lail lebih ditingkatkan.
Ternyata, bukan aku saja yang tancap gas dalam belajar. Teman-teman baik di sekolah maupun di tempat bimbel sekarang ini lebih serius belajar. Hanya satu dua anak saja yang masih kurang peduli. Semua itu karena guru-guru dan orangtua mereka rupanya lebih streng mengingatkan akan kewajibannya.
Hari besar itu ahirnya datang jua. Ujian Bahasa Indonesia. Aku berusaha keras untuk menjawab setiap soal ujian dengan hati-hati. Dari empat pelajaran yang diujikan, bagiku pelajaran inilah yang paling sulit. Sempat, beberapa hari lalu... aku mengadukan hal ini pada ibu.

"Aku takut,  nilai Bahasa Indonesiaku  buruk. Gimana nih? Sampai sekarang, aku kesulitan untuk mendapat nilai sempurna."
"Sayang, Allah sang  pemilik  ilmu. Dia akan memberikan ilmu  pada hamba  yang  disayanginya. Cobalah berusaha menjadi kekasihNya," kata ibu.
"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran. "Perbaiki kualitas ibadahmu dengan Qiyamul lail,
puasa sunat, sedekah, berbuat baik pada sesama, dan minta doa pada orangtua dengan hati iklas. In Syaa Allah, ridhoNya akan turun."
"Ibuuu... maafkan semua khilafku. Bantu aku dengan doa, supaya Allah berikan kasihnya untukku. Aku janji, akan menjadi anak yang lebih baik lagi," kataku sungguh-sungguh. Diam-diam, aku menangis dalam pelukan ibu.
"Tanpa kau  minta,  seorang  ibu pasti  akan mendoakan anaknya. In Syaa Allah, ibu memaafkan semua khilaf  teteh..."  kata  ibu  sambil mencium keningku. Alhamdulillah.Karena doa dan bimbingan ibu, ahirnya, aku bisa mengerjakan ujianku dengan tenang. Saat mengerjakan soal, semua rasanya menjadi mudah.

*****
Pengumuman kelulusan dan hasil ujian dikirim via pos. seharian ini, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Saat aku lagi baca buku, Mahdi tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengacungkan amplop putih, sambil berteriak,
"POOOS... POOOS ... POS NYA MBAAAK
Aku terlonjak girang, langsung merebut surat yang dipegangnya. Dengan hati-hati, pinggiran surat ku robek pelan.
"YEEEEAAAAH... BERHASIL!" Mahdi berteriak disampingku. Kontan, aku terlonjak kaget dibuatnya.
"IBUUU... NEM TETEH GEDE!" kembali, dia berteriak nyaring.
Ayah yang sedang membaca koran, langsung berjalan kearahku. Dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
"Sini, biar ayah yang buka. Teteh pasti takut melihat hasilnya ya?" kata ayah. Aku mengangguk. Dengan cepat, surat kelulusan itu kuberikan pada ayah.
"Alhamdulillah... FAZA DINYATAKAN LULUS DENGAN NEM 382"

Suara ayah begitu indah terdengar di telinga. Aku langsung sujud syukur dan memeluk Ibu.
Finnaly... apa yang kuperjuangkan tiga tahun terahir, terbayar lunas. Aku memang belum mewujudkan impian membangun satu pintu surga buat ibu, tapi hari ini aku bisa melihat ibu tersenyum bahagia karena prestasi  yang  telah  kutoreh  untuk  dunia. Kesabaranku untuk tetap memegang teguh prinsip  belajar mandiri dan tidak  mencontek berbuah manis.
Ketika SD, aku menghafal mahfudzhah Man Sobaro dhofaro,  yang  artinya barangsiapa  yang  bersabar, maka akan memetik  buah kesabarannya. Ternyata, setelah tiga tahun bersekolah di SMP, aku bisa merasakan pengalaman langsung buah manis dari sabar yang yang kupupuk terus di dalam hatiku.
*****

KITA HARUS TERPISAH

Hari ini, aku datang ke sekolah dengan wajah sumringah. Aku dibanjiri ucapan selamat dari teman- teman, dan guru-guru di sekolah. Pak Iwan, kemarin sore sengaja  menelpon  dari  tempat  bimbel  untuk mengucapkan selamat dan  mengundang aku supaya datang mengambil hadiah yang telah dipersiapkan pihak bimbel, karena aku peraih nem tertinggi untuk wilayah Bandung Timur.
Kebahagiaanku makin  bertambah,  setelah  ku tahu jika empat orang sahabatku mendapat hasil yang sama bagusnya. Taufik nem nya 391, lebih tinggi dariku. Dia yang juara olimpiade fisika tingkat nasional mendapat bea siswa dari SMA swasta paling bergengsi di kotaku. Ilham, Nadya dan Sarah NEM nya dibawah aku, tapi nilai mereka masih bisa masuk dengan aman ke sekolah favorit.
"Za, kasian lho si Hilda," Sarah membuka obrolan. "Kenapa? Bukankah nilai dia selama ini bagus
terus?" tanyaku heran.

"Bagus karena mencontek, apa gunanya," Ilham mencibir.
"Nem nya hanya 285. Sekarang, dia sakit. Kata temen-temen, ibunya  marah besar  sampai menamparnya." Sarah menjelaskan dengan rinci. Walaupun aku pernah marah dan kesal pada Hilda, tapi mendengar berita sakitnya Hilda ini membuat hatiku sedih.
"Kita tengok, yuk!" kataku mengajak Sarah dan Ilham.
"Untuk apa? Jangan ah. Kata temen-temen di kelas, Hilda gak mau ditemui, dia juga tidak menjawab telpon dan SMS mereka. Kalau kita datang, mungkin makin membuatnya kesal sama kamu, Za. Kamu kan musuh besar dia," kata Ilham.
"Aku tidak menganggap dia musuh. Dalam kondisi prihatin, justru moment yang tepat bagi kita untuk menunjukkan empati padanya. Pokoknya, kalau kalian ngaku sobatku, besok kalian berdua HARUS MAU ngantar aku menemui Hilda." Aku menatap mata Sarah dan Ilham dengan setengah memaksa. Kalau sudah begini, biasanya mereka akan menuruti kemauanku.

"Ooke tuan putri, titahmu, perintah bagi kami," kata Sarah dan Ilham sambil membungkuk takzim, lalu tertawa. Aku tersenyum penuh kemenangan sambil menyalami Sarah.
*****
Hilda tampak kaget mendapat kunjungan mendadak dari kami bertiga. Awalnya, dia tidak mau menerima kami. Kata mamahnya, dari kemarin Hilda tidak mau makan. Dia mengurung diri di kamarnya.
Dulu, aku mengira kalau Hilda anak orang kaya yang sangat dimanja orangtuanya. Tapi, setelah melihat keadaan rumahnya, anggapan itu menguap dengan sendirinya.
Hampir setengah  jam,  kami  bertiga  duduk menunggu di ruang tamu yang sederhana. Mamahnya Hilda masih berusaha memaksa anaknya supaya mau menerima kami. Entah apa yang dikatakan mamahnya, ahirnya Hilda mau menemui kami. Wajahnya terlihat pucat, kusut dan matanya sembab. Mungkin karena terlalu banyak menangis. Ketika kami bersalaman, Hilda terus menunduk.

"Apa kabar, Hilda?" Tanya Sarah lembut.
"Kabar buruk. Buat apa kalian datang kesini?" jawabnya ketus.  Kami  bertiga tentu saja  kaget mendengar jawabannya yang tidak ramah.
"Kami datang dipaksa Faza, dia khawatir sama kamu!" kali ini Ilham bicara ketus. Aku langsung melotot ke arahnya.
"Eeh... enggak kooo. Ilham bercanda. Kita kangen sama temen sekelas. Dari kemarin kita bertiga nyariin kamu," timpal Sarah, berusaha mencairkan suasana.
"Untuk apa nyari aku? Mau pamer NEM DEWA ? kalian puas, melihat aku jadi kambing congek?" Hilda makin terlihat kesal. Aku memang tahu kalau selama ini, Hilda dikenal pemarah. Tapi, kenapa dia harus marah pada kami?.
"Hilda, maaf ya. Jika kedatangan kami membuat kamu merasa terhina, itu salah besar. Niat kami datang kesini tulus karena kami sayang dan peduli sama teman. Kita tidak berniat pamer, seperti yang kau bilang tadi. Kita ingin kamu berusaha untuk menerima takdirmu dan aku kira, nem bukan tujuan ahir hidup seorang anak SMP. Kata ibuku, perjalanan kita masih panjang.

Nem ini hanya salah satu gerbang menuju masa depan." Kataku berusaha untuk menahan emosi supaya tidak terlihat kesal.
"Kalau kedatangan kami dirasa mengganggu, kami minta maaf. Sekarang juga, kami mau pamit pulang." Ilham ikut bicara. Wajah Sarah sudah memerah karena menahan tangis. Anak ini memang paling cengeng.
Hilda masih diam. Kami saling bertatapan satu sama lain. Ilham sudah memberi kode pulang. Dia langsung berdiri, bersiap untuk pamit.
"Kenapa... kenapa kalian baik padaku?" Lirih, Suara Hilda nyaris tidak terdengar. Kami kaget, setelah melihat Hilda menangis sesenggukan. Sarah ikutan menangis. Iiih, anak ini memang melankolis!. Aku dan Ilham bingung harus bicara apa, jadi kami diam dulu... dan mendengarkan apa yang mau diucapkan Hilda lagi.
"Selama ini, aku jahat sama Faza. Terus terang, aku sering jahat karena aku iri karena kamu cantik, pintar, disukai guru-guru dan punya teman yang kompak. Kalian berlima membuat nama harum sekolah.

Saat kalian menang lomba bikin film, aku marah besar. Kenapa kalian tidak mengajak aku?"
"Hilda... aku gak bermaksud buat kamu marah. Maafin aku," kataku pelan. "Yang punya ide awal untuk film itu Taufik. Dia ngajakin kita bertiga karena kami sama-sama aktif di DKM Mesjid sekolah. Jadi..." aku tidak melanjutkan omonganku, karena Hilda mengangkat wajahnya dan mulai bicara dengan nada makin tinggi.
"Karena aku tukang nyontek, pemalas, miskin, dan gak pernah sholat. Begitu maksudmu?" Hilda kembali berbicara dengan nada suara meninggi.
"Duuuh. Bukan  begitu.  Maksud  Faza,  kami bertiga tidak punya kapasitas ngajakin kamu, karena itu ide Taufik. Kita juga diajak Taufik. Kalau kamu masih marah, ya udah, kita pulang aja. Ayuk Faza, Sarah, kita pulang!. Susah punya temen yang pendendam. Kalau lama disini, kita bisa kebawa jadi pemarah!" kali ini Ilham bicara sambil berdiri, nada bicaranya sangat keras. Sarah dan aku langsung ikut berdiri dan keluar rumah. Kami tidak bisa pamit pada mamahnya Hilda, karena beliau ada di bagian dalam rumah. Hilda sendiri

sepertinya langsung berlari masuk kamar dan membanting pintu.
"Tuuuh, apa yang ku bilang benar, kan?" Ilham bersungut-sungut marah.
"Maafin aku, ya. Tadinya niatku baik. Aku gak nyangka kalau seperti ini jadinya." Kataku sedih.
"Kita sudah berusaha. Hilda sekarang tahu, kalau kita teman yang peduli padanya. Kita doakan, semoga Allah segera  beri  kemudahan  bagi  dia  menerima takdirNya. Kebayang sih, betapa malunya dia. Tiap tahun juara kelas, tapi mendapat NEM yang kurang memuaskan. Wajar kalau sekarang ini dia marah." Sarah menjawab perkataanku.
Kali ini, Ilham yang kelihatan bingung mendengar kalimat panjang keluar dari bibir mungil Sarah. Mulut usilnya kambuh, lalu berkata; "Za, tumben dia ngomong bener. Tadi, yang nangis di rumah Hilda, siapa ya?".
"Yey... Ilham nyebelin!" Sarah nonjok Ilham. Dia berusaha menghindar sambil tertawa ngakak. Kami bertiga kembali ke sekolah. Ada janji untuk ikut kajian al Quran di masjid.
*****

Siang ini kami berlima berkumpul di masjid sekolah. Semua terdiam, masih larut dengan suasana haru. Ini hari terahir kita bisa berkumpul bareng dengan formasi lengkap.
"Gak terasa, tiga tahun kita ngumpul. Sekarang saatnya memilih sekolah yang sesuai dengan harapannya. Taufik dan Faza enak, gak perlu takut memilih sekolah  mana.  NEM mereka begitu  sakti. Kemanapun, pasti diterima," Nadya membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah. Aku senang bersahabat dengan kalian semua. Walaupun aku anak paling bodoh disini, tapi persahabatan kita membuat otakku sedikit berisi. Kalian sudah sabar ngajari aku banyak hal. Makasih ya." Sarah  berkata  seperti  itu  sambil  memegang tanganku dengan erat.
"Masing-masing punya keistimewaan dalam dirinya. Kamu gak bodoh, Sarah. Aku belajar banyak hal dari kamu. Diantara kita semua, kamu yang paling tenang dan sabar menghadapi kejahilan Ilham. Makasih, sudah mau jadi teman sebangku selama tiga tahun." Aku menjawab.

"Bener, walaupun kita akan berpisah, In Syaa Allah kita akan tetap jadi saudara yang akan saling bantu." Taufik kali ini ikut bicara.
"Pik, sampai sekarang aku masih penasaran. Boleh tanya sesuatu? Mumpung kita masih bisa leluasa ngomong." Ilham angkat bicara.
""Apa?" Taufik menjawab dengan nada heran. "Apa rahasia otak encermu?"
Kita semua tertawa mendengar pertanyaan Ilham.
Taufik lalu menjawab,
"Kamu juga pinter. Otakmu encer menghafal tanggal,tahun, nama tempat dan semua yang berbau IPS dengan cepat. Aku hanya bisa Fisika. Pelajaran yang lainnya tidak. Menurutku, semua orang punya bakatnya masing-masing. Kalau kita bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sepertinya semua orang bisa jadi hebat. Di sekolah ini, aku bahagia karena punya sahabat yang baik. Kalian banyak membantu aku buat mempelajari hal lain diluar Fisika."
"Yup. Aku setuju. Sekarang, aku mau tanya satu- satu... apa cita-cita kalian? Dari tadi pembahasannya

melankolis, capek  ah."  Nadya  mengalihkan  topic  pembicaraan.
"Aku mau jadi ahli fisika nuklir!" jawab Taufik mantap.
"Aku mau jadi ahli sejarah!" Ilham menjawab penuh keyakinan.
"Aku mau kuliah ke ITB. Tapi gak tau jurusan apa. Mahasiswa ITB itu selalu terlihat keren dimataku," kataku jujur sambil nyengir.
"Cita-citanya?" tanya Nadya.
"Belum kepikiran. Nanti cita-citanya nyusul" jawabku.
"Aku sama seperti Faza," kata Sarah cepat. "Yey...meng copy jawaban. Gak boleh!" Ilham
menggoda Sarah.
"Biarin, yey!" Sarah menjawab sambil tertawa. "Kamu sendiri mau jadi apa?" Sarah bertanya
pada Nadya.
"Aku mau ke Jepang. Jadi mungkin kuliah ke sastra Jepang UNPAD."
"Ngapain ke Jepang?" Ilham bertanya penasaran.

"Enggak tau, suka aja." Jawabnya asal. Sarah tertawa menggoda Ilham.
"Pik, tinggal kamu yang belum menyebutkan cita- cita," kata Nadya sambil melirik Taufik yang duduk disampingnya.
"Aku ingin jadi ahli fisika nuklir. Diluar sana, banyak orang yang berusaha mempelajari fisika nuklir dengan tujuan menguasai dunia. Kalau orang Islam bodoh, maka celakalah umat. Jadi, aku merasa wajib menguasai fisika."
"AJIIP, SETUJU BANGET!" Ilham langsung mengangkat dua jempolnya.
"Oke, cita-cita sudah pada jelas nih. Nah... untuk melanjutkan sekolah, bagaimana nih? Hanya Taufik yang sudah jelas. Faza jadi ke SMA 3?" tanya Nadya. Aku mengangguk, sambil menjawab "In Syaa Allah."
"Oke, Ilham dan aku ke SMA 8. Tinggal Sarah nih.
Gimana?" Nadya kembali angkat bicara.
"Aku maunya sekolah bareng Faza terus. Tapi, Umi dan Abi gak kasih ijin. Jadi, aku memilih SMA 24."
"Berarti... hanya aku dan ilham yang masih satu sekolah. Sisanya menyebar," kata Nadya.

Alhamdulillah, aku sangat bahagia. Allah berikan teman-teman yang terus menguatkanku untuk  terus berjuang, meraih mimpi.

LANGKAH INI SEMAKIN MENANJAK

Gedung tua bercat putih nan megah ini menjadi saksi, bagaimana perjuangku selama tiga tahun. Sekolah ini terkenal sebagai gudangnya anak-anak pintar. Disini, jangan harap bisa melihat karakter anak pemalas. Bagi kami, waktu sekecil apapun digunakan untuk belajar, belajar dan terus belajar.
Katanya, masa SMA, masa yang paling indah dalam siklus hidup seseorang. Betulkah itu?. Hmmm... bisa jadi. Jika deskripsi bahagia itu seperti menikmati rutinitas hidup yang harus dimulai pukul 04.00, dan sudah berada di bis kota pukul 04.50. Lewat sedikit saja, aku bisa terlambat masuk sekolah. Setiap pergi sekolah, aku harus berjuang melawan kantuk agar bisa selalu datang ke sekolah sebelum pukul 06.30. deskripsi bahagia yang aneh? Entahlah.
Ada banyak kenangan indah. Disini, aku berjuang bareng teman-teman yang punya pola dan ritme belajar yang sama. Jika waktu SMP aku bertemu dengan banyak  teman   yang   mencontek,   maka   disini  kata
mencontek    menjadi    sangat    asing.    Motto    sekolah

terpampang dalam pigura panjang, menempel ditembok yang berada tepat  di pintu  masuk  utama gedung sekolah; KNOWLEDGE IS POWER, BUT CHARACTER
IS MORE. Motto ini sepertinya menjadi ruh bagi setiap orang yang berada disekolahku. Deretan piala-piala berbagai ukuran, vandel, piagam dan atribut penghargaan lainnya tertata rapi dalam lemari kaca yang besar. Ini wujud pengakuan atas karya terbaik warga sekolah.
Tahun pertama di SMA, merupakan tahun penuh kejutan. Jika di SMP aku bisa bangga dengan peringkat pertama di kelas, maka disini aku cukup puas dengan rata-rata nilai yang berada di kelompok atas saja. Anak- anak yang berotak brilian seperti kawanku saat SMP, Taufik yang jago fisika atau Ilham yang jago IPS, jumlahnya sangat banyak dan tersebar di semua kelas. Kami sama-sama memiliki kemampuan yang tinggi, maka yang membedakannya kemudian factor ketelitian, konsisten, ulet dan sabar.
Pernah satu kali, usai ulangan harian pelajaran Matematika... aku hampir jatuh terduduk karena kaget. Nilai matematika ku hanya 45!. Aku yang selama ini

jago matematika, tentu saja syok menerima nilai sangat kurang.
Saat pulang ke rumah, aku langsung menangis dan tidak mau makan. Ibu sampai membujukku sangat lama agar aku bicara, karena awalnya aku tidak mau membahas masalah ini pada ibu. Aku takut ibu marah.
"Ada apa, Teh?" tanya ibu lembut.
"Maafkan aku,  bu. Aku mengecwakan  ibu..." jawabku pelan.
"Memangnya kenapa?" kembali ibu bertanya. "Hari ini hasil ulangan matematika dibagikan.
Dan aku... hanya dapat nilai 45. Aku bodoh ibu... soal- soal ulangan itu sangat sulit." Kataku dengan suara parau. Tenggorokan seperti tercekat saat menyebutkan angka 45.
"Ibu tanya,  bagaimana  dengan  nilai  teman- temanmu yang lainnya?" kembali ibu bicara. Suaranya tampak tenang." Aneh, ibu tidak marah dengan nilai buruk ini?" tanyaku dalam hati.
"Nilai tertinggi 50, itupun hanya seorang. Nilai terkecil diperoleh tiga anak, hanya 15 dari skala nilai 100".

"Subhanalaah... berarti anak ibu masih jagoan dong!" kata  ibu  sambil  menyalamiku.  Senyumnya terkembang.
"Buat apa peringkat kedua, tapi mendapat nilai buruk?" jawabku ketus.
"Sayang... cobalah kau lihat kualitas soal-soalnya. Kalau ibu perhatikan, ini bukan soal aljabar biasa. Coba bandingkan buku matematika milikmu dengan buku punya Kaka Rhesa, saudara sepupumu yang bersekolah di SMA lain. Pasti berbeda."
Kata-kata ibu terahir ini membuat hatiku sedikit tenang. Ya, betul juga. Kualitas soal kami memang menyamai soal-soal dari luar negri sono. Biasanya guruku bilang, sudah gak level jika kalian hanya menguasai kurikulum nasional. Otak kalian yang encer harus diberi asupan kurikulum dari Stanford, atau minimal Cambridge.
"Kenapa diem?" ibu membuyarkan lamunanku. "Enggak..."jawabku sambil tersenyum.
"Ibu percaya,  teteh  bisa  menghadapi  setiap kesulitan dengan sabar. Teruslah berjuang, karena sekolah ini pilihanmu sendiri. Mau ibu kasih resep hebat

supaya berhasil masuk ITB dengan mudah?" tanya ibu. Aku mengangguk dengan cepat.
"Mulai sekarang, teteh harus mau belajar lebih keras dari teman-temanmu yang lain, Kuncinya ; Mencuri start. Jika orang biasanya belajar mendekati waktu ujian nasional, maka teteh dari sekarang belajar terus menerus dan mengupayakan supaya grafik nilaimu terus menanjak. Bisa?" tanya ibu sambil tersenyum. Aku mengangguk.
"Apa keuntungan mencuri start?" tanyaku pada
Ibu.
"Ketikateman-temanmuberjuang
memperebutkan kursi universitas, kau sudah duduk nyaman    menikmati    tiket    kursi    universitas    yang diberikan pemerintah untukmu. Ada banyak keuntungan. Pertama, kau tidak harus mengalami panik karena tidak  mendapat  jatah  jalur  undangan  ke universitas. Kedua, biaya yang dikeluarkan ibu lebih tepat guna. Jadi,  kita bisa menghemat pengeluaran biaya pendidikan. Ketiga, kau akan dengan bangga tersenyum karena impianmu terwujud."

Kata-kata ibu begitu menggiurkan. Andai aku bisa konsisten menjaga semangat belajar, tentu semua ini menjadi lebih mudah.
"Ibu, bantulah aku agar tetap bersemangat," kataku sungguh-sungguh.
"In Syaa Allah... " jawab Ibu, sambil mencium keningku. Ada perasaan hangat mengalir dihatiku.
*****
Hari ini ada tugas praktikum biologi. Aku lupa, tidak membawa jas labolatorium. Waaah gawat. Aturan sekolah ini sangat ketat.  Jangan  coba-coba masuk laboratorium tanpa berbaju kebesaran, kecuali kau siap mendapat nilai minus tiga dari bu guru.
"Kenapa seperti orang kebingungan, Za?" tanya Dinda, teman sebangkuku.
"Iya ... aku lupa bawa jas lab. Gimana nih. Bisa celaka aku," kataku mengadu.
"Coba kita lihat di jadwal besar, selain kelas kita, kelas mana lagi yang hari ini pake laboratorium?" tanya Dinda.
"Apa hubungannya antara jas lab dengan jadwal penggunaan laboratorium?" tanyaku aneh.

"Faza, otakmu hanya berisi angka-angka matematika mulu sih. Cobalah berfikir strategis. Kita menggunakan laboratorium pada jam ke lima, artinya setelah waktu istirahat. Nah, gara-gara kamu pelupa, maka jatah waktu istirahatmu yang berharga itu harus kau korbankan untuk mencari pinjaman jas lab ke kelas lain. Faham maksudku?" Dinda menjawab panjang lebar. Aiiih, kawanku ini memang ahli strategi. Dua jempol langsung terangkat untuk ide cemerlang yang diberikannya.
"Oooke... ngerti. Makasih buat  ide  kerennya. Sekarang, aku tinggal searching jadwal pengguna laboratorium biologi!" kataku girang. Beberapa menit kemudian, tanganku lincah memainkan layar Handphone. Yup, kelas X IPA 3!.
"Dinda... punya teman di X IPA 3?" tanyaku penuh harap.
"Olala... Faza, kamu ingat Dian? Itu lho, anak perempuan imut yang gak berjilbab, yang rajin ikut sholat dan suka barengan ikut kajian quran sama kita?" aku berfikir sebentar. Dinda diam menatapku.

"Oh, iya... aku ingat, dia yang ngajakin aku ikut LSS ya?"
"LSS? Apaan tuh?" Dinda balik bertanya.
"Lingkung Seni Sunda. Eksul nya anak-anak kemayu itu lho. mereka yang pinter mainin gamelan sunda," kataku menjelaskan.
"Ya, mungkin itu. Udah... cepet cari nomoh HP nya di grup!"  kemba;I  Dinda  memberi  intruksi.  Aku tersenyum, menjawil pipinya yang putih.
"Keren kamu. Thanks ya."
Dinda mengangguk. Aku buru-buru searching no HP Dian di grup kelas X IPA 3. Tidak ada nama Dian dalam grup itu. Apa Dian bukan di kelas itu ya? Masa sih, ada anak SMA yang gak punya HP ?.
"Din... kenapa gak ada nomor HP nya ya?"
"Gak tau... emangnya aku mesin pencari informasi!" kata Dinda  sambil  menjulurkan  lidahnya.  Duuuh, gimana nih. Sebentar lagi pelajaran Fisika lagi... agh.
"Pak Pras sepertinya datang telat. Rezeki tuh. Cepet samperin Dian. Tuh, dia barusan lewat kelas kita!". Kata Dinda yang duduk menghadap pintu. Tanpa harus

disuruh kedua kalinya, aku langsung berlari keluar kelas.
"Dian!" panggilku sedikit menaikkan volume suara. Dia menoleh kearahku, lalu tersenyum tipis. Alhamdulillah, dia mengingatku rupanya.
"Ya, ada apa?" tanyanya ramah.
"Aku lupa bawa jas lab. Boleh pinjam punyamu?" tanyaku, sambil melihat jas lab yang ada di tangannya.
"Oh ya, tentu saja boleh."
"Alhamdulillah... sambil shalat ashar, kita ketemu ya. Aku mau ngembaliin jas lab dalam kondisi aman ko. Yakin!" kataku sungguh-sungguh.
Dian tertawa renyah, lalu mengangguk.
Dari jauh, aku melihat Pak Pras berjalan menuju kelas dengan terburu-buru. Aku langsung lari menuju kelas. Waaah, telat dikit, bisa-bisa tidak bisa mendengar ceramah beliau deh. Hmp... tepat waktu!. Aku langsung duduk manis disamping Dinda. Syukurlah....
*****
Semester pertama  di  SMA,  menjadi  waktu adaptasi tersulit bagiku untuk bisa datang ke sekolah tepat waktu. Pernah sekali, aku ketiduran di bis kota

hingga alun-alun kota. Waaah panik banget. Untungnya, sopir bis baik. Dia bilang; "Tenang neng, baru jam 5.50. bapak gak ngetem. Bentar lagi kita berangkat dan Neng gak akan  telat  masuk  sekolah,"  katanya  sambil  tersenyum.
"Terima kasih, Pak," jawabku sopan.
"Capek ya? Atau kurang tidur?" tanya ibu-ibu yang duduk disampingku.
"Semalam baru bisa tidur jam satu pagi, bu. Ada tugas," jawabku seadanya.
"Waduh... hampir tiap hari seperti ini?" tanya ibu itu. Sepertinya dia kaget mendengar jawabanku.
"Gak tiap hari, Bu. Tapi sering..." aku tersenyum lagi kepadanya. Aaah... ngantuk  itu  alami,  karena kurang tidur. Tapi aku bahagia, karena tugas-tugas sekolah selalu dapat kuselesaikan tepat waktu.
"Neng, sudah sampe plasa nih. Siap-siap turun!" Kondektur mengingatkanku. Aku bergegas menyerahkan ongkos.
"Eeeh, gak usah. Biar ibu yang bayar. Hati-hati, Neng! Terus semangat ya!" Duuuh... malu, sekaligus senang. Uang jajanku gak jadi berkurang nih.

Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu turun. Syukurlah, angkot segera datang, jadi aku bisa nyape sekolah 06.18.
Dalam semester ini, aku sudah telat dua kali. Itu artinya, jatah telatku tinggal sekali lagi. Kalau itu terjadi, maka orangtua harus datang ke sekolah dan membuat perjanjian untuk memastikan kehadiran siswa tepat waktu. Sekolah kami memang sangat disiplin dan konsekwen menegakkan aturan. Jangan harap bisa berleha-leha, semua dikerjakan dengan cepat.
*****
Pagi ini, hasil ulangan Biologi dibagikan. Alhamdulillah, nilaiku  89.  Dinda  menunduk  lesu, menatap kertas ulangannya.
"Kenapa, Din?" tanyaku heran. Nilai dia 80, rasanya nilai itu gak terlalu jelek deh pikirku.
"Bagaimana aku bisa dapat jalur undangan kedokteran UNPAD, kalau nilai Biologi yang kuandalkan hanya seperti ini?" keluhnya sebal.
"Kamu sudah belajar serius?" tanyaku.
"Sudahlah! Mami bahkan meluangkan waktunya untuk mengajariku."

"Ya sudah, terima aja. Besok, belajar lebih bagus lagi. In Syaa Allah bisa dapat nilai sempurna," kataku  menghiburnya.
"Aku iri sama kamu, Za. Sepertinya kamu santai banget. Gak ngejar nilai-nilai sempurna. Ibu kamu gak ngasih target nilai, ya?" tanya Dinda. Wajahnya terlihat sangat serius. Aku tertawa dibuatnya.
"Ibuku seorag guru. Dia tau kalau aku sudah belajar maksimal. Ibu selalu menekankan untuk menyempurnakan usaha dan menerima hasil apapun, legowo. Namanya iklas!"
"Mami bilang, aku harus dapat nilai sempurna terus lho." Dinda sepertinya masih tidak menerima konsep iklas menerima hasil.
"Kalau aku punya fikiran seperti itu, aku bisa capek sendiri, stress. Nah... jangankan nilai sempurna, yang datang malah penyakit jantungku kumat. Iiih gak banget deh!"
"Ooh... aku ngerti sekarang. Mungkin ini yang bikin kamu terlihat tenang dan selalu bahagia menerima nilai- nilaimu walaupun jelek. Oke, aku mau ikutan juga ah!".

"Hei, masa SMA itu harus bahagia. Kalau gak  bahagia, rugi. Ya udah, nikmati aja proses belajar yang berat ini sambil tersenyum cerah."
"Oooke mbak faza... siyap, Thanks for your advice! Nanti sore, aku bicarakan hal ini sama mamih. Aku mau belajar dengan gayaku, bukan gaya mamih. Yang penting, aku berusaha maksimal. Kalau rezeki, Kedokteran UNPAD mengundang seorang Dinda Kania Dewi menjadi mahasiswinya. Kalau ndak, aku tinggal terbang ke Singapura nyusul mbak Diyah. Kuliah bareng dia deh." Katanya santai. Mendung tentang nilai yang tak sempurna itu tersapu sudah, menguap ditelan wajah sumringah.
Setelah obrolan singkat itu, Dinda bisa tersenyum cerah. Tidak berapa lama, Bu Kintan sudah beraksi di depan kelas. Beliau menjelaskan tentang mitokondria yang sampel sel nya kami pelajari di laboratorium beberapa hari lalu.
*****
Hari ini pelajaran olahraga. Aturan di sekolahku, siswa putra dan putri belajar di tempat terpisah. Siswi biasanya belajar  di  lapang  Bali,  samping sekolah

sementara putra di lapangan Kologdam yang jaraknya sekitar 500 meter dari sekolah.
Ibu Rita, guru olah raga kami begitu tegas dan disiplin. Bagi beliau, otak cerdas kami membutuhan tubuh yang kuat. Itulah sebabnya, setiap pelajaran olahraga, tidak ada yang main-main apalagi  berani malas-malasan.
Pagi ini kami belajar atletik. Untuk pemanasan, kami harus berlari mengitari lapangan golf mini di seberang lapangan Bali. Olalaaa... lumayan tuh. Konvoi pelari amatir kemudian bergerak mengelilingi bagian luar dari lapangan golf mini. Waktu yang diperlukan sekitar 30 menit. Entah apa yang terjadi, saat pemanasan itu, tiba- tiba nafasku sesak, kepala terasa pusing dan badan lemas. Aku tidak bisa berlari dan jatuh tersungkur.
"Za... sudah merasa baikan?" tanya Dinda yang berdiri disampingku. Mataku menyapu ruangan bersih yang kami tempati. Ada tiga tempat tidur besi bercat putih, tabung oksigen besar, rak-rak berisi obat dan alat- alat P3K lainnya tersusun rapi di sudut ruangan.
"Kita dimana, Dinda?" tanyaku lemah.

"Di ruang UKS. Sudah, jangan bergerak dulu. Istirahatlah!" kata Dinda sambil mengusap keringat di keningku. Tangannya dengan sigap memperbaiki letak selang oksigen yang menempel dihidungku.
"Maafin aku, ya. Gara-gara aku, kamu jadi gak ikut pelajaran olahraga."
"Hei, jangan ngomong begitu ah. Aku malah seneng, gak harus ikut olahraga. Sekarang ini teman-teman belajar lempar cakram. Sakit lho tangan kita keputer- puter. Aku malah menikmati duduk santai, nemani kamu." Dinda menjawab santai. Anak ini, selalu saja menikmati setiap moment tanpa beban.
Tidak berapa lama, Dokter sekolah sudah berdiri disampingku. Dia memasang alat tensi, thermometer badan dan memeriksa detak jantung, juga pernafasanku dengan teliti. Dinda, dengan antusias memperhatikan pemeriksaan itu.
"Dok, Faza kenapa nih?" tanyanya sopan.
"Hmmm... namamu Faza?" dokter mengabaikan  pertanyaan Dinda. Dia masih fokus memeriksa mataku.
"Iya dok," jawabku lemah.

"Kamu punya penyakit jantung bawaan, ya? Gurumu tau?" dokter itu  bertanya sambil  tersenyum.  Aku mengangguk, tapi kemudian menggeleng.
"Maksudnya apa nih?" dokter tersenyum. Gerakan tubuhku memang  membingungkan,  karena  artinya sangat berlawanan.
"Saya memang PJB, dok. Bu guru tidak tau penyakitku ini," kataku menjelaskan.
"Naaah... ini berbahaya. Kejujuran itu penting, Mbak. Guru bisa dipersalahkan jika kamu tiba-tiba pingsan seperti tadi. Bagi orang lain, pemanasan seperti berlari sejauh 2 kilometer itu gak masalah. Tapi, bagi kamu itu, hal sekecil apapun bisa menjadi masalah besar dan mengancam keselamatanmu sendiri." Pak dokter menjelaskan dengan lembut.
"Saran saya, dua jam kedepan kau istirahat disini. Alhamdulillah, kondisimu  tidak  parah.  Saya  kasih vitamin ya dan infus supaya lemasmu lekas kabur. Bukankah kamu mau belajar lagi?"
"Ya, dok. Makasih."

"Pulang sekolah, saya sarankan agar segera periksa ke dokter keluargamu. Mereka pasti lebih faham obat apa yang biasa digunakan. Oke!"
"Iya, dok." Lagi-lagi aku tersenyum dan mengangguk hormat. Dari kursi, mata Dinda melotot, sepertinya dia tidak percaya dengan pembicaraan kami.
Selesai memeriksa keadaanku, dokter itu pamit dan kembali ke tempat tugasnya di gedung seberang sekolah. Sekolahku memang berada di dekat gedung perkantoran militer, sehingga punya fasilitas lengkap. Dokter yang tadi datang merupakan bagian dari kerjasama sekolah dengan mereka.
"Za... serius deh. Kamu mengidap PJB?" tanya Dinda penasaran. Aku mengangguk.
"Selama ini, aku gak nyangka. Kadang sih, aku lihat bibir merahmu kadang berubah warna jadi membiru. Kukira karena kedinginan atau capek."
"Aaah... gak harus di dramatisir deh. Enam belas tahun penyakit ini bersahabat dengan tubuhku, dan selama ini aku baik-baik saja. Tadi itu, mungkin karena aku kecapean. Tiga hari ini aku tidur larut malam terus. Peer kita kan banyak."

"Memangnya, kamu tidur jam berapa?"
"Jam Sembilan.  Aku  tiap  hari  pulang magrib.
Rumahku jauh. Wajar jika sekarang aku kecapean"
"Idiiih. Pantesan. Rumahnya pindah aja. Ke rumahku yuk. Dari sekolah Cuma setengah jam. Ada sopir yang siap antar jemput pula," Dinda  berkata sungguh- sungguh.
"Aku yakin, mamih senang anaknya nambah. Rumah sepi, Za. Kami hanya bertiga. Eh berlima deng, dengan sopir dan asisten rumah tangga."
"Terima kasih untuk ajakanmu, Din. Tapi aku gak bisa jauh dari ibu." Tolakku halus.
"Anak mamih  juga  rupanya,"  godanya  sambil mencubit hidung pesekku.
"Eh, hati-hati. Ntar makin pesek nih!" candaku. "Biarin, tetap cantik kooo!"
Kami tertawa bareng. Aaah. Senangnya punya teman sebangku yang baik. Andai Dinda membiarkan aku sendiri disini, iiih... serem. Ruangan ini kan jarang ditempati. Ada jendela besar di sisi kiri. Dari jendela itu, kami bisa melihat pohon beringin tua di seberang jalan.

Tidak terasa, hampir satu jam berlalu. Aku sempat tertidur beberapa lama. Dinda yang menemaniku duduk manis di sofa empuk yang letaknya dekat dengan tempat tidur yang kutempati ini.
"Dinda, bagaimana kondisi Faza?. Dokter sudah datang memeriksa ya?" sayup, kudengar suara bu guru. Pelan, kubuka mataku yang masih mengantuk. Infus dan selang oksigen membuat kantukku makin menjadi.
"Maafkan saya, bu guru..." kataku lirih.
"Eeeh. Jangan dipaksakan bangun. Merem saja." Perintah Bu Rita.
"Seharusnya, kamu bilang ke Ibu kalau kamu ada riwayat PJB. Mulai sekarang, setiap pelajaran olahraga, kau harus memakai pin merah ini di bajumu.  Ingat  itu, ya. Dinda, kamu boleh masuk kelas lagi. Biarkan Faza istirahat saja disini. Nanti, ada petugas piket yang  sesekali datang memeriksa keadaannya." Bu Rita  memberi instruksi  yang  tegas.  Kami  berdua mengangguk.
Dinda segera kembali ke kelas. Aku sendiri, langsung tertidur pulas.
"Mbak Faza, bangun. Makan siang dulu, ya"

Suara yang tak asing ditelinga membangunkan tidurku. Alhamdulillah, sudah  jam 11.45.  ini  jam istirahat kedua. Mbak Isma, petugas kebersihan kantin membawakan semangkuk lontong sayur panas dan  segelas teh manis hangat. Dia  membantuku untuk duduk di kasur. Badanku sudah lebih segar, jadi aku bisa duduk tegak. Selang oksigen sudah kulepas, dan klep di tabungnya kumatikan.
Aku segera makan makanan yang disediakan Mbak Isma. Selang berapa lama, beberapa anak DKM Mesjid sekolah datang ke ruang UKS.
"Faza, gimana kabarnya sekarang?" tanya Rizal, teman sekelasku yang juga sama-sama aktif di rohis sekolah.
"Alhamdulillah. Sudah baikan." Jawabku pendek. "Duuh, malu nih pada nengok segala. Makasih ya." "Gak apa, kita semua datang untuk mendoakanmu.
Semoga lekas sembuh ya, Mbak Faza." Kali ini, Dinda menggodaku. Aku tertawa.
"Ruang UKS nyaman juga ya. Kalau aku capek dan malas belajar, bisa pura-pura sakit trus tiduran deh disini," kata Amira usil.

"Yey... aku sih gak mau kesini lagi. Cukup sekali saja merasakan nikmatnya tidur  siang,  diperiksa dokter militer, dan dikirimi makanan dari kantin. Dapat bonus pin merah pula nih!" kataku pada Amira.
"Waah ... keren tuh. Aku pernah lihat, ada kakak kelas yang pake pin seperti ini. Disaat teman-temannya kecapean berolahraga, dia hanya berolahraga ringan di dekat gurunya. Enak banget kan?" Kali ini, Syahdan yang berkomentar. Semua teman-teman yang mendengarkan jadi tertawa. Usai makan lontong kari, aku ikut teman-teman kembali ke kelas. Sebelumnya, aku lapor dulu pada petugas piket UKS.
*****
Hari ini ibu datang ke sekolah untuk mengambil hasil belajar selama semester pertama. Walaupun nilai harian kami bentuknya angka skala 10 sampai 100, pada raport, selain angka juga ada nilai berupa abjad dengan skala A hingga D.
Wali kelas membuka kegiatan pertemuan dengan memberikan sambutan dan apresiasi yang tulus, Karena menurut beliau, kami belajar dengan penuh antusias, kompak dan memiliki ikatan persaudaraan yang tulus.

Hal inilah yang membuat kami dapat melalui hari-hari panjang yang melelahkan dalam kondisi tetap ceria walau pulang pukul 16.00.
Bu guru mengumumkan peringkat lima besar dengan nilai rata-rata 92,50. Alhamdulillah, namaku ada di urutan ketiga. Mantap!. Sebenarnya, walaupun tidak masuk peringkat lima besar, nilai teman-teman tidaklah terlalu buruk. Selisih nilai kami hanya berkisar antara 0,5 sampai 0,05.
Rata-rata kelas 89,75. Dinda yang berada di urutan
12 mendapat nilai rata-rata 92.30. dengan bangga dia berkata, "Disini, aku peringkat ke 12 dari 38 siswa. Tapi kalau aku bersekolah di tempat kakakku dulu, dengan nilai rata-rata ini, aku bisa juara umum. jadi, aku masih bisa tersenyum bangga pada Abang."
Usai pembagian hasil raport, keesokan harinya kami semua mengikuti pesantren kilat di daerah Baabussalam, Dago. Hanya teman-teman yang tidak beragama Islam saja yang tidak mengikuti kegiatan ini.
Aku diantar ayah dengan motor ke pesantren. Jalanan menuju pesantren macet, penuh dengan mobil- mobil yang mengantar siswa. Aku sudah agak terlambat

saat datang, sehingga dengan terburu-buru langsung menuju ruang panitia untuk reservasi kamar.
"Siapa namamu?" tanya petugas pesantren. "Faza, pak." Jawabku singkat.
"Sebentar..." beliau memeriksa daftar nama dengan teliti. Namaku rupanya ada di nomor kamar 384.
"Kamu naik ke Lantai tiga, dari lift belok kiri. Kamarmu ada di ujung selasar sebelah kiri, menghadap ke selatan. Faham?" katanya memberi petunjuk. Aku mengangguk, cepat berjalan menuju lift. Duuh... penuh sekali antriannya. Aku melihat di sisi kiri ada tangga. Beberapa siswa sudah bergerak menuju tangga. Aku ikutan.
Benar, kamar nomor 384. Aku mengetuk pintu. "Masuk saja, pintunya tidak dikunci!" suara seorang lelaki. Aku kaget. Kamar nomor 384, itu yang dikatakan petugas reservasi. Nggak salah nih? Kataku dalam hati. Aku diam didepan pintu kamar, gak berani membukanya.
Tiba-tiba, pintu dibuka dari dalam. "Manja banget sih, musti pake acara minta dibukakan pintu segala!" seseorang berbicara dengan suara pelan, tapi jelas

terdengar ditelingaku. Itu suara anak laki-laki yang tadi bicara.
Ketika pintu terbuka, kami berdua sama-sama kaget. Eh, Ini kan Bambang, temanku di rohis. Oh No... ini pasti salah!.
"Eh, kamu ko kesini?" tanya Bambang, kikuk.
"Iya, petugas bilang, aku dapat kamar 384." Jawabku tak kalah sungkan.
"Kamu salah kamar. Penghuni kamar ini sudah tiga orang, semua lelaki. Ayo, aku antar kau ke petugas reservasi lagi!" katanya  menawarkan diri  untuk membantu.
" Gak usah, aku bisa sendiri. Terimakasih untuk kebaikanmu." Kataku, lalu buru-buru berjalan kembali menuju pintu lift. Untunglah, lift ini sudah kosing dan siap turun.
Di pintu keluar lift, aku bertemu Faza Aditia Gumay, kawanku di Rohis. Dia tertawa dan berkata; "kamu nyasar kamar juga ya? Hahaha... senasib. Kamarmu di
267. Tadi aku kesitu. Kebetulan nama depan kita sama." Aku mengangguk, bergegas pergi menuju kamar yang disebutkannya. Aaah namaku terlalu maskulin rupanya.

Sehingga bisa tertukar dengan anak laki-laki. Memalukan saja.
Kamarku rupanya sudah diisi oleh tiga orang teman lainnya, yang ternyata berbeda kelas. Aku satu tempat tidur dengan Tria, anak X IPA 7. Tria orangnya cerewet. Apapun akan mendapat komentari darinya.
"Ooh ini toh Faza yang nyasar itu. Is is iiiis, bagaimana bisa kau nyasar disarang cowok? Tak pantas itu Mbak," itulah komentar  pertama yang menyambutku. Aku hanya tertawa malu.
"Nyasar sendiri sih boleh, tapi gak kasih pengganti cowok buat kita juga kaleee" timpal yang lainnya. Duuuh, aku makin malu.
"Eeeh, iya maaf teman-teman. Semua ini bukan salah kami berdua. Petugas didepan yang salah mengidentifikasi nama kami. Padahal, disamping nama itu ada petunjuk jenis kelamin. Mungkin dia mengabaikan data itu," kataku berargumentasi. Mereka mengangguk-angguk sambil tersenyum, kompak.
"Kalm, Za... dengan kejadian ini, aku tak akan lupa namamu. Hai, aku Zahra. Kelas X IPA 5. Dan ini teman

sekelasku, Aisyah." Zahra mengulurkan tanggannya ramah, mengajak bersalaman.
"Aku Satria Kinasih, biasa dipanggil Tria. Nama kita sama maskulin ya. Tenang, aku cewek tulen ko." Tria tersenyum manis.
"Ya, salam kenal. Aku Faza, dari kelas X IPA 3, senang berkenalan dengan kalian. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik selama seminggu kedepan."
"Aamiiin. Oke, waktu berkenalannya sudah selesai. sekarang, kita harus merapikan barang-barang terus segera berkumpul di masjid. Ada kegiatan pembukaan sanlat. Pak Encang sudah siap dengan Kyai. Ayo berangkat!" Aisyah bersuara. Ajakannya ini langsung disambut kami semua dengan sigap.
Kami bergegas berjalan menuju masjid yang berada di lantai satu, dekat gerbang pintu masuk utama. Disana, semua anak sudah berkumpul dan duduk dengan tertib. Anak laki-laki ditempatkan di lantai satu, sementara anak perempuan di lantai dua.
Pembukaan berjalan khidmat. Pak Encang, kepala sekolah kami menyerahkan secara simbolis perwakilan siswa untuk dididik sebagai santri kepada Kyai, yang

disambut dengan hangat oleh Kyai. Selesai serah terima, Kyai kemudian menyampaikan kuliah umum. inti kuliah yang disampaikannya tentang kecintaan pada ilmu dan kewajiban semua orang berakal untuk mempelajari ilmu-ilmu Allah.
Dua jam kami mendengarkan kuliah umum dari kyai sepuh. Berikutnya, ada seorang panitia yang menjelaskan rundown kegiatan sanlat. Waaah, padat sekali kegiatannya. Kami harus bangun pukul 02.00 dan baru bisa tidur pukul 21.00. Targetnya, selesai pesantren kami harus bisa membaca al quran dengan tartil, dan menghafal juz 30. Jika berhasil, ada hadiah yang disediakan kyai untuk kami. Hmmm, menarik nih.  Semoga saja, saat di test nanti aku masih hafal surat- surat pendek yang ada dalam juz 30.
Hari-hari berjalan lambat. Aku bersemangat kembali menambah hafalanku.  Alhamdulillah,  setelah  serangkaian test, aku berada di kelompok paling atas. Kelompokku ini memiliki kemampuan hafalan yang melebihi ketentuan panitia. Jadi, kami akan mendapat tugas tambahan khusus dan mendapat pelajaran yang terpisah dari teman-teman lainnya. Tria, kebalikan dari

aku.  Dia  belum  lancar  membaca  al  quran,  jadi  target utama dia bukan hafalan juz 30, tetapi mampu membaca al  quran  dengan  tartil.  Tria  mendapat  kelas  tersendiri sehingga belajarnya lebih intensif. Kondisi yang berbeda jauh ini menjadi guyonan teman sekamar.
"Allah maha adil ya. Kita satu kamar dengan anak- anak ajaib. Tria level paling bawah dan Faza di level langit," Kata Zahra menggoda Tria.
"Tenang, aku satu tempat tidur sama anak langitan. Artinya, dengan mudah ilmu dia ku serap. Ya kan, Za?" Tria menjawab dengan percaya diri. Aku tertawa dan mengangguk.
"Terang aja dia pasti mau bantu, soalnya pasti takut di kasih jurus karate kamu, sih!" kali ini Aisyah menimpali. Tria cemberut, merasa tersudut oleh dua orang teman. Aku baru tau, mereka bertiga ternyata teman satu SMP, makanya sudah sangat kompak.
"Kalm Tria,  pokoknya  aku  akan  bantu  sebisa mungkin. Kamu pulang dengan semangat baru, siap menjadi muslimah yang baik." Kataku mendukungnya. Tria tersenyum cerah, merasa mendapat  dukungan kawan baru.

Tujuh hari berikutnya, kami lewati dengan penuh sukacita. Lelah yang mendera di saat melaksanakan serangkaian kegiatan yang padat, tidak jadi halangan bagi kami untuk terus bersemangat mempelajari al quran,  shalat  berjamaah  lima  waktu,  belajar  aqidah, ahlak dan sirah nabawiah menjadi santapan utama yang kami geluti selama tujuh hari. Ada saja kejahilan teman- teman pada saat melihat teman yang tertidur disaat belajar. Semua jadi obat kantuk kami.
Pada acara penutupan, namaku disebut sebagai  peserta terbaik untuk kelompok putri. Aku mendapat hadiah  berupa  buku-buku,  kitab  dan  al  quran.  Saat namaku dipanggil panitia, Tria heboh bertepuk tangan. Untunglah, Sarah dan Aisyah segera menarik tangannya. "Ini bukan bioskop, Tria! Tenanglah." Kata Zahra sambil menarik tangan Tria. Dia nyengir dan tertunduk malu.
*****
Semester dua  sudah  dimulai.  Aku  sudah  bisa beradaptasi dengan baik dan belajar lebih bersemangat. Ada perubahan tugas mengajar guru matematika. Aku harus beradaptasi dengan beliau. Gaya mengajarnya

sangat berbeda. Suaranya pelan, kadang saat beliau menjelaskan, anteng sendiri dengan papan tulis. Kami tentu saja menjadi bingung. Belajar sendiri menjadi solusi. Beberapa anak yang berduit, memilih mencari guru privat sementara sementara bagi aku, harus puas latihan soal mandiri atau belajar mandiri dari modul- modul yang kucari di Mr Goegle.
Hari ini, kami melakukan kegiatan ulangan matematika yang pertama pada semester kedua ini, jadi kami semua sibuk menyiapkan diri. Ketika Bapak Faisal datang, suasana langsung tampak tegang.
"Setiap anak saya beri soal yang berbeda. Perhatikan kode soal yang saya tulis di sudut kanan atas. Waktu yang diberikan seratus menit," katanya sambil membagikan soal secara berkeliling.
"Bagi anak yang sudah mendapat soal, dipersilahkan untuk mulai mengerjakan."
Tanpa menunggu perintah yang kedua, aku langsung mengerjakan soal. Kernyitku terangkat, bingung harus bagaimana mengerjakannya. Kulirik Dinda, lebih parah. Wajahnya seperti mau menangis. Tanpa bicara, kutepuk tangannya perlahan. Soal itu kukerjakan sebisanya.

Ternyata, improvisasi belajar lewat tutorial pada Mbah Goegle lumayan membantu. Aku mengerjakan soal  sebisanya saja. Waktu yang diberikan ahirnya habis juga. Dengan berat hati, semua anak menyerahkan lembar jawabannya masing-masing.
Entah angin apa yang membawa pak guru untuk langsung memeriksa jawaban kami semua. Suasana semakin tegang. Sambil menunduk, Dinda menangis.
Pak Faisal berdiri di depan kelas. Matanya menyapu semua siswa di kelas ini. "Bapak sangat kecewa. Dari 38 siswa, hanya seorang yang mendapat nilai mendekati KKM, yaitu Faza, dengan nilai 72. Nilai rata-rata kelas ini 31. Dengan sangat terpaksa, ulangan saya batalkan. Silahkan pelajari secara mandiri. Minggu depan, kita bertemu lagi untuk ulangan."
Setelah Pak Faisal menyimpan kertas yang sudah dikoreksinya diatas meja guru, beliau segera meninggalkan ruang kelas. Helmi, ketua kelas membagikan hasil ulangan. Kami terdiam. Tidak ada sedikitpun coretan  pada kertas ulangan  ini, semua bersih. Hanya  angka  dengan  tinta  merah  yang menunjukkan jika kertas ini sudah diperiksa.
*****

Seminggu ini, kami sekelas fokus mempelajari bahan ulangan harian pelajaran matematika. Kami  terus berdiskusi memecahkan soal-soal yang disajikan Pak Faisal.  Sulitnya  soal-soal  ini  membuat  kami bekerjasama untuk terus mencari informasi sebanyak- banyaknya. Lelah rasanya memaksa mata untuk terus bisa terbangun dan mau mengamati angka-angka ini.
Jadwal ulangan yang dijanjikan ahirnya datang jua. Kami mengerjakan soal ulangan dengan lebih teliti. Sekarang, sepertinya  tingkat  kesulitan  soal  yang diberikan Pak Faisal sedikit berkurang. Dinda yang minggu kemarin menangis dan mendapat nilai 35, sekarang bisa menarik nafas lega.
Seratus menit yang diberikan untuk mengerjakan soal berlalu dengan cepat. Walaupun setengah hati, kertas yang kukerjakan ahirnya diberikan juga pada Daniel yang bertugas mengambil lembar jawaban. Pak Faisal tersenyum padaku... lalu bertanya,  "Puaskah dengan jawaban yang kau berikan?". Aku menjawab dengan gelengan kepala.Pak Faisal tersenyum.
"Anak-anak, coba simak baik-baik pembicaraan ini. ketika mendapat nilai buruk minggu lalu, apa yang

kalian rasakan? Sedih, marah, kecewa jadi satu bukan?" tanyanya. Kami semua mengangguk.
"Soal matematika itu membuat kalian frustasi. Tapi Bapak tau, kalian berusaha terus mempelajari soal- soal sulit itu dengan berbagai cara. Hasilnya? Hari ini bapak melihat, semua bisa menarik nafas lega dan mampu mengerjakan soal. Bayangkan... ini baru bagian kecil dari ujian hidup. Di depan sana, ada setumpuk masalah yang harus kalian selesaikan. Bapak ingin, kalian bisa mengambil hikmah setiap kejadian yang kalian lalui."
Kami semua terdiam,ucapan Pak Faisal begitu mengena dihatiku. Ya, ketika kami ujian, sebenarnya kami sedang berlatih kesabaran menghadapi masalah, tekun menyelesaikan  langkah demi langkah, berintegritas dan  bertanggungjawab  menyelesaikan semua persoalan. Hanya anak-anak yang kuatlah yang dapat menyelesaikan ujiannya dengan baik.
*****
Semakin lama  berada  di  semester  kedua, pelajaran yang diikuti semakin sulit. Kami semua larut mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat. Ritme belajar

semakin padat. Beratnya beban belajar  di sekolah, diimbangi dengan kegiatan ko kurikuler yang mengasah empati kami pada sesama manusia.
Pada ahir semester, kami mengunjungi sebuah desa di Pangalengan. Semua anak  yang mengikuti kegiatan ini dibagi kedalam kelompok kecil antara tiga atau empat orang, dan menetap di rumah penduduk selama tiga hari. Setiap anak harus mengikuti kegiatan harian orangtua asuh yang ditempati.
Aku ditempatkan di rumah Ibu Icih, seorang ibu yang baru pulang dari Malaysia, karena bekerja sebagai TKW.. Bu Icih dan suami awalnya petani penggarap. Hidup yang sulit memaksanya menjadi TKW dengan harapan bisa membeli tanah sendiri. Setelah pulang TKW, Ibu bisa membeli  sawah  dan ladang, yang kemudian digunakan suaminya untuk menanam padi dan sayuran.
Setiap pagi aku ikut suami istri itu ke ladang, menggarap kebun dan pulang pukul 13.00. Aku, Dinda dan Indri harus membiasakan diri membantu  Ibu angkatku untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. Hari pertama, mataku berair dan dadaku sesak

karena salah meniup songsong11. Bukan api yang kutiup, tapi abu sisa pembakaran kayu bakar. Terang saja, abu mengepul membuat muka kami berempat cemong- cemong. Bu Icih kontan saja tertawa menyaksikan wajah kami yang belepotan jelaga. Duuh, wajah Dinda yang rajin facial berubah drastis. "Hmmm... dasar anak kota, teu nyaho gawe geuning12," umpat Bu Icih. Aku yang mengerti sedikit bahasa sunda hanya nyengir. Dinda lalu bertanya,
"Za, Ibu ngomong apaan sih?".
Aku kemudian menjawab asal saja, "Hmmm.. dasar anak  kota,  bisanya  kerja  mengurus  wajah cantiknya saja!". Dinda nyengir, merasa tersindir.
"Kenapa Bu Icih tau ya, kalo aku suka nyalon?" "Karena kamu geulis atuuuh" jawab Indri sambil
tersenyum.
"Aaah sudahlah, daripada kalian ribut teu jelas, sudah... sana mandi. Tuh, ngagerek timba13 heula nya!" Bu Icih kembali bicara pake bahasa sunda.

11 Biasanya terbuat dari bambo kecil yang digunakan untuk meniup bara api, sehingga kayu terbakar
12 Dasar anak kota, tidak mengerti cara bekerja
13 Menimba air di sumur

"Za, apa artinya?" kali ini, Indri yang bertanya. "Kamu yang paling besar badannya, menimba air
di sumur, buat mandi kami berdua," kataku sedikit merekayasa terjemahan.
"Idiiih, ogah. Mending hak mandi aja sekalian. Udah dingin, capek pula!"kata Indri sambil bergegas masuk kamar.
"Eeeh dasar budak kota. Hese ngartina geuning14." Kata Bu Icih ngedumel.
"Biarin bu, aku dan Dinda saja yang mandi. Tapi maap ya, gak bantu masak." Kataku berusaha sopan.
"Oh.. iyah, gak apah lah. Sok mandi weh kaditu. Biar segeer!" Bu Icih berbahasa sunda dengan logat sundanya yang kental.
"Siap bu!" kataku cepat. Dinda langsung kutarik tangannya supaya mengikuti aku kebelakang rumah. Tempat mandi ini hanya pancuran sederhana. Air didapat dengan cara menimba.
Udara dingin perkebunan teh Pangalengan begitu menusuk sampi ke tulang. Aku dan Dinda bersitatap,


14 Aduh, dasar anak dari kota. Susah mengerti keinginan orangtua.

lalu sepakat hanya bersih-bersih badan sekedarnya saja. Gak kuat mandiiii!.
Keluarga Bu Icih sore itu berkumpul di dapur. Mereka mengajak kami makan. Aku tertegun. Makanan yang disediakannya goreng tahu yang dipotong kecil, gulai pucuk daun singkong dan kerupuk. Keluarga ini bisa makan dengan lahap, sedangkan kami hanya saling pandang dan mengambil sedikit saja.
*****
Malam terahir di Pangalengan, kami berkemul selimut seadanya. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kami ngobrol tentang kehidupan yang dijalani saat ini.
"Mereka begitu tulus menerima kita. Hidupnya sangat sederhana, mendekati miskin. Tapi keluarga ini terlihat bahagia. Aku jadi malu sendiri, di rumah sering ngambek kalau  makanan  kesukaanku  tidak  ada. Padahal, untuk menyiapkan makanan itu bunda sudah kebingungan. Aduuuh, jadi pingin cepet meluk bunda nih," Dinda berkata pelan.
"Aku inget ayah. Kerja keras di kantor, dan kami enak saja menikmati hasil usahanya itu dengan leluasa. Pak Ocim saat bekerja melibatkan semua keluarga.

Sedangkan aku? Hmmm...." Kali ini Indri yang bicara. Sepertinya, sikap egoisnya mulai mencair. Aku sendiri hanya bisa bersyukur dan terus bersyukur atas nikmat yang Allah beri. meskipun ibu dan ayah sudah bekerja maksimal, tapi kondisi keuangan keluarga kami tidak sehebat keluarga teman-temanku. Aku punya ibu yang selalu mengingatkan  kami  untuk  selalu  bersyukur dengan apa yang dimiliki, sehingga tidak mengeluh.
*****
Tahun kedua di SMA, beban belajar semakin berat. Ada pelajaran gambar teknik alias GAMTEK yang hanya ada di sekolahku saja. Kami harus membiasakan diri menggunakan  penggaris  berbagai  bentuk  dan ukuran, pensil mekanik, dan menggambar bangun- bangun yang dicontohkan guru kami secara detil. Pelajaran ini membutuhkan ketelitian dan perhitungan yang ekstra, juga melatih kami untuk terus bekerja dengan sabar,  pantang  menyerah  sehingga  bisa menghasilkan karya terbaik. Beberapa anak berduit, banyak menyerah dengan tugas-tugas gamtek. Mereka minta bantuan temen yang mau mengerjakan tugasnya dengan bayaran besar. Transaksi itu sah-sah saja, take

and give. Tapi bagiku, No! walaupun aku bisa mengerjakan GAMTEK, tapi  aku  tidak  mau mengerjakan tugas teman. Bagiku, itu sama artinya membiasakan temanku mengupah jasa orang untuk mengguguran tanggungjawabnya.
Tria yang satu kamar denganku saat mesantren tahun kemarin, kini jadi teman sekelas, Dian juga. Kami bertiga menjadi tiga serangkai yang kompak, walaupun punya karakter berlainan. Dian yang pemalu, Tria yang serampangan dan  tukang ribut dan  aku  yang jadi penengah diantara mereka jika terjadi keributan. Jika pelajaran terahir bubar karena gurunya ada rapat, maka Tria yang banyak duit, selalu mentraktir kami makan- makan di restoran cepat saji. Kalau sudah begini, akulah yang membujuk Dian supaya mau makan. Dia susah sekali menerima pemberian.
"Di, ayolah makan. Harganya gak seberapa kooo. Lagian aku yang traktir nih. Faza udah setuju, tinggal kamu," bujuk Tria.
"Bagi kamu, seporsi makanan harga 50 ribu rupiah gak ada artinya. Tapi bagiku, 50 ribu itu biaya makan kami sekeluarga selama  dua atau  tiga hari.

Rasanya, aku sulit menelan makanan ketika dalam fikiranku ada mamah, bapa dan teteh yang makan dengan oseng kangkung dan krupuk," jawab Dian lirih. Aku tercekat. Oooh, ini alasannya. Aku dan Tria saling tatap. Kami sama-sama diam. Tidak berapa lama, Tria menulis sesuatu di handphone nya.
"Ya sudah, gak jadi pergi bukan berarti gak makan ya. Kita tetap disini, di perpustakaan untuk mengerjakan tugas  makalah  ekonomi,"  kata  Tria. Tumben, dia mau mengalah. Kami berjalan menuju perpustakaan. Ini base camp kesukaan kami bertiga. Ruangan yang bersih, wangi, karpet dan bantal yang empuk dan buku-buku yang menarik untuk dibaca menjadi magnit  kuat  yang  membuat  kami  betah berlama-lama membaca. Tidak berapa lama, diskusi alot terjadi untuk  menentukan  topik  utama  makalah kelompok, lalu bergulir pada pokok bahasan setiap bagian dan pembagian tugasnya. Hampir satu jam lebih, kami mengerjakan tugas. Tiba-tiba seorang satpam datang ke ruang perpustakaan mencari Tria.
"Mbak, pesanannya  sudah  datang. Orangnya
nunggu di pos."

"Oh, iya. Bisa minta tolong bawakan kesini pak? Ini uangnya. Kembaliannya buat bapak aja. Boleh ya pak, please..." mata Tria berkedip lucu. Pak satpam ini tertawa dan mengangguk.
"Iya deeh, bos kecil. Mana duitnya!" kata pak satpam ringan. Tria mengambil tiga lembar uang seratus ribuan dari dompetnya, lalu berkata "Makasih bapak baeeek!".
Aku dan  Dian  hanya  bisa  saling pandang.
Transaksi apaan tuh?.
Pizza besar ukuran family ada dihadapan kami. Tria memamerkan senyum manisnya sambil berkata, "Kalian sahabatku,  gak  mungkin  membiarkan  aku kesusahan karena menghabiskan makanan ini,  kan? So... bantulah sahabatmu ini untuk menikmati makanannya. Yuk, kita ke taman. Makan disini bisa kena semprot Miss An, pustakawan yang jutek!" ajaknya sambil menarik tangan Dian. Aku tersenyum dan mengikuti langkah mereka berdua.
"Enak kan makanannya?" tanya Tria . aku dan Dian mengangguk sambil menghabiskan sepotong Pizza. Tria sudah mengambil potongan nugget plus sambalnya.

"Om ku baru pulang dari Inggris. Nah, sebagai ponakan paling besar, tentunya dapat jatah duit paling besar dong. Aku gak egois, klu dapat rezeki, maka aku pasti ingat kalian juga. Naaah... boleh lah sekali-kali kalian merasakan makanan enak plus gratis." Katanya sambil mengambil potongan pizza yang ketiga. Gilaaa... ni anak lapar apa doyan sih? Cepat amat mengunyah makanan.
"He..he..he.. kaget ya lihat cara makanku yang cepat? Kalm... aku masih bisa menghabiskan dua potong cheese burger itu!" Tria menunjuk kantong burger yang masih utuh. Dian geleng-geleng kepala.
"Ampuuun, perutku sudah gak bisa makan lagi nih. Maaf ya, bantuanku cukup sampai disini," kataku sambil mengambil minuman.
"Iya, aku juga. Dua potong pizza plus sepotong nugget sudah membuat kami kenyang. Makasih untuk makanannya." Dian mengikutiku. Trias melotot.
"Enak aja... gak solider tuh. Kalo aku belum beres makan, gak sopan tau ninggalin temen!" Trias marah.
"Kita gak pergi, hanya nemenin aja ya," jawab Dian. Trias menghentikan makannya, lalu berkata

"Ah, nafsu makanku hilang deh. Ya sudah... semua makanan kita masukan ke kotaknya lagi. Dan karena rumah Dian paling dekat diantara kita, maka sebelum aku pulang, Dian kuantar pulang. Awas, jangan nolak ya!"
Dian bengong. Aku tertawa melihat kelakuan mereka berdua. Trias dan Dian memang ditakdirkan untuk saling melengkapi.
*****
Ahir semester ini kami melakukan wisata ke Bali. Aku dan Dian sebenarnya tidak mau pergi, karena kami tidak mampu membayar biayanya yang mahal. Tapi, kami mendapat tiket gratis dari sekolah. Sekolahku keren, Komite yang mengurus perjalanan ke Bali ini memastikan semua anak ikut ke Bali. Jadi, ada program biaya subsidi silang.
"Dian, Faza... kami tidak bermaksud menghina kalian dengan memberi tiket gratis ini. kami hanya ingin kalian ikut berbahagia setelah setahun penuh belajar terus-terusan. Nah, tolong diterima tiketnya. Kita akan berbahagia bersama di Bali, Oke?" itulah yang dikatakan Mira tadi siang. Tiket ini kusimpan dengan hati-hati di

tas. Aku masih belum memutuskan, apakah jadi pergi atau tidak.
"Teh, maapkan ibu karena tidak bisa membayar biaya ke Bali. Semester ini ibu harus sidang tesis. Biayanya besar, jadi ..."
"Aku sudah punya tiketnya, pemberian bendahara OSIS." potongku cepat. Lalu kuperlihatkan tiket ke Bali yang tadi kuterima dari Mira.
"Alhamdulillah... berarti kita harus bersiap-siap belanja bekal makanan di perjalanan.  Bukankah perginya besok?" tanya ibu.
"Aku gak mau pergi, bu," jawabku pendek "Kenapa?.   Teteh   malu   karena   mendapat   tiket
gratis?.Tetehmerasaterhinakarenamenerima kebaikanoranglain,begitu?"pertanyaanibuyang beruntun itu tidak kujawab. Aku masih marah pada ibu. "Nak, hidup ini terus bergulir. Kadang diatas, kadang dibawah. Ketika posisi kita dibawah, bukan berarti kita  hina.  Allah  sedang menguji kesabaran hambaNya. Ini  artinya,  jika kita menerima hadiah, bukan berarti kita menjadi terhina. Ibu harap, kamu bisa memahami  arti  memberi  dan  menerima. Saat ini,

kau diberi hadiah oleh sekolah. In Syaa Allah suatu hari nanti, kau bisa berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Pergilah mandi, setelah ibu menyelesaikan tulisan ini, kita belanja ya!"
Itulah ibu. Ada banyak kalimat manis yang tersimpan dimulutnya.  Semua kata-kata  ibu  bisa menentramkan hati kami semua. Aku menghela nafas. Ibu benar, kondisi keuangan kami sangat terbatas. Selain harus mengurus biaya sidang, biaya masuk  kuliah kakakku,  ibu  juga harus memikirkan  biaya persalinan anak keempatnya. Tidak seharusnya aku marah pada ibu.
*****

TAHUN TERAHIR BIKIN KETAR KETIR

Semester lima, saat yang paling mendebarkan bagiku. Inilah puncak perjuanganku jika menginginkan tiket undangan ke ITB. Kakakku bulan kemarin masuk UNPAD lewat jalur undangan. Jadi, aku bisa melihat betapa nikmatnya dia melalui libur panjang, sementara teman-temannya masih belajar menyiapkan diri untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur mandiri.
Pelajaran yang kami hadapi semakin berat. Guru kami terbiasa memberi soal-soal standar Cambridge atau Oxford, jadi kami harus belajar ekstra keras.
"Sekarang, kalian mungkin kesusahan menghadapi soal-soal yang membutuhkan cara berfikir analisis tingkat tinggi dan teliti. Tapi, percayalah... kalau kalian diterima di ITB, maka tahun pertama disana kalian  akan  merasa  bahagia.  Dan,  kalian tentunya akan berterimakasih pada kami."
Itulah yang dikatakan wali kelasku. Hmmm... benarkah?. Kakak kelasku yang diterima di ITB bilang, soal-soal dari guru kita jauh lebih sulit dari soal-soal tahun pertama mereka. Lagipula... tidak semua murid

mau melanjutkan kuliah di ITB kan?. Ah, lepas dari semua persoalan tadi, aku harus memakan habis sajian soal yang menyebalkan ini.
Trias dan Dian menjadi kawan yang enak untuk dijadikan teman belajar. Teman-temanku sebagian besar punya guru privat yang membantu mereka memahami pelajaran. Orangtuanya sanggup membayar mahal biaya les, sementara aku dan Dian gak bisa berharap banyak. Trias sebenarnya bisa saja  punya guru  les.  Tapi, kebiasaannya yang tidak betah duduk berlama-lama dengan buku  dan  guru  les,  membuat  mamihnya menghentikan les fisika, kimia dan matematika yang sudah dibayar mahal untuknya. Ah, Trias memang berbeda sekali. Anak ini susah diatur.
*****
"Za, aku diterima program pertukaran pelajar ke Thailand!" Trias  tiba-tiba  berteriak  padaku.  Ya,  beberapa minggu lalu, dia memang ikut tes pertukaran pelajar. Kemampuan bahasa Inggris dan finansialnya memang keren. Jadi, wajar jika dia diterima.
Trias berada di Thailand selama empat bulan. Sedih juga sih berpisah dengan Trias yang tukang ribut,

tapi mau bagaimana lagi? Live must go on. Aku dan Dian kembali larut dalam rutinitas belajar di perpustakaan sekolah.
Hari-hari yang melelahkan karena mengerjakan setumpuk tugas, sedikit terobati oleh kegiatan latihan lingkung seni sunda atau lebih mudahnya disebut LSS. Ya, ide bergabung dengan LSS berawal dari ajakan Dian yang kekurangan personil penabuh  gamelan.  Bulan depan, LSS harus tampil menyambut bapak gubernur untuk meresmikan ruang belajar baru, dengan fasilitas tele converence modern.
Awalnya, susah  banget  menyelaraskan  nada gamelan supaya terdengar harmonis. Tapi, karena latihan yang terus menerus selama tiga minggu, aku bisa juga mengikuti ritme nada hingga bisa menjadi nayaga15 yang handal.
Sekolah terasa lebih semarak, ketika rombongan gubernur dan walikota datang ke sekolah. Kami menjadi tim yang paling banyak menyita perhatian para tamu undangan, karena bisa menampilkan tiga lagu sunda yang dinyanyikan bapak gubernur.
*****

15 Penabuh gamelan sunda.

Menjelang ujian semester lima, Trias pulang. Waaah, dia bercerita banyak tentang kehidupan di Bangkok yang  sangat  bebas,  dan  pelajaran  yang dipelajarinya di Bangkok, jauh lebih mudah dari yang kita terima selama ini. Tapi, ketika dia sadar banyak ketinggalan pelajaran, Trias mulai kelabakan karena harus mempelajari secara marathon, pelajaran yang ditinggalkannya selama empat bulan. Untunglah, kali ini Trias  menurut  pada  mamihnya  yang  sudah menyiapkan guru les. Itulah sebabnya, setelah pulang sekolah, Trias tidak bebas belajar bareng kami di perpustakaan.
Ujian ahir semester dapat kulalui dengan baik. Ya, meskipun hampir setiap hari aku harus belajar sampai larut malam, pengorbananku ini berbuah manis. Nilai raport ku lebih baik dari semester empat.
Setelah usainya masa liburan semester lima yang hanya seminggu, kami kembali larut dalam aktifitas belajar yang padat. Ya, sekarang ini kami harus menyiapkan diri untuk ujian nasional. Trias yang biasanya menolak untuk privat, kali ini bisa berdamai dengan mamihnya. Uniknya, Trias melibatkan kami

agar mau menemaninya belajar bareng guru privat yang dibayar mamih. Tentu saja, aku dan Dian tersenyum cerah karena bisa belajar dengan fasilitas guru privat yang keren. Dampaknya, kami semua lebih semangat belajar.
Setelah empat bulan belajar maksimal, kami  ahirnya mengikuti ujian nasional berbasis komputer. UNBK dapat kulalui dengan baik, karena soal-soalnya hampir sama dengan yang biasa kami kerjakan. Bahkan, menurut beberapa orang, soal UNBK ini lebih mudah.
Tidak lama setelah  UNBK,  kami  melakukan pemberkasan untuk  jalur  undangan  ke  universitas negeri yang dipilihnya masing-masing. Aku memilih jurusan teknik fisika sementara Dian memilih Metalurgi dan Teknik Kimia ITB.
BagaimanadenganTrias?Oooh,diasudah mendapat beasiswa untuk kuliah di Bangkok, jadi dia tidak begitu peduli dengan pemberkasan jalur undangan. Menunggu itu membuat pergerakan waktu terasa lambat.Ya,ituyangakurasakansaatmenanti pengumuman jalur undangan. Masa penantian itu kuisi

dengan mempelajari soal-soal SBMPTN. Bagaimanapun juga, aku harus punya planning B untuk masuk ke ITB.
Hampir setiap hari, aku datang ke Masjid Salman, ITB. Disana aku belajar bareng teman-teman lainnya. Sebulan lebih aku belajar disana, dan hasilnya lumayan membuat aku yakin mampu mengerjakan soal-soal SBMPTN.
Kegiatan belajar  di  Masjid  Salman  ahirnya kuhentikan, karena aku sudah diterima di FTI jurusan Teknik Fisika. Aku bisa diterima karena mengambil program peminatan. Sayangnya, kebahagiaanku tidak dinikmati oleh Dian. Itulah sebabnya, Dian masih harus terus berjuang belajar dengan teman-teman lainnya. Setelah mengikuti SBMPTN, Dian ahirnya diterima di IPB.
*****

MIMPI ITU, AHIRNYA BISA KUGAPAI

Tahun pertama kuliah di ITB menjadi tahun yang paling melelahkan. Saat itu, kami belum masuk ke jurusan yang dipilih, tetapi masuk tahap persiapan.
Aku bertemu teman-teman baru dari seluruh Indonesia. Mengenal karakter baru, suasana baru dan ritme belajar baru yang lebih  menantang. Karena  hampir 70% siswa SMA 3 yang kelas XII diterima di ITB, maka dengan  mudah  aku  punya  banyak  teman.  Banyaknya mahasiswa baru yang berasal dari sekolahku ternyata berdampak saat proses perkuliahan di kelas. Jika dosen meminta salah seorang mahasiswa maju ke depan untuk mengerjakan latihan soal, maka yang pertama dipanggil pastilah kami.
"Ayo, mana anak-anak tiga, cepat maju. Kalian sudah biasa  mengerjakan  soal-soal  seperti  ini!" begitulah para dosen memanggil kami. Aku sering  ngumpet kalau gak siap. Malu juga jika tidak bisa menjawab soal dengan benar. Wah, apa yang dikatakan guruku ternyata benar, apa yang kami lakukan saat SMA dulu, terasa manfaatnya sekarang. Teman-teman

yang lain mengenal kami sebagai kelompok besar berotak brilyan. Jadi, kalau ada kelompok kerja, maka anak-anak dari tiga, selalu menjadi leader.
Selain sibuk kuliah, kami juga harus mengikuti masa orientasi yang diselenggarakan fakultas maupun jurusan. Masa  orientasi  menjadi  masa-masa  yang menyenangkan, karena bisa tertawa lepas bareng teman. Oh ya, kalian tau, selama setahun kuliah, koleksi jaket dengan tulisan FTI -- ITB begitu banyak. Kadang, adikku Mahdi yang kini menjadi siswa SMA jurusan IPS, ikut memakai jaket-jaket itu. Pernah, suatu hari Mahdi mengeluh padaku.
"Teh, gimana yah... aku merasa punya beban berat. Aa kuliah di UNPAD, teteh di ITB, nah... aku kuliah dimana nanti? Kalian pinter, sementara aku merasa gak pinter. Ajarin aku dong," katanya dengan muka sedih.
Awalnya aku mau menjawab sekenanya. Tapi, melihat wajahnya yang tampak serius, aku gak tega.
"Ka, tau gak. Saat dua  tahun lalu  ibu memutuskan masuk kuliah program Doktor, aku lho yang pertamakali keberatan. Kenapa? Karena kufikir,

kalau ibu kita Doktor, maka kita anak-anaknya ya minimal harus punya gelar yang sama. Tapi, kata ibu... kita semua punya cara yang berbeda dalam menjalani hidup. Kita boleh memilih kuliah dimanapun sesuai keinginan kita."
Mahdi menunduk. Dia tampaknya masih merasa ada beban dalam hatinya.
"Sudahlah, sekarang ini saatnya kamu belajar maksimal. Tapi, teteh lihat kamu cukup hebat juga lho. Coba lihat, aku yang sekarang ini kuliah di ITB, belum bisa menghasilkan uang. Sedangkan kamu? Kamu kan pinter jualan. Duit kamu jauh lebih banyak daripada Aa dan teteh. Mungkin bakatmu bukan seperti aku, tapi... jadi diri sendiri itu jauh lebih baik."
"Terus, aku harus bagaimana sekarang?" kembali, Mahdi bertanya penasaran.
"Terus apanya? Iiih, kamu kan sore ini harus jemput Rozan. Ayo, jemput dia dulu. Ibu masih dikantor. Nanti malam kita bicarakan lagi ya." Aku menutup obrolanku dengan Mahdi. Ya, si pawang ular ini sudah tumbuh dewasa. Adikku ini sangat bisa diandalkan oleh aku dan Ibu, karena dia mau mengantar kami kemana

saja  denganmotornya  dantidakpernahterdengar keluhan dari mulutnya.
*****
Waktu sepertinya cepat berlalu. Sibuknya jadwal kuliah dan kegiatan membuat robot yang aku tekuni bareng teman-teman di Unit Robotika ITB membuat hari berlalu sangat cepat. Hampir setiap hari, aku baru bisa pulang larut malam karena menyiapkan lomba robotika.
Semua kesibukan ini membuat kebersamaanku dengan keluarga semakin berkurang. Tetapi, dengan kesibukan kami yang padat, maka pada hari Sabtu dan Minggu menjadi hari bersama bagi kami. Aku, Aa, Mahdi dan si bontot Rozan sering berkumpul di kamar ibu untuk ngobrol atau sekedar makan cemilan bersama.
Bagi kami, setiap langkah adalah waktu yang tepat untuk berkarya dan menggapai mimpi-mimpi  besar. Saat aku tanya ibu, tentang apa yang menjadi mimpi terbesarnya? Jawabnya sederhana, "Ibu ingin melihat anak-anak sukses hidup di dunia dan akhirat, sehingga ibu bisa menghadap Allah dengan senyum bahagia."

Ya, saat ini kami sekeluarga sedang melangkah dengan mimpinya masing-masing dan berjuang mewujudkan mimpi. Semoga...
*****

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun