Reformasi sebagai pilihan tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia. Belum lagi sejumlah kasus yang belakangan ini banyak mendera Indonesia yang tak kunjung kapan akan selesai. Karena itu wajar jika ditangah keadaan yang demikian laku hedonisme masyarakat bermunculan hampir tak terbendung.
Situasi global kontemporer tidak lagi dalam pusaran bipolar antara kapitalisme yang direprentasikan oleh AS dan sekutunya, serta komunisme yang menjadi tatanan sosial-politik buah dari Revolusi Bolshevik dibawah pimpinan Vladimir Illch Lenin. Tapi justru realitas ini menjadi terbalik setelah terpecahnya Uni Sovyet banyaknya system yang berlaku secara global, tidaklah menjadikan AS menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menghegemoni dunia atau istilah tepatnya disebut Multipolar.
Hal ini ditandai dengan lahirnya gelombang regionalisme baru dimana-mana dari berbagai belahan dunia seperti Amerika Latin, Asia Timur, Eropa, hingga Benua Afrika. Bagi negara negara yang gagal menyambut freemarket democracy, maka mereka akan terpaksa masuk ke freemarket cleptocracy, apalagi bila dipandu oleh economic hitman model John Perkins.Situasi ini dengan sendiri menjadikan thesis Francis Fukuyama yang menganggap bahwa kapitalisme-liberalisme adalah akhir dari sejarah (the end of history) menjadi tidak relevan. Begitu juga Samuel P Hungtinton dalam Tha clash of civilizations and the remaking new order yang mendeskripsikan pergeseran geopolitik dan kemunculan bentur antar peradaban antara Barat, Islam dan Konfusian juga ikutan menjadi latah. Sementara dunia tidak se-sederhana itu.
Kini sosialisme bangkit dengan berbagai bentuk atas respoun terhadap pasar. Kapitalisme terimplementasikan dalam berbagai bentuk varian mazhab seperti Perancis, Jerman, Belanda dan tentunya China dengan sosialisme pasar- nya model adopsi dari kapitalisme-komunisme mampu menembus pasar internasional.
Fakta di atas sama sekali tidak boleh dianggap sepeleh sebab adalah benar premis yang mengatakan, seluruh kejadian besar nasional,adalah bagian kecil dari drama besar theatre dunia, dimana Indonesia hanya kebagian peran figuran di dalamnya. Diakui atau tidak konstalasi geopolitik erat kaitannya dengan keadan sosial-politik nasional. Ada semacam pola umum (weltanschauungs) yang melingkupi wilayah geogfrafis, sosial-politik secara global dan pengaruhnya mengakar hinggah ketatanan social terendah sekalipun. Hal ini sudah terjadi sejak zaman kolonial.
Jika merujuk sejarah pada masa pra kemerdekaan bangsa asing mulai menginjahkan kaki-nya ke nusantara dan menanamkan pengaruhnya. Jatuhnya kedaulatan nusantara ke tangan asing ditandai dengan berdirinya VOC pada tahun 1602. Mulailah bangsa Indonesia dikendalikan oleh aktor internasional. Pada abab ke 19 terjadi perubahan pundamental di Eropa, yaituh sejak pemikiran Ernest Renant tentang negara-bangsa (nation-state) 1882. Pemikiran Ernest Renant ini mempengaruhi kawasan Eropa dan berdirilah berbagai negara bangsa di Eropa.
Terjadinya perubahan di kawasan Eropa berdampak terhadap negara-negara jajahan termasuk Hindia Belanda hal ini terlihat sejak dikeluarkannya kebijakan politik etis oleh anggota parlemen negara belanda C Th Van Deventer. Kebijakan politik etis ini memberikan kesempatan kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan modern alat barat. Akibatnya muncullah semangat nasionalisme disertai berdirihnya organisasi-organisasi kepemudahan meskipun masih bersifat sectarian seperti Jong Jawa, Jong Celebes, Jong Sumatra, Jong Islament Bond, SI, Muhammadiyah.
Di tengah situasi politik global yang tidak menentu akhirnya bangsa Indonesia mengkontruksikan paham kebangsaanya yang dekenal dalam peristiwa sumpah pemuda 1928. Sementara itu ketegangan antara nagara-negara imperialis berpuncak dengan meletusnya perang dunia II 1939. Di sini Indonesia kambali menjadi rebutan Negara-negara yang sedang bertikai.
Kecadian serupah terjadi ketika bubarnya Pakta Warsawa, lalu pergeseran locus delicti sasaran ke Indonesia dengan konsep awal Pakto 88, lalu pinjaman tanpa hedging 1992, pembentukan LSM LSM anti militer sejak tahun 94, penghujatan TNI secara frontal sejak 1996 sampai kewajiban pembayaran hutang pada tahun 1977 yang berdampak dengan krisis moneter dan puncaknya adalah lengsernya Soeharto. Semuanya bukanlah hal yang berjalan secara kebetulan tapi merupakan buah dari arus rekayasa kepentingan modal internasional.
Potret singkat sejarah di atas menunjukkan bahwa sejak awal Indonesia sama sekali tidak bisa terlepas dari konstalasi politik global. Faktor-faktor internasional selalu menjadi penentu gerak internal Indonesia. Sehingga untuk membangun satu gerakan yang utuh perlu pembacaan yang kompleksitas terhadapa seluruh persoalan dengan menempatkan indonesia sebagai bagian dari system dunia yang tidak terpisah. Agar tidak a-historis dan tidak terjebak dalam kalkulasi sepihak.
Ancaman Demokrasi
Tidak terbantahkan lagi setelah runtuhnya orde baru di bawah kekuasaan rezim Soeharto politik Indonesia bergerak masuk dalam mainstream demokrasi liberal. Indikasi model politik seperti ini tentunya membuka ruang bagi hadirnya alat dan model politik yang dapat memberikan kontribusi.
Tapi kenyataan jauh panggang dari api, perpolitikan hanya terlihat sebagai satu bentuk formalitas kenegaraan semata dan tidak terkait dengan karakter pembangunan politik nasional rakyat. Deideologisasi terjadi secara massif dalam kehidupan kepartaian Indonesia.Akibatnya aktor/kelompok politik yang muncul lebih merepresentase kepentingan segelintir orang dan mengabaikan keadulatan rakyat. Politik lebih terlihat bersifat oligarki yang menjadi pabrik lahirnya koruptor dan birokrasi patrimonial menjadi pola umum lingkar kekuasaan.
Akhirnya sistim politik nasional kita sampailah pada titik yang bercabang (bifurkasi). Satu sisi manakalah kebebasan individu yang dikedepankan maka sesungguhnya negara bergerak ke arah yang liberal dengan demikian campur tangan negara menjadi sempit. Di lain pihak karena ruang kompetisi semakin terbuka maka mereka yang mampu, bermodal dan cerdik selalu menjadi yang terdepan akhirnya terciptalah iklim yang tidak merata ditingkat akar rumput.Selajutnya perang pemerintah kembali dibutuhkan. Inilah bukti carut-marutnya perpolitikan kita yang bergerak dalam pola saling sandera-menyandra.
Pada saat situasi sudah sedemikian kritisnya elit nasional bukannya kebingungan memikirkan semua persoalan ini tapi justru sebaliknya larut dalam pemujaan berlebih atas seluruh mekanisme global. Lebih dari itu mereka hanya berpikir rebut-merebut kekuasaan.
Tidak seperti Mahathir Muhammad yang baru-baru ini mulai membentuk poros AMF sebagai tandingan IMF yang cuman meninggalkan koreng-koreng korupsi di setiap negara yang dibantunya sekaligus mengkosnsolidasikan kekutatan orang kaya dalam negeri untuk menjadi capital nasional. Sementara di tangah transisi hegemoni internasional (world system) yang berkecamuk saat ini terlihat jelas kalau kecendrungan kita selama ini lebih condong kepada AS, cenderung pragmatis dan kompromistik tampa daya kritis sama sekali.
Ini merupakan bukti kegagalan elite pimpinan Indonesia dalam membaca situasi geopolitik internsaional, kalah dari generasi sebelumnya seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka yang memiliki pemahaman utuh serta sikap awas atas gerak struktur global. Sehingga ketika Jepang menyerah dalam perang Asia Timur Raya dimana negara-negara sekutu berhasil menundukkan negara-negara Axis. Mereka dengan bersama-sama memampatkan situasi untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kecerdasan seperti ini yang tidak ditemukan dikalangan pimpinan negeri kita saat ini.
Jika keadaan ini terus di diamkan tampa kehendak merumuskan secara serius satu pola gerak consensus kolektiv nasional mau di bawa kemana negara dan bangsa ini nantinya sementara dalam konteks global sejumlah negara tak henti-hentinya dan terus melakukan pembenahan kesiapan nasionalnya untuk maju dan berkompetisi di pentas global. Sedang di sisi lain system politik nasional yang semakin tak menentu. Maka Indonesia benar-benar dalam ancaman punah sebagai sebuah negara-bangsa.