Rahman, pemuda tampan yang terlahir bersama kanker kronis yang tidak bisa disembuhkan. Penyakit itu bisa membunuhnya kapan pun dan di mana pun. Usianya baru 20 tahun. Selama itu pula ia selalu di rumah, di bawah perawatan dan perhatian ibunya.
Suatu hari Rahman ingin ke luar rumah. Untuk itu, dia meminta izin ibunya, dan dibolehkan. Ketika berjalan menyusuri trotoar, ia melihat banyak toko. Saat berhenti di sebuah toko musik, ia melihat ke dalam, dan tampak seorang gadis cantik seusianya.
Rahman pun melangkah masuk, dan berjalan ke arah gadis itu. Gadis itu tersenyum padanya, dan bertanya, “Adakah yang bisa saya bantu, Mas?”
Saat itu, Rahman merasa bahwa itulah senyum perempuan paling indah yang pernah dilihatnya, selain senyum ibunya. Ia merasa itulah cinta pada pandangan pertamanya.
Sambil tergagap dia menjawab, “Yah, emmm, saya ingin membeli aaa...” seraya meraih sesuatu yang pertama kali dilihatnya, dan menyodorkan uang pada gadis itu.
“Dibungkus nggak, Mas?” tanya gadis itu sambil tersenyum. Rahman menjawab ya, dan gadis itu pergi ke ruang belakang untuk membungkusnya. Pemuda itu menerima CD yang dibungkus rapi dan berjalan pulang.
Sejak hari itu, Rahman sering mengunjungi toko musik itu, dan setiap hari ia membeli CD. Saban hari gadis itu membungkuskan CD, dan Rahman menyimpannya di lemari, tanpa pernah membukanya.
Rahman sangat pemalu. Setiap kali ia berusaha untuk meyakinkan diri bahwa dia mampu, dia selalu tidak menemukan keberanian untuk mengajak gadis itu pergi sekadar jalan-jalan atau keluar.
Besoknya, sebagaimana hari-hari sebelumnya, Rahman membeli CD dan gadis itu membungkusnya seperti biasa. Sementara gadis itu sibuk, dia meninggalkan nomor telepon di atas meja, dan bergegas keluar toko.
Pada hari berikutnya, Rahman tidak menampakkan batang hidungnya di toko musik itu, dan gadis itu meneleponnya. Dari seberang, ibunya menjawab dan bertanya siapa yang menelepon.
“Saya Maulida, penjaga toko musik. Bisakah saya bicara sama Rahman, Bu?”
Ibu itu sontak menangis. Maulida bertanya apa yang terjadi. “Kau tak tahu kalau dia meninggal kemarin?”
Tiba-tiba hening. Tak ada percakapan lagi. Maulida terisak, dan luruh melepaskan gagang telepon. Pun sang ibu.
Sore itu, ibu itu memasuki kamarnya Rahman. Dia membuka lemari, dan terkejut melihat tumpukan CD yang belum dibuka bungkusannya. Melihat tumpukan CD itu, dia penasaran.
Saat sang ibu membuka dan merobek bungkus CD, ia melihat secarik kertas yang bertuliskan: “Hai kau manis, saya senang bertemu denganmu. Bisakah kita jalan-jalan keluar sebentar. Rahman!"
Ibu itu terus menangis seraya membuka lagi, lagi, dan lagi dari tumpukan CD itu. Setiap CD terdapat secarik kertas yang bertuliskan sama.
Sementara di sudut sebuah taman, Maulida terduduk dan menyandarkan kepala di bahu kursi panjang . Sambil menyeka airmata di pipinya, ia menuliskan sesuatu di buku hariannya:
“Jangan pernah kau menunda untuk menyatakan perasaanmu terhadap seseorang yang sangat berarti bagi hidupmu. Kata besok bisa berarti terlambat. Hiduplah seolah-olah hari itu adalah hari terakhir bagimu”.