Kriiiiiiiiiinnnnnnnnnnnggggggggggggg!!!!!!!!!!! Seperti biasa, Tina tidak mengangkat telepon, tapi berdiam diri sejenak. Sejurus kemudian, mahasiswi di sebuah Universitas negeri di Jakarta ini langsung tahu siapa yang menelepon.
“Ini pasti Roni,” pikirnya. Dan memang benar, Roni, teman kuliahnyalah yang meneleponnya. Kejadian seperti ini sudah seringkali dialami Tina. Tidak satu pun tebakan Tina meleset. Dia selalu tepat.
Bahkan sudah sejak kecil, seringkali ketika kangen dengan seorang temannya atau ibunya yang tinggal jauh di desa, Tina langsung memikirkannya. Beberapa saat setelah berpikir tentang orang yang dikangeninya itu, orang tersebut langsung meneleponnya. Atau sehari kemudian, orang tersebut datang.
Tanpa Batas Jarak
Kita sering menganggap pengalaman Tina sebagai sesuatu yang luar biasa. Padahal, apa yang dialami Tina, bisa jadi juga dialami kebanyakan dari kita. Orang menyebutnya sebagai indera keenam atau indera cenayang. Istilah kerennya ESP atau extra sensory perception.
Seorang praktisi ESP, Amarullah Hamali, SE, MM, M.Si menggambarkan ESP sebagai kemampuan seseorang untuk memperoleh informasi tanpa pikiran sehat (tanpa panca indera).
Sehingga, seseorang dapat menerima pemikiran dari orang lain atau membaca pikiran orang lain dan bahkan dapat pula memancarkan pemikiran kepada orang lain (mind to mind communication) yang tanpa batas dan tidak terikat oleh jarak. Orang tidak perlu lagi bertatap muka, melihat atau melakukan proses mengindera lainnya.
Secara umum, ESP dimasukkan dalam empat kategori, yakni telepati, clairvoyance (gambaran jiwa) yang terdiri dari clairsentience (perasaan jiwa) dan clairaudience (pendengaran jiwa), precognition, dan psychokinesis.
Telepati adalah kemampuan seseorang mentransfer pikiran ke orang lain tanpa komunikasi. Clairvoyance adalah kemampuan seseorang melihat sesuatu peristiwa yang sudah terjadi, merasakan (clairsentience) dan bahkan bisa mendengarkan apa yang terjadi (clairaudience).
Sementara precognition adalah sebentuk kemampuan seseorang mengetahui sesuatu yang belum pernah terjadi secara nyata. Dan psychokinesis, merupakan bentuk kemampuan seseorang untuk mempengaruhi suatu obyek atau peristiwa hanya dengan memikirkannya saja.
Bawah Sadar ke Sadar
Dalam sejarah, ESP memiliki beragam nama. Di abad ke-19, disebut "cryptesthesia" sensibilitas yang tersembunyi. Selanjutnya diberi label "relesthesia" atau , lalu menjadi clairvoyance atau “melihat dari jauh”. Ahli parapsikologi Amerika, J. B. Rhine lah yang kemudian menggunakan istilah "general extrasensory perception" (GESP) dan memasukkan unsur telepati dan clairvoyance dengan satu sebutan. Kemudian ilmu psikologi hanya menyebut sebagai ESP.
Sementara Louisa E Rhine (istri JB Rhine) lah yang mengajukan teori bahwa ESP bekerja pada tingkat unconscious atau subconsciousness (bawah sadar), sebuah tempat dimana memori berada. Di sinilah, kontak antara dunia objektif dengan pusat pikiran berlangsung. Seseorang tidak menyadari kontak ini sampai kemudian informasi dibawa ke tingkat kesadaran normal (consciousness).
Psikolog terkenal Carl G. Jung juga mengajukan teori yang mirip. Dia menyebutkan bahwa pikiran sadar memiliki akses ke pikiran bawah sadar. Amarullah menyebutkan akses ini sebagai Reticular Activating System atau sistem penyaringan/ filter.
Teori lain mencoba menjelaskan bahwa ESP muncul karena diproduksi. Teori ini melibatkan apa yang disebut makrofag, sel-sel yang ada di jaringan, jaringan limfa, sumsum tulang serta saraf-saraf tepi.
Organ-organ tubuh yang bekerja untuk ESP, mengirim dan menerima kesan-kesan lewat bawah sadar manusia. Sel-sel semacam lebih sensitive dan aktif selama orang masih kanak-kanak dan memburuk saat dewasa ketika beragam gangguan pada organ ini datang.
Beberapa teori lain melibatkan diskusi mengenai subconsciousness (bawah sadar), superconscious (keadaan sadar), jiwa (soul), subliminal-self (pribadi luhur dari diri manusia), ego transenden, mimpi , dan beberapa istilah lain yang sulit dijelaskan.
Argumennya berdasar pada hipotesis atas keberadaan dua realitas, fisik dan mental. ESP dapat terjadi saat dua realitas ini terintegrasi. ESP terjadi kadang-kadang dan hanya saat dinding pemisah antara dua realitas ini pecah. Dengan demikian, gelombang yang berada di bawah sadar akan memasuki pikiran sadar.
Menurut Rhine, mimpi merupakan sarana efisien untuk menyampaikan pesan ESP karena batas atau dinding di sekitar pikiran sadar menjadi sangat tipis.
Ternyata ditemukan juga bahwa ESP pada seseorang cenderung mengalami distorsi akibat prasangka, pikiran-pikiran dan kondisi-kondisi lain yang belum bisa dijelaskan. Karena itu, pesan ESP menjadi tidak akurat lagi. Bagaimanapun, dalam keadaan krisis seperti kecelakaan dan kematian seseorang yang dicintai, pesan-pesan ESP akan berjalan secara spontan.
Teorinya menyebutkan bahwa trauma dan pengalaman yang mengejutkan membuat informasi negatif mampu menembus dinding pemisah antara bawah sadar dan kesadaran normal dengan lebih mudah daripada informasi yang menggembirakan.
Built In
Ada beberapa teori kenapa seseorang memiliki kemampuan ESP. Satu teori menyebutkan bahwa seseorang seperti peramal (misalnya Ibu Lauren Pasaribu), para nabi atau orang-orang semacam memiliki kemampuan ini karena warisan dari keluarga atau nenek moyangnya.
Teori lain menyebutkan bahwa ini adalah bentuk sense purba yang lama-lama menghilang seiring dengan meningkatnya peradaban. Dan teori lain lagi menyebut, ESP sebagai supersense yang berevolusi dalam system saraf.
Riset cenayang cenderung mendukung teori yang menyebutkan bahwa ESP adalah kemampuan yang dimiliki setiap orang sejak lahir, meski beberapa orang kelihatannya lebih mampu dibanding yang lain.
Amarullah senada dengan pendapat demikian. Ia menyatakan bahwa kemampuan seperti ini sebenarnya sudah built-in dalam diri setiap orang. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai kemampuan ini. Hanya saja, tidak setiap orang bisa menggunakannya.
Kebanyakan orang setidaknya dalam kehidupannya pasti mengalami pengalaman dengan ESP ini. Dalam sebuah survei yang dilakukan tahun 1987 oleh University of Chicago's National Opinion Research Council, menyebutkan bahwa 67 persen dari seluruh orang dewasa Amerika percaya bahwa mereka mengalami ESP. Sebelas tahun sebelumnya, hanya 58 persen yang menyebutkan demikian. Ini artinya, sebagian besar masyarakat, khususnya di Amerika setidaknya mengalami peningkatan dalam menerima adanya ESP. Sementara di Indonesia, kita selalu tidak tahu pasti, bagaimana situasinya. Kita hanya punya anggapan bahwa kebanyakan orang Indonesia juga mengalami ESP atau setidaknya percaya dengan ESP.
Kalau kita semua memiliki ESP, bagaimana cara mengembangkan dan memunculkannya agar bisa digunakan? Amarullah menyebutkan bahwa orang perlu meningkatkan kesadaran diri terhadap alam, mengenali kekuatan fisik dan potensi-potensi dirinya, melakukan latihan yang teratur dengan metode yang benar serta meningkatkan keyakinan diri dan jangan mudah putus asa.
Seorang praktisi cenayang yang juga astrolog profesionald dari Amerika Serikat, William W. Hewitt, menyebutkan pengembangan indera keenam justru diawali dengan mengoptimalkan pengembangan kelima indera lainnya.
“Dari waktu ke waktu, kelima indera kita digunakan oleh indera keenam sebagai pelengkap dalam memanfaatkan kemampuan mentalnya. Sementara binatang tidak perlu melakukan latihan karena gelombang pikiran mereka setara dengan bawah sadar manusia,” jelas Hewitt.
Misalnya kita ingin membuat peka penglihatan. Lakukan latihan di malam hari, tanpa lampu menyala. Tengok sekeliling Anda dan kenali bentuk yang Anda lihat. Lakukan dimana pun Anda berada.
Saat mengenalinya, katakan dalam batin dengan suara keras “Ternyata seperti ini bentuk (sebut nama sesuatu) di kegelapan. Aku telah membuat penglihatanku semakinpeka untuk mengenali berbagai benda di kegelapan dan di bawah cahaya apa pun secara akurat.”
Hal yang sama lakukan juga saat siang hari, lalu ulangi kata-kata tadi. Setelah itu katakan pada diri sendiri “Aku memerintahkan pikiran bawah sadarku agar selalu mengingatkanku mengenai segala sesuatu yang perlu kulihat demi kepentinganku dan perlindungan bagi diriku. Dengan demikian, aku dapat berfungsi dengan kapasitas cenayangku secara penuh.” Inilah salah satu latihan. Anda bisa memekakan indera-indera lainnya dengan cara-cara yang mirip.
Sejak Para Nabi
Istilah ESP atau extra sensory perception digunakan pertama kali tahun 1870 oleh Sir Richard Burton. Peneliti dari Perancis, Dr. Paul Joire, di tahun 1892 kemudian menggunakan istilah ESP untuk menggambarkan kemampuan seseorang yang dihipnosis atau berada dalam keadaan status trance untuk merasakan hal-hal di luar dirinya tanpa menggunakan indera yang biasa digunakan.
Bagaimanapun, fenomena aktivitas ESP sudah diketahui sejak lama. Bahkan beberapa kalangan menyebutnya sejak jaman para nabi. Meski fenomena ini sulit dijelaskan, sepanjang sejarah terbukti menarik keingintahuan banyak orang.
Di tahun 1920-an seorang ahli mata dari Munich, Jerman, Dr. Rudolph Tischner, menggunakan ESP untuk menggambarkan “eksternalisasi perasaan”. Lalu di tahun 1930, ahli parapsikologi Amerika, J. B. Rhine memasukkan fenomena mirip cenayang sebagai bagian dari fungsi sensoris dan memopulerkan istilah ini. Rhine adalah ahli parapsikologi pertama yang menguji fenomena ESP di laboratorium.
Penelitian sistematis ESP pertama dilakukan di tahun 1882, saat The Society for Psychical Research dibentuk di London. Berbagai jurnal diterbitkan di Amerika Serikat dan Belanda. Segera setelah itu, negara-negara lain membuat laporan yang sama.
Bagaimanapun, penelitian-penelitian yang pertama mengenai ESP ini memang uji coba yang sangat jarang dilakukan. Penelitian ini biasanya didasarkan pada pengalaman spontan di suatu tempat. Banyak orang yang diteliti mengklaim dirinya ‘sensitif’ atau psychic.
Jarang, mereka diteliti dalam kondisi yang mirip laboratorium. Para peneliti, waktu itu menjalankan uji coba seperti seorang pengacara. Subyek yang diteliti dibombadir dengan pertanyaan-pertanyaan.
Eksperimen Rhine
Penelitian atas ESP yang cukup ilmiah pertama kali di lakukan oleh Dr. Joseph Banks Rhine dari Duke University tahun 1930. Penelitian ini disebut dengan “menebak kartu”.
Kartu-kartu ini berisi lima desain, yang sekarang disebut sebagai symbol-simbol ESP, sebuah kotak, lingkaran, tanda plus, lima bintang dan serangkaian garis berjumlah tiga bergelombang. Symbol-simbol ini dicetak dengan tinta hitam, mirip kartu yang biasa kita gunakan untuk bermain.
Dalam eksperimen klasik Rhine atas ESP ini, subyek diminta menduga atau menyebutkan kelima symbol ini saat diacak dalam sebuah dek berisi 25 kartu ESP dan diambil satu per satu.
Kemungkinan tepat menyebutkan kartu yang diambil adalah satu untuk dari kelima kartu. Karena itu, sangat mungkin menghitung seberapa sering skor tertentu terjadi berdasar kesempatan menebak yang dilakukan. Argumen Rhine adalah, ketika subyek membuat skor tinggi seperti yang diharapkan dengan kesempatan hanya sekali dalam ribuan tebakan atau sekali dalam sejuta tebakan, itu artinya menunjukkan bahwa ESP bekerja. Dan memang ada.