Saya mau tamasya
Berkeliling keliling kota
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
Kereta tak berkuda
Becak, becak, coba bawa saya
Saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki
Melihat dengan asyik
Ke kanan dan ke kiri
Lihat becakku lari
Bagaikan tak berhenti
Becak, becak, jalan hati-hati
Saya pun jadi teringat dengan kota kelahiran saya, Medan, di kota itu becak masih berseliweran di jalan-jalan raya. Bahkan becak di Medan dimodifikasi dengan sepeda motor, namanya pun jadi "bentor/betor" atau sering juga disebut "becak mesin".
Ketika saya masih di Medan, becak-becak di jalan raya sudah menjadi pemandangan yang kerap saya lihat, bahkan hingga kini. Jalan yang semrawut oleh lalu lalang becak sudah biasa, jalan raya pun jadi lebih berwarna meski buat hati dongkol.
Becak dan kendaraan lain kerap bersinggungan di jalan raya, tumpang tindih tak karuan, apalagi di jam-jam sibuk, pagi hari dan sore hari, semuanya tumplek blek di jalan raya. Bagi orang Medan, pemandangan demikian sudah biasa dilihat, mau ngomel pun sudah tak berguna. Jargon "Ini Medan Bung" makin menempel di kota ke-3 terbesar di Indonesia itu. Jadi, kalau ke Medan, sabar-sabarlah ketika lagi di jalan raya, nikmatin saja kekhasan Medan itu.
Becak di Medan pun tak mau kalah juga dengan ojek yang sudah berbasis online seperti GoJek, becak Medan punya aplikasi sendiri yang bernama "GoCak" asli karya anak Medan, yang buat aplikasinya bernama Thomas E. Bangun.
Kalau mau pesan becak bermotor bisa lewat aplikasi berbasis android ini. Prinsip kerjanya sama dengan GoJek. GoCak menyediakan layanan pesan Becak Motor melalui aplikasi handphone. Layanan GoCak pun akan segera menawarkan servis lain yakni delivery, semacam kurir ataupun layanan antar dokumen. Untuk saat ini layanan GoCak hanya beroperasi di Kota Medan dan sekitarnya.
Becak di Medan suka mangkal di pertigaan jalan menuju rumah saya dan di depan jalan-jalan lainnya. Di situ biasanya mereka menunggu penumpang yang baru turun dari angkot. Becak di pertigaan jalan itu bukan becak bermotor atau bentor tapi becak tanpa mesin yang dikayuh orang atau penarik becak.
Otot kaki mereka kuat-kuat, karena terbiasa mengayuh, makin banyak penumpangnya, makin kuat dan berat kayuhan mereka. Kalau dipikir memang tak manusiawi juga, apalagi tenaga mereka hanya dihargai beberapa perak rupiah, yang cuma bisa beli rokok setengah bungkus. Jadi, kalau niatnya becak dijadikan sebagai pembuka lapangan kerja tentu sangat tak tepat. Becak juga suka mangkal di pasar, mal atau plaza, dan tempat keramaian lainnya, jadi terlihat semrawut.
Setelah bertahun-tahun meninggalkan Medan, saya pun jadi merindukan becak di Medan. Kalau pulang ke Medan, saya pasti menyempatkan diri naik becak. Keliling Kota Medan naik bentor lebih mengasyikkan daripada naik angkot atau taksi. Harganya pun lebih bersahabat, pintar-pintar kita nawar ke abang becaknya. Kalau tak pande nawar kata orang Medan, bisa ketipu lah awak.
Becak di Medan sudah menjadi kekhasan sendiri bagi kota itu, bahkan sudah menjadi bagian dari industri pariwisata. Turis-turis asing kalau ke Medan pasti suka naik becak sambil foto-foto.
Mereka bisa pamer ke negaranya masing-masing. Medan tak bisa dibandingkan dengan Jakarta, ibukota negara. Sebagai ibukota, Jakarta harus terlihat metropolis dan rapi seperti ibukota negara-negara lainnya, transportasinya harus modern dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat seperti di Singapore, Bangkok, dan Kuala Lumpur. Becak di Jakarta bisa beroperasi di tempat-tempat wisata seperti di Melaka - Malaysia.
Becak di Jakarta bisa beroperasi secara terbatas tanpa harus menjajal jalan raya, bisa beroperasi di kampung-kampung seperti yang diinginkan sang gubernur. Namun jumlahnya pun perlu dibatasi agar tak mengganggu jalan masuk ke kampung tersebut.
Biasanya yang jadi masalah adalah tempat mangkal mereka. Para penarik becak tentu akan menunggu di depan gang atau komplek perumahan. Kalau tak diatur malah akan mengganggu kenyamanan pengguna jalan dan kendaraan lainnya.
Pasar pun akan menjadi target utama para penarik becak untuk mencari penumpang, karena di tempat itulah yang banyak calon penumpangnya. Becak yang mangkal di pasar tentu sangat mengganggu, lalu lintas pun jadi macet.
Apakah itu sudah dipikirkan oleh Pak Gubernur? Dan jangan sampai profesi penarik becak menjadi daya tarik orang di daerah untuk kembali ke ibukota. Kalau niatnya untuk membuka lapangan kerja, kenapa para penarik becak tak diarahkan untuk membuka usaha sendiri, beri mereka pinjaman modal dengan bunga ringan atau tanpa bunga, atau mereka dilatih menjadi supir busway atau Trans Jakarta yang sangat dibutuhkan.
Pendapat para pemangku kepentingan pun perlu didengar, terutama pakar transportasi, kajian juga perlu dilakukan, apakah banyak untungnya atau ruginya kalau becak beroperasi kembali. Penguasa dahulu melarang becak masuk ibukota tentu ada alasannya juga. Jangan sampai kebijakan yang dianggap populis ini malah membuat Jakarta jadi mundur ke belakang. Ini bukan Medan Bung!