Kota Vienna (Wien) atau Wina di Austria dapat disebut sebagai kota yang sangat menghargai arti sebuah sejarah. Terutama sejarah tentang perkembangan kota itu hingga menjadi seperti sekarang. Salah satu upaya untuk memperkenalkan sejarah kota itu pada generasi selanjutnya, pihak penguasa setempat tetap mempertahankan dan merawat bangunan-bangunan lama yang menjadi penanda sejarah perkembangan kota tersebut, seperti istana Hofburg, istana Schonnbrunn, Wiener Staatsoper, Weihnachten, Vienna's Parliament, Vienna City Hall, dan sebagainya. Dari bangunan-bangunan kuno inilah tertulis sejarah kota itu, dan menjadi saksi bisu berkembangnya kota tersebut menjadi kota yang sangat modern seperti sekarang. Kawasan kota tua di Wina terdapat di sekitar
Stephansdom atau
Gereja Katedral St. Stephen. Di kawasan itu banyak ditemukan bangunan-bangunan kuno. Stephansdom dapat juga disebut sebagai titik nol atau poros tempat kota Wina didirikan. Di gereja tua itulah yang dijadikan sebagai titik atau tempat untuk mengukur jarak dari dan menuju Wina. Menelusuri kawasan kota tua di Wina membuat kita terpana kalau sejak awal berdirinya, kota itu memang sudah dirancang sedemikian rupa. Uniknya, perpaduan antara kawasan kota tua yang artistik dan kawasan kota modern yang futuristik bisa bersatu padu tanpa meninggalkan kesemrawutan. Menurut
travel guide yang setia menemani kami selama tour keliling kota itu, pihak penguasa setempat punya aturan sendiri untuk mempertahankan kawasan kota tua di Wina tanpa harus membelenggu perkembangan kawasan kota yang lebih modern. Caranya, pihak penguasa setempat mensyaratkan bagi para pengembang untuk tetap mengikuti arsitektur bangunan kuno apabila bangunan yang mereka bangun itu berdempetan atau berhimpitan dengan bangunan yang lama atau kuno tersebut. Hal itu dimaksudkan agar bangunan baru tak menghilangkan kekhasan dari banguan kuno yang punya nilai sejarah. Di luar itu, mereka bebas membangun dengan gaya arsitektur yang lebih modern. Tak heran kalau kawasan kota tua dan modern di kota Wina bisa hidup berdampingan tanpa harus membinasakan bangunan-bangunan kuno yang bernilai sejarah tadi. Bagaimana dengan Jakarta? Daerah Pelabuhan Sunda Kelapa hingga kawasan Kota di Jakarta dapat disebut sebagai kawasan kota tuanya ibukota Republik Indonesia itu. Bangunan-bangunan lama banyak mendominasi kawasan tersebut. Museum Fatahillah, Pasar Ikan Jakarta Barat dan Jakarta Utara, Hotel Batavia, Glodok, Trotoar Kali Besar, dan Jembatan Gantung Kota Intan merupakan tempat-tempat yang menjadi bagian kawasan kota tua di Jakarta. Di kawasan itulah pertama kali terjadinya perkembangan daerah urban hingga menjadi seperti sekarang. Seperti halnya daerah-daerah kepulauan lainnya, perkembangan kota selalu dimulai di daerah pinggiran pantai atau pesisir, karena tempat-tempat itulah yang paling mudah dijangkau oleh para pendatang dari pulau dan benua lain. Dan untuk pertama kalinya, mereka pun berlabuh di kawasan pesisir tersebut. Demikian pula dengan Jakarta, di tempat itu pulalah para pendatang pertama kali bertemu dan berinteraksi dengan penduduk setempat atau penduduk lokal. Dari hasil interaksi tersebut, lambat laun bisnis perdagangan pun mulai dikenal dan berkembang, karena salah satu tujuan kedatangan para pelayar dari pulau dan benua lain ke tempat baru itu antara lain mencari kebutuhan pokok yang makin sulit ditemukan di tempat asal mereka. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mencarinya ke daerah lain. Untuk mempermudah perdagangan antarmereka, penduduk setempat dengan dibantu oleh para pendatang tadi membangun pelabuhan untuk mempermudah mereka dan para pelayar atau pendatang lain untuk bersandar di tempat itu. Lama-lama kawasan pelabuhan itu pun berkembang menjadi kota kecil, hingga akhirnya menjadi kota metropolitan. Itulah sebabnya kenapa kawasan kota tua Jakarta memiliki banyak bangunan kuno bernilai sejarah dan artistik. Sayangnya, pihak penguasa Jakarta tak mencontoh kebijakan penguasa di kota Wina. Di Jakarta, banyak bangunan kuno yang tak terawat dan digantikan dengan bangunan-bangunan yang lebih modern. Mereka membiarkan banyak bangunan kuno terbengkalai, tak terawat, hingga roboh dengan sendirinya. Bahkan hari Kamis kemarin (17/3/2011), bangunan bekas gedung West Java NV yang dibangun tahun 1912 itu roboh di beberapa bagian. Bermula dari atap yang ambrol, dinding penahan ikut roboh. Tak jauh dari gedung milik Jasindo itu, berdiri gedung Dasaat Musin Concorn yang telah roboh atapnya dan dindingnya keropos. Kondisi yang sama juga terjadi pada gedung Djakarta Lloyd, Cipta Niaga, Bank Artico, dan sejumlah gedung di sekitarnya (Kompas, 20/3/2011). Keadaan itu menjadi suatu ironi, kawasan kota tua di manapun berada selalu menarik para turis asing untuk berkunjung, dan itu berarti mendatangkan fulus, alias duit, alias rupiah, yang ujung-ujungnya akan mendatangkan visa bagi negara yang bersangkutan. Melalui kawasan itulah para turis dan warganya bisa belajar tentang sejarah dan memahami kota itu. Nyatanya, pihak penguasa tak berpikir ke arah itu. Mereka seperti membiarkan kehancuran kota tua itu secara perlahan-lahan (namun pasti). Dan itu sudah mulai terbukti. Datanglah ke kawasan kota tua Jakarta, lihatlah apa yang terjadi di sana, cuma kesemrawutan yang didapat. Dan jangan harap bisa mendapatkan kenyamanan, seperti yang pernah saya dapatkan saat berkunjung ke Wina.
Bless You.
Sumber gambar: flickr.com (All rights reserved by G.Pfi)
KEMBALI KE ARTIKEL