Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

The Kids are All Right, Dilema Anak-anak dalam Keluarga Lesbi

27 Januari 2011   01:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09 2241 1

Semua anak dilahirkan tak berdosa. Saat lahir,  semua anak juga tak bisa memilih kehidupan yang mereka inginkan. Mereka juga tak bisa memilih siapa orang tua yang akan merawat mereka. Semua diatur oleh yang namanya takdir dan keberuntungan. Andai mereka hidup di tengah keluarga tak normal dalam pandangan masyarakat umum, itulah takdir dan keberuntungan yang harus mereka terima. Mereka tak bisa menolaknya, apalagi menghindarinya. Bersyukurlah anak-anak yang ditakdirkan hidup di tengah keluarga yang serba ideal dan berkecukupan. Takdir membuat dunia jadi beraneka ragam dan bervariasi. Jadi, tak salah kalau kisah anak-anak yang hidup dalam keluarga tak normal tersebut diberi judul  “The Kids are All Right”, pada dasarnya semua anak-anak itu baik.

Film yang disutradarai oleh Lisa Cholodenko ini pun menjadi kisah tak biasa  dan unik. Ceritanya tentang sepasang remaja Joni (diperankan Mia Wasikowska) dan Laser (diperankan Josh Hutcherson) yang dilahirkan oleh pasangan lesbian Nic dan Jules, yang diperankan dengan sukses oleh Annette Bening dan Julianne Moore. Nic merupakan ibu biologisnya Joni, dan Jules adalah ibu biologisnya Laser. Mereka berasal dari benih seorang lelaki yang sama, yang mereka dapatkan dari sebuah bank sprema.

Saat menginjak remaja, Joni dan Laser tak merasa risih kalau ibu mereka merupakan pasangan lesbian, bahkan mereka sangat memahami kehidupan yang dijalankan oleh ibu-ibu mereka tersebut. Mereka bisa hidup secara normal, layaknya keluarga-keluarga yang dianggap normal lainnya. Nic dan Jules pun mampu menjalankan peran ganda mereka, sebagai ibu sekaligus sebagai seorang ayah juga. Di hadapan teman-teman  mereka pun, Laser dan Joni tak malu menunjukkan kehidupan keluarganya tersebut.

Meski kehidupan mereka disusun seideal mungkin, namun anak-anak Nic dan Jules tetaplah anak-anak, yang merindukan sosok seorang ayah. Paling tidak bisa mengenal sosoknya. Joni pun mencari tahu siapa ayah mereka sebenarnya. Dia mencari dokumen yang menjelaskan  tentang sosok ayah yang seharusnya mereka miliki.  Saat dokumen tersebut ditemukan, Joni langsung mencari tahu keberadaan ayah mereka. Usaha pencarian lewat bank sperma tempat benih ayah mereka disimpan langsung menemukan hasil. Melalui  mediasi bank, ayah mereka, Paul - yang diperankan oleh Mark Ruffalo bersedia dikontak oleh Joni.

Joni dan Laser merasa gugup di awal pertemuan dengan ayah mereka. Demikian pula dengan sang ayah,  yang tak percaya kalau benih yang pernah dia jual pada bank sperma beberapa tahun yang lalu itu bisa menjadi sepasang remaja yang cantik dan tampan. Namun kegugupan itu tak berlangsung lama. Joni dan Laser menjadi sahabat baik Paul meski mereka tak memanggil Paul dengan sebutan “ayah”. Kedekatan dengan sang ayah tersebut akhirnya diberitahu pada ibu-ibu mereka. Nic yang paling menentang kedekatan itu, karena dia menganggap bahwa Jules dan dia masih mampu menjadi orang tua yang baik, dan itu sudah cukup. Cuma Jules yang tak bersikap seperti itu. Walau akhirnya Nic mau menerima Paul, ayah kandung Laser dan Joni, namun tak seratus persen menerimanya.

Jules pun makin lama makin dekat dengan Paul hingga membuat mereka berselingkuh. Perselingkuhan itu pun akhirnya diketahui Nic dan anak-anaknya. Hubungan Nic dan Jules pun renggang. Nic merasa dikhianati, demikian pula anak-anaknya. Seharusnya, Joni dan Laser bahagia kalau Jules, salah seorang ibu mereka itu selingkuh dengan lelaki yang sebenarnya ayah kandung mereka sendiri. Kebalikannya, Joni dan Laser malah berubah membenci Paul karena dianggap menyakiti dan merusak hubungan mesra ibu-ibu mereka. Gara-gara Paul juga keharmonisan keluarga mereka terganggu dan ini tak membuat nyaman Joni dan Laser. Akhirnya, Joni dan Laser tak bersedia lagi berhubungan dengan Paul, ayah mereka. Paul yang terlanjur menyayangi Joni dan Laser harus menelan kekecewaan akibat perbuatannya sendiri.

Dalam dunia nyata, kisah “The Kids are All Right” tentu dianggap absurd. Namun, lewat penggambaran visual di film, kehidupan pasangan lesbian itu sama idealnya dengan pasangan yang (dianggap) normal lainnya. Anak-anak yang hidup bersama mereka seolah-olah tak memerlukan sosok seorang ayah. Padahal sosok ayah ini dalam sebuah keluarga yang ideal tentu sangatlah dibutuhkan perannya. Agaknya film ini ingin menepis anggapan yang ideal tersebut, bahwa sosok ayah itu memang tak terlalu diperlukan. Paham feminisme dalam konteks lesbian tersebut telah menghilangkan peran laki-laki dalam kehidupan mereka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun