Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dolly Tak Berhenti Mendesah

19 Juni 2014   07:22 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:10 126 0
Hari ini, 18 Juni 2014, Gang Dolly resmi ditutup. Apa istimewanya gang itu hingga penutupannya sampai bikin heboh, mungkin pertanyaan ini yang tercetus di benak orang-orang yang tak kenal dengan Dolly. Saya sendiri mengenal Dolly sejak SMA ketika tanpa sengaja nemu artikel tentang gang itu di sebuah majalah. Waktu itu, darah muda saya mendidih gara-gara baca artikel itu, membayangkan perempuan-perempuan di situ tanpa busana, berkeliaran di sepanjang jalan. Khayalan tingkat tinggi ini pun sampai ke tempat tidur segala hingga terbawa mimpi, dan akhirnya ... (bayangkan sendiri saja).

Kesan pertama tentang Dolly tak pupus begitu saja, dia nempel terus di benak kayak perangko. Bayangan dan khayalan tentang Dolly selalu memenuhi otak saya, bahkan ada hasrat untuk berkunjung ke Gang itu suatu saat nanti. Itulah keinginan saya pasca membaca artikel tentang Dolly di majalah tadi.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, belasan tahun kemudian, ketika ke Surabaya pertama kali untuk urusan kerja, saya mengunjungi Dolly. Memang itulah niat saya kalau ada kesempatan ke Surabaya, tempat yang ingin saya datangi adalah Dolly, lainnya tidak.  Namun suasana hati dan pikiran saya sudah berbeda atau berubah, hasrat yang dulu menggebu tak lagi ada, hanya rasa penasaran yang masih menghantui, hanya rasa ingin tahu yang ingin disalurkan. Saya hanya ingin tahu wajah Dolly yang sebenarnya, apakah sama dengan isi artikel yang pernah saya baca belasan tahun yang lalu itu atau tidak.

Kata rekan kerja saya, waktu yang tepat berkunjung ke Dolly adalah malam hari. Kalau pagi atau siang hari, kawasan Dolly seperti permukiman biasa. Namun, bila malam hari, Dolly akan menunjukkan wajah aslinya. Wajah asli Dolly mulai tampak ketika matahari mulai meredup di ufuk. Seperti halnya safari malam di Taman Safari, tentu hewan-hewan buas yang akan ditemui. Demikian pula dengan Dolly, hal-hal tak biasa akan ditemukan pada malam hari.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09 malam ketika mobil kijang yang saya tumpangi bersama beberapa rekan kerja memasuki kawasan Dolly. Bayangan saya dulu, Dolly itu seperti gang kelinci yang sempit, namun nyatanya tidak, Gang Dolly seperti jalan raya biasa yang ramai, tak berbedalah dengan Jalan Kemang Raya atau Melawai di Jakarta, cuma lebih sempit sedikit saja. Banyak cafe dan tempat kongkow di situ, warung-warung penjual minuman, jamu kuat, dan kondom pun terpampang jelas tanpa malu-malu.

Sepanjang jalan ramai anak-anak dan pemuda. Saya pun tak tahu, anak-anak siapa itu. Saya pikir, yang namanya kawasan prostitusi seperti Dolly pasti tak ada  anak-anak yang berkeliaran di sepanjang jalan, yang ada hanya kaum dewasa yang sedang memadu kasih. Pikiran saya itu meleset, Gang Dolly malah menjadi tempat bermain banyak anak-anak.

Para remaja atau anak mudanya juga banyak yang nongkrong di sepanjang jalan di Gang Dolly, malah di antara mereka ada yang menjadi mucikari. Entah berapa tip yang bakal mereka terima bila berhasil menggaet pelanggan. Ketika mobil kami mendekati mereka, mereka memberikan semacam kode untuk mampir ke suatu tempat. Kode dan tawaran mereka tak digubris, karena niatnya ke Dolly memang bukan untuk "gituan" (percaya atau tidak terserah hehe .... ).

Ada satu hal yang buat saya kaget dan tak menyangka ketika berada di Gang Dolly. Di beberapa rumah, pada bagian depannya dibuat seperti etalase toko, ruang tamu dibuat transparan hingga bisa dilihat secara jelas dari arah jalan. Perempuan-perempuan cantik, sexy, bertubuh semampai, putih mulus, dan berbokong montok sedang bercengkerama di tempat seperti etalase itu. Mereka duduk-duduk sambil sesekali menatap ke arah jalan. Busana yang mereka pakai pun bisa buat air liur lelaki normal meleleh, lekuk tubuh dan paha mulus mereka jelas terlihat.

Perempuan-perempuan yang menjajakan tubuhnya di Gang Dolly jadi seperti barang komoditas, yang hanya dipakai sekali atau berkali-kali kalau tak bosan, setelahnya dibuang atau dilupakan. Mungkin di antara mereka ada yang menjalin cinta, ini terbukti dari banyaknya anak-anak di kawasan tersebut. Dulunya mereka memadu kasih, saling jatuh cinta, menikah, dan lahirlah sang buah hati. Tapi mereka tetap tinggal di Gang Dolly karena profesi melacur menjadi bagian dari pekerjaan dan tuntutan hidup. Bahkan sang suami mungkin menjadi mucikari atau germonya sang istri. Mereka bisa mendapatkan uang yang cukup melalui bisnis esek-esek tersebut, yang tak mereka dapatkan di luar Dolly.

Gang Dolly memang luas, di sepanjang jalan masih terdapat gang-gang sempit lainnya, yang dipenuhi oleh pemukiman penduduk. Barangkali, di antara mereka juga ada yang tak berprofesi sebagai pelacur, mucikari, atau germo. Mungkin ada pekerja kantoran biasa, pedagang, dan lain sebagainya. Namun mereka tetap kena imbasnya, orang-orang luar yang berkunjung ke Dolly seperti saya akan selalu beranggapan kalau penduduk Dolly semuanya begitu, padahal belum tentu juga.

Akhirnya, hari ini, tanggal 18 seperti yang dijanjikan oleh Bu Risma, Walikota Surabaya, Gang Dolly pun ditutup. Saya bisa memaklumi keputusan tersebut. Saya sendiri melihat, yang namanya perdagangan manusia secara nyata, tak kasat mata, jelas terlihat di Dolly. Anak-anak dan remaja yang tumbuh dan bergaul di Dolly tentu akan mendapat pengaruh yang tak baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Anak-anak itu tak punya pilihan, karena orang tua mereka berdiam di situ.

Bagi sebagian orang, penutupan Dolly merupakan pelanggaran HAM karena memutus mata rantai penghasilan atau rezeki mereka yang tak bisa disediakan oleh penguasa atau pemerintah. Kalau pun mereka diberi pekerjaan pasca penutupan Dolly, tentu mereka juga bakal mikir dua kali, karena penghasilan yang mereka dapatkan di Dolly bisa melebihi gaji seorang manajer di perusahaan bonafid. Itulah sebabnya, mereka mati-matian menolak penutupan Dolly meski pemda Surabaya akan memberi mereka pekerjaan.

Namun, ada efek lain yang tak dipertimbangkan pasca penutupan Dolly, yaitu penyebaran HIV-AIDS dan penyakit kelamin lainnya menjadi tak terlokalisir dan bakal tak terkendali. Bahkan dampaknya menjadi lebih besar lagi. Para pekerja sex itu tentu akan menyebar mencari lahan baru buat profesi mereka. Seperti efek bola salju, bila tak dilokalisir, suatu saat jumlah penderita HIV-AIDS akan membumbung tinggi tak terkendali, dan itu akan menjadi hal yang mengejutkan di masa depan. Biar bagaimanapun, bisnis prostitusi tak akan pernah padam, sepanjang hasrat seksualitas manusia dikandung badan, kecuali kalau manusia-manusia itu dikebiri. Bisnis prostitusi tak ada matinya, dia sama tuanya dengan peradaban dunia.

Walau Dolly ditutup dan dibungkam, Dolly tak berhenti mendesah. Desahannya bakal berpindah tempat.  Alumni-alumni Dolly bakal mencari tempat baru, yang bisa menerima mereka. Kalau sudah begitu, desahan Dolly sayup-sayup masih terdengar, dari kejauhan, dibawa oleh angin, uuuh ... aaahhh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun