Di era modern yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan inklusivitas, diskriminasi dalam bentuk apa pun tetap menjadi masalah yang serius di berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kerja. Salah satu bentuk diskriminasi yang sering terjadi adalah penggunaan frasa "berpenampilan menarik" sebagai syarat dalam lowongan pekerjaan. Meskipun tampak sepele, syarat ini dapat memunculkan diskriminasi yang tidak disadari. Pekerja dinilai berdasarkan penampilan fisik mereka, bukan berdasarkan keterampilan atau kualifikasi mereka. Hal ini dapat menghalangi individu yang sebenarnya sangat kompeten namun tidak memenuhi standar penampilan tertentu. Selain itu, syarat berpenampilan menarik dapat mempersempit peluang kerja bagi banyak orang. Individu yang tidak sesuai dengan standar kecantikan tertentu mungkin tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun mereka memiliki kemampuan dan pengalaman yang memadai. Mengharuskan penampilan menarik juga dapat menguatkan stereotip negatif terkait kecantikan dan nilai seseorang. Misalnya, hal ini dapat menegaskan anggapan bahwa penampilan lebih penting daripada kompetensi atau bahwa kecantikan tertentu lebih bernilai daripada keberagaman penampilan. Syarat semacam ini sering kali mengeksploitasi pekerja, terutama perempuan, dengan menekankan penampilan sebagai aspek penting dalam pekerjaan. Hal ini dapat menyebabkan tekanan berlebihan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Penggunaan syarat "berpenampilan menarik" dalam rekrutmen pekerjaan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap prinsip kesetaraan dan inklusivitas. Praktik ini tidak hanya merugikan individu secara pribadi, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang kurang adil dan tidak inklusif. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk menilai kembali kriteria rekrutmen mereka dan memastikan bahwa mereka memprioritaskan kualifikasi dan kompetensi di atas penampilan fisik.
KEMBALI KE ARTIKEL