Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kenapa Ibumu Kau Jadikan "Pembantu"?

29 November 2013   15:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:31 435 3

Air matanya berderai-derai menerakan kisahnya. Ia tak habis nalar, kenapa anak dan menantunya kerapkali bersekutu menihilkan bantuanya itu.

Untuk kesekian kali, ia menangis. Perempuan senja itu.  Ia mengaduh. Ia merintih ihwal dirinya yang serupa anak hilang; kepada siapa harus mengadu, kepada apa ia harus menumpahkan senarai pilunya. Hidup bersama seorang anak dan menantu kerapkali menjadikanya tak ubahnya pembantu. Ya, pembantu; bangun begitu dini dan tetirah begitu larut. Rutin. Selalu demikian setiap hari.

Malam itu, kepada tetangganya, ia menjabarkan posisinya: mencuci pakaian dan menggosoknya, menanak nasi dan memasak lauk-lauknya, menyeka lantai setiap pagi, menyiapkan sarapan untuk ketiga cucunya yang akan ke sekolah, dan sejumlah tugas domestik lainya. Air matanya berderai-derai menerakan kisahnya. Ia tak habis nalar, kenapa anak dan menantunya kerapkali bersekutu menihilkan bantuanya itu. Ia merasa tidak dihargai. Ia merasa gagal menjadi ibu. Dan tiba-tiba ia ingin sekali menyusul suaminya yang sudah pulang ke pelukan Ilahi terlebih dahulu.

Sejatinya, ia melapangkan hati untuk semua pekerjaan itu. Bukankah ia melakukannya demi kebaikan anak dan cucunya sendiri? Mereka bukan orang lain, darah dagingnya sendiri. Tapi, ia manusia. Dan manusia butuh harkat dan martabat sebagi stempel jiwanya. Hanya itu. Bukan yang lain. Ia memaklumi bahwa anak dan menantunya itu bekerja; namun, bukankah ia juga bekerja untuk urusan rumah tangga, untuk mengatur agar dapur rumah tetap ngebul, agar lantai rumah tampak berkilau, agar cucu-cucunya terurus? Dan semuanya terasa menyesak di dada saat ia dianggap sekadar benalu yang tidak dihargai.

Ah, sudahlah, Pembaca. Bukan lokusnya melengkapi kisah perempuan senja itu di kolom sederhana ini. Tapi, hikayat perempuan senja itu nyata dalam keseharian kita. Ia, yang saya kisahkan ini, pun orang yang tidak jauh dari rumah saya.  Demi menjaga marwah, saya sengaja menyamarkanya. Selain perempuan tua itu--sepengetahuan saya-- betapa banyak orangtua, wabil khusus ibu,  menjadi “pembantu” untuk anaknya yang sudah berkeluarga. Alih-alih dirawat dan dimuliakan, ia malah “difungsikan”  serupa buruh selepas ia menjanda; hidup seolah sebatang kara ketika sang suami menjemput maut lebih dahulu. Naudzubillah min dzalik. Semoaga saya dan Anda bukan salah satunya.

Dan saya mendadak terkenang-kenang petuah Rasulullah yang satu ini: “Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga seorang anak menjadi sebab kemarahan [bagi ibu-bapaknya]….anak-anak berani melawan ibu-bapaknya.” [HR. Thabrani].  Apakah Hari Akhir itu memang sudah di pelupuk mata atau masih jauh dalam hitungan kalender kita? Wallahu’alam. Itu rahasia-Nya. Bukan domain kita, para hamba-Nya yang agaknya belum pernah siap menyambutnya. Tapi nujum Rasulullah  itu menegaskan hal penting: betapa  banyak orangtua [terutama ibu] yang menyimpan luka akut karena laku anaknya. Betapa banyak jejak beritanya menghiasi media massa tentang kasusnya. Begitu bejibun kabarnya yang telah memenuhi kepala kita, dan kita acapkali tidak menjadikannya sebagai guru kehidupan. Tidakkah sejumlah firman Allah, juga hadits Nabi,  sedemikian sering disinggung terkait penghormatan dan penghargaan kepada orangtua? Atau barangkali kalbu kita telah sedemikian berkarat hingga tak mampu menangkap pesan-pesan suci itu?  Wallahu’alam bilshawab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun