"Guru2mu rapat lagi ya? Kalo laper kamu makan di luar saja ya, tuh ambil duitnya di dompet mama di atas meja!" Sahut mama begitu mendengar suara pintu kamar yang aku buka.
Ya, aku memang sudah terbiasa dengan tingkah laku kedua orang tuaku dan 'kesibukan' mereka. Aku cukup tahu diri dengan tidak merepotkan mereka dengan segala urusan kesekolahanku. Mereka cukup tahu menyediakan uang, aku dapat mengatur kehidupanku sendiri dan nilai2 raporku cukup bagus sehingga mereka pikir aku tidak butuh apa-apa lagi.
"Ya Ma, aku bisa makan sendiri kok nanti, Mama mau nitip apa ga?" Balasku sambil berlari ke pintu depan.
"Ga usah, paling kalau ketemu tukang bakso ke depan minta tolong si abang anterin aja ke rumah ya!"
"Oke Ma!
Setelah menutup pintu, aku segera berlari ke seberang jalan di depan rumah, menuju warnet langgananku. Untunglah aku pulang cepat hari ini, jadi masih ada tempat kosong. Biasanya di jam anak pulang sekolah warnet ini selalu ramai sesak oleh anak-anak.
Segera setelah mendapatkan tempat, computer kunyalakan dan aku siap berselancar di Kompasiana.
Ya Kompasiana, walaupun aku baru 15 tahun, aku telah mengenal Kompasiana sejak 2 tahun yang lalu, tepatnya ketika guruku mengenalkan situs ini kepada murid2nya. Aku begitu kagum saat itu dengan Kompasiana yang membuat siapa saja tanpa pandang umur dapat menulis dan dibaca banyak orang.
Sejak hampir 2 tahun yang lalu aku mulai rajin menulis di Kompasiana, tulisanku bermacam-macam, kebanyakan tulisan ringan dari kehidupan sehari-hari sampai masalah yang sedang hangat di media.
Waktu luangku yang banyak membuat aku cukup produktif dalam menulis, tidak jarang tulisanku dimuat di kolom headline maupun trending articles. Aku cukup pintar untuk berteman dengan banyak akun yang entah orang beneran ataupun kloningan sehingga memastikan agar artikelku setidaknya terbaca sedikitnya ratusan orang. Sejalan dengan waktu, akhirnya banyak akun yang meminta pertemanan sendiri dengan akunku.
Terus terang sebagai generasi muda yang melek internet aku tidak pernah mau memajang identitas asli di Kompasiana, takut kalau-kalau tulisanku menyinggung orang dan bias dituntut. Walaupun statusku terverifikasi di Kompasiana, tapi itu kudapat dari scan KTP orang lain yang kebetulan ada di warnet ini.
Segera kubuka dashboard Kompasiana, dan aku tersenyum melihat profil palsuku, "Pria mapan, ganteng, sayang istri dan anak." Demikian bunyinya, sengaja kupasang profil demikian karena itulah apa yang aku inginkan sebagai diriku saat aku dewasa nanti. Gambarnya pun sengaja kupilih gambar actor Hollywood yang disukai kawula muda dan tua, baik pria maupun wanita.
Sudah satu tahun belakangan ini aku tertarik dengan akun seorang kompasianer wanita yang dari tulisan-tulisannya terlihat bijaksana dan sungguh dewasa. Membaca artikel2nya tentang cara2nya mendidik anak dan juga cara2 bersikap sebagai seorang wanita benar2 suatu pengalaman baru bagiku dan membayangkan andaikata dia yang menjadi ibuku. Aku pun ikut berkomentar memuji di artikel2nya yang menjadi perhatianku, beliau pun membalas balik dengan cara yang elegan menurutku.
Lama-lama rasa ketertarikan ini berubah menjadi rasa penasaran, kalau memang dia sesempurna itu, tentunya tidak akan menghabiskan banyak waktunya di Kompasiana, tentunya lebih menghabiskan waktu dengan suaminya. Trus kenapa dia selalu membalas semua komentarku? Pasti dia juga ada rasa tertarik dengan profil palsuku.
Setelah banyak postinganku yang memuji-mujinya kumuat dan mendapat tanggapan positif (setidaknya tidak ditolak), aku makin yakin kalau dia juga ada hati padaku.
Ya, aku memang pengidap Oedipus complex, kasih saying yang tak kudapat dari orangtuaku membuatku mendambakan figure wanita yang lebih dewasa dan mapan dalam bersikap dan membawa diri. Apalagi tutur katanya di Kompasiana demikian memikat.
Pancinganku yang lain yaitu dengan membuat artikel-artikel 'dewasa' pun tidak mendapat tentangan, bahkan mendapat voting menarik ataupun inspiratif darinya. Gelegak darah mudaku semakin menggelora, membuat diriku semakin sering membayangkan di balik setiap voting dan komentarnya di artikel dewasaku, ada pengakuan kalau dirinya juga membutuhkan hal seperti itu dariku.
Bagiku, rangsangan yang kudapat dari saling berbalas komentar dan voting di Kompasiana sudah cukup membuatku berfantasi liar. Apalagi sesuai permintaanku, foto2 beliau pun sering berganti untuk memenuhi hasrat di usiaku yang masih muda ini.
Walau menurut pengakuannya dia sudah setengah baya, namun bagiku wajahnya lebih cantik daripada gadis2 teman sekelasku.
Hari sudah malam, tidak terasa sudah hampir seharian aku berada di warnet ini. Ayahku saat ini pasti sudah pulang kalo tidak sedang lembur, sebelum aku dicarinya aku pun menghabiskan teh botolku dan mematikan computer warnet, lalu bergegas berjalan pulang ke rumah (tentunya setelah membayar).
Warnetku yang tercinta