Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Jangan Remehkan Penyakit Mental!

17 Mei 2014   15:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 55 0
Ini semacam peringatan dimana ada banyak orang yang disalahkan karena memiliki penyakit mental. Penyakit mental yang dimaksud bukan cuma Schizophrenia, tapi juga ada Anorexia Nervosa, Depressi, Bulmia, dan sebagainya. Dan ini cukup menarik perhatianku karena aku juga dekat dengan orang-orang yang memiliki penyakit mental (walau nggak separah Skizo). Tapi, yang mau kubahas di sini bukanlah penyakitnya, tetapi kenyataan bahwa memiliki penyakit mental sering membuat seseorang malu atas dirinya sendiri. Akhirnya, banyak orang yang memiliki penyakit mental jadi nggak tertolong. Padahal, mereka yang memiliki penyakit mental memiliki hak yang sama untuk berobat seperti orang-orang yang terjangkit Flu atau Typhus. Penyakit mental juga membutuhkan seorang 'dokter', yaitu psikolog (therapist) atau bisa juga psikiater (psychiatrist). Salah satu contoh adalah teman kuliahku. Dia menderita Depressi dari SMA dan banyak tindak-tanduknya yang menarik perhatianku. Kadang dia suka bengong sendiri, kadang juga dia curhat kalau dia merasa nggak berharga atau semacamnya. Aku bilang padanya untuk pergi ke psikolog supaya bisa ditangani. Sayangnya, dia menolak karena mendapat reaksi negatif dari orang tuanya. Reaksi negatifnya kurang lebih kayak, "Ngapain ke psikolog? Emang kamu gila?". Mendengar hal itu, aku jadi prihatin. Kulihat, banyak orang Indonesia yang masih belum sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Penyakit mental masih sering dianggap remeh oleh (kebanyakan) keluarga Indonesia, sehingga banyak orang yang memendam masalah (tentang penyakit mental) mereka untuk dirinya sendiri. Ujung-ujungnya, mereka nggak tertolong. Ada yang nggak tertolong karena lari ke narkotika, ada yang melakukan tindak pidana, ada yang bunuh diri. Yang paling menderita adalah anaknya. Kenapa? Karena secara finansial mereka belum mampu untuk membiayai pengobatan mereka atau dalam kasus ini, konsultasi ke psikolog. Selain itu, mereka juga seharusnya masih berada di bawah pengawasan orang tua, dalam arti lain, apapun yang terjadi pada mereka adalah tanggung jawab orang tua mereka. Banyak anak yang sudah sadar dengan keadaan mental mereka. Sayangnya, masih banyak orang tua yang menganggap penyakit mental sebagai hal yang tabu untuk dibahas karena merasa malu untuk konsultasi ke psikolog. Kalau dari pengamatanku, masih banyak orang tua yang merasa malu karena merasa memiliki anggota keluarga yang pergi ke psikolog sama dengan gila, dan memiliki anggota keluarga yang gila dikategorikan sebagai aib. Nah, pemikiran inilah yang ingin kucegah. Pemikiran kalau 'ke psikolog berarti adalah orang gila' dan 'memiliki anggota keluarga yang memiliki penyakit mental sama dengan aib' harus dihentikan. Penyakit mental bukan hanya gila (Skizofrenia), dan nggak semua yang ke psikolog harus orang yang terkena Skizo. Pergi ke psikolog atau konsultasi ke psikolog sama seperti pergi ke dokter gigi atau konsultasi ke dokter umum. Kalau diibaratkan dengan mesin, pergi ke psikolog sama seperti perawatan mesin. Seperti yang sudah kubilang, penyakit mental bukan hanya Skizofrenia. Salah satu penyakit mental yang umum ditemui adalah Depressi. Dan apabila Depressi nggak segera ditangani, penderita bisa berujung bunuh diri. Sebenarnya, kalau yang kulihat, sistem konsultasi ke psikolog nggak jauh beda dengan curhat. Bedanya, psikolog adalah pekerja profesional. Jadi mereka nggak akan dibayar untuk bilang, "Yaah, sabar aja ya" atau "Kamunya begini-begitu-begini-begitu, sih. Makanya jadi Depressi". Mereka secara profesional akan menangani pasiennya dengan tindakan-tindakan yang didasari analisa dari 'curhatan' kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun