Buku bestseller yang dianugerahi sebagai karya nonfiksi terbaik versi IKAPI DKI Jakarta 2010 ini dibahas dua pakar sejarah, yaitu Dr.Sulasman, M.Hum dan Dr.Mumuh Muchsin Zakaria.
Ahmad Mansur Suryanegara selaku penulis buku Api Sejarah pun hadir tepat pada waktunya Lebih dari 100 peserta, baik itu mahasiswa maupun dosen serta umum memadati kursi Aula Al-Jamiah UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Diskusi buku yang digelar Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati bekejasama dengan Salamadani Publishing Grafindo Media Pratama, ini sangat dialogis.
Sebelum diskusi, Setia Gumilar, S.Ag., M.Si, selaku ketua panitia dan ketua jurusan SPI menyampaikan sambutannya. Dilanjutkan sambutan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung Prof.Dr.Agus Salim Mansur yang tampak antusias dan berapi-api dalam mengomentari buku Api Sejarah.
Pada diskusi itu, Dr.Sulasman yang saat itu menjadi pembicara pertama mengulas secara apik dan rinci dari sisi metodologi sejarah dan historiografi.
Menurut Sulasman, Api Sejarah memiliki corak yang khas sehingga berbeda dengan karya ilmiah sejarawan lainnya. Selain menyajikan sejarah Islam di Indonesia yang lengkap dari pra kemerdekaan hingga masa sekarang, juga menampilkan sejarah yang humanis versi Islam.
Penulisan sejarah yang digunakan Pak Mansur, menurut Sulasman, menggabungkan struktur-struktur sejarah seperti tokoh, gagasan, dan peristiwa.
“Dalam menulisnya pun Pak Mansur menggunakan metode berpikir terbalik. Ia menuliskan kesimpulan dahulu kemudian menyajikan data-datanya. Biasanya kan data dan fakta kemudian muncul kesimpulan. Tidak heran jika karya ini bersifat ideologis dan subjektf,” kata Dr.Sulasman.
Doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia Jakarta ini memuji buku Api Sejarah sebagai karya yang berbeda dengan karya ilmiah.
“Bahasanya enak dibaca, penyajian materinya lengkap, dan interpretasinya lain dari yang biasa. Mungkin bisa dikatakan meta history karena Pak Mansur mampu melihat yang tak terlihat kasatmata,” ujar dosen sejarah UIN Bandung ini.
Dengan nada bercanda Sulasman menyebut penulis buku Api Sejarah seperti "dukun" yang mampu menghadirkan hal-hal yang "gaib" dari berbagai peristiwa sejarah, khususnya perjuangan ulama dan santri.
Sedikit berbeda dengan komentar Dr.Mumuh Muhsin Zakaria, yang menjadi pembahas kedua. Menurut pengajar ilmu sejarah di Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung ini, buku Api Sejarah bisa disebut memiliki mazhab tersendiri, yaitu mansuriyah.
“Buku Api Sejarah yang saya pahami tampak bagaimana Islamisasi sejarah Indonesia dimunculkan sehingga keluar dari karya sejarah yang standar, khususnya dalam metodologi sejarah,” kata dosen sejarah Unpad ini.
Lulusan doktor sejarah di salah satu universitas Jerman ini juga memberikan catatan kritis. Menurut Dr.Mumuh, pada buku Api Sejarah terdapat ketidakjelasan antara opini penulis dengan kutipan atau pengambilan sumber dan interpretasi penuls lebih dominan ketimbang data dan fakta yang disajikan.
Meskipun secara metodologi lemah dan bahan yang digunakan dalam penulisannya menggunakan sumber sekunder (bukan primer), tetapi Dr.Mumuh juga mengakui kekuatan materi sejarah pada buku Api Sejarah lengkap dan menyeluruh.
“Buku ini bagus karena sangat jarang ada buku sejarah yang laku dan didiskusikan di berbagai tempat. Padahal, kita tahu bahwa pelajaran sejarah sejak SD hingga perguruan tinggi tidak diminati. Kalau membaca karya sejarah yang ditulis oleh pakar sejarah atau profesor tidak akan betah lama membacanya. Beda dengan buku Pak Mansur ini, dibaca dan dimiliki masyarakat awam. Saya mernyarankan kepada penerbit untuk diajukan ke Muri,” ujarnya sambil menengok ke moderator (saya) yang mengangguk.
“Karena itu saya menyebut buku Api Sejarah ini bermazhab tersendiri, mazhab mansuriyah,” kata Dr.Mumuh yang diselingi senyum melanjutkan.
“Saya ingatkan kepada mahasiswa S1 dan S2 jurusan sejarah untuk tidak menggunakan model buku Api Sejarah karena mazhab mansuriyah ini khas Pak Mansur. Kalau pun tetap memakainya, pasti tidak akan lulus.”
Dr.Mumuh juga menyoroti istilah “ulama” dan “santri” yang dibedakan oleh penulis buku Api Sejarah dengan umat Islam. Padahal, keduanya sama dengan masyarakat Islam Indonesia. Bahkan, Mumuh meyakini bahwa umat Islam yang berjuang melawan penjajah bukan karena alasan agama semata, tetapi ingin lepas dari penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.
“Ini yang menjadi pertanyaan saya: mengapa Pak Mansur memunculkan istilah ulama dan santri juga mengeksplisitkan label agama pada penjajah. Misalnya Kerajdaan Kristen Belanda, seolah-olah perang agama ketika berhadapan dengan pejuang Indonesia,” tanya Dr Mumuh yang membuat suasana diskusi menjadi sedikit tegang.
Nuansa serius yang digelorakan kedua pembicara sedikit mencair ketika pembicara ketiga berbicara. Seperti biasa, dengan gaya khasnya Ahmad Mansur Suryanegara yang merupakan penulis buku Api Sejarah (jilid 1 dan 2) menyemarakkan diskusi dengan sedikit guyonan sehingga suasana kembali segar meski sudah menjelang shalat zuhur.
Menurut Pak Mansur—sebagai upaya mengomentari kedua pembiacara sebelumnya—bahwa fakta sejarah tidak bisa dibaca seperti fakta yang mati, tetapi harus dibaca sehingga hidup bukan sekadar mengandalkan metodologi sejarah modern Barat yang tidak dapat membaca hakikat dibalik fakta.
“Saya menggunakan teori yang diungkapkan al-Quran. Saya melakukan puasa dan shalat sebelum menyusun dan menulis. Setiap saya disodorkan pada peristiwa sejarah, pikiran dan hati saya menggerakkan pena untuk menuliskan apa yang ada dibenak berkaitan dengan peristiwa sejarah yang saya bahas,” ungkap penulis buku Api Sejarah.
Selain metodologi dan proses kreatif, Pak Mansur juga memberikan informasi bahwa ia akan menulis buku Api Sejarah jilid tiga dengan anak judul konfigurasi sejarah yang di dalamnya akan lebih banyak membahas teori, metodologi, filsafat sejarah, dan historiografi sejarah yang digunakan dalam penulisan buku Api Sejarah. Mungkin bisa dibilang sebagai upaya pertanggungjawaban intelektual Pak Mansur atas karyanya yang banyak mendapat kritik dari akademisi sejarah.
Diskkusi yang dimulai dari jam 09.00 ini berakhir jam 13.30. Banyak peserta diskusi yang tampaknya tidak puas sehingga ketika selesai langsung berdialog dengan Pak Mansur. Tidak sedikit yang meminta tanda tangan dari Pak Mansur.
Begitu juga tiga mahasiswa dari sembilan penanya dalam diskusi mendapatkan tiga buku yang berjudul: Aliran-aliran dalam Islam (dua buku) dan Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.
Bagi saya, yang menjadi moderator, diskusi buku di UIN Bandung tersebut sangat luar biasa karena membuka wawasan kesejarahan saya bahwa karya sejarah yang beredar di masyarakat harus disikapi secara kritis. Termasuk dengan sejarah Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam sekarang. Sudahkah kita bersikap kritis terhadap sejarah?
(AHMAD SAHIDIN, pekerja buku)