Tapi, sudahkah kita mengenali mimpi? Itulah sebabnya sebagian orang memahami mimpi sebagai deksripsi abstraktif bawah sadar yang merefleksikan empirisme. Sebagian lainnya memahami sebagai deskripsi abstraktif ideal yang muncul begitu saja. Apa pun pemahaman dan penerjemahan kita, mimpi adalah deskripsi abstraktif yang merefleksikan asa seseorang tentang suatu keadaan, baik yang belum maupun yang akan dialaminya. Banyak manusia memahami mimpi dengan berbagai jenis. Mimpi yang menjanjikan keindahan dan kondisi ideal sering disebut shine dreams.
Di sisi lain, mimpi yang menjanjikan hal yang sebaliknya disebut sebagai dark dreams. Keduanya akan selalu dihadapi oleh manusia.Tinggal bagaimana manusia mengendalikan mimpi menjadi realitas ideal, dan tak berhenti hanya menjadi idealistic frame.
Manusia harus mengendalikan mimpinya dengan pengujian empiristik sehingga tak membuatnya terjebak dalam ilusi dan fantasi. Banyak manusia meyakini kebenaran mimpinya sebagai fenomena alam yang empiristik dan realistis, lalu sampai pada adagia teoretis. Di samping realitas lain menunjukkan bahwa teori berpangkal dari empirisme. Sebagian manusia lainnya, mengolah mimpi menjadi realitas sebagai kewajiban baginya, sebagai cara menggunakan hak untuk bermimpi.
Ketika mimpi dikendalikan dengan parameter empiristik, deskripsi abstraktif itu akan menjelma menjadi titian perubahan dimensi abstrak menjadi nyata, mengubah sesuatu yang khayali menjadi realitas melalui proses tata kelola imajinasi. Di dalamnya, anasir kemungkinan jauh lebih besar daripada ketidakmungkinan. Parameter empiristik berkaitan dengan realitas pertama kehidupan manusia sehari-hari, dan merupakan tools yang berada di lingkup dimensi ruang dan waktu. Misalnya, imajinasi tentang basic need dan basic want manusia: pangan, sandang, papan, dan sejenisnya.
(cuplikan buku INDIGOSTAR karya N.Syamsuddin Ch.Haesy; Salamadani Publishing, 2009)