Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Menumbuhkembangkan Potensi Bahasa dan Sastra di Sekolah

8 Desember 2010   18:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 568 0
Siapakah pengarang roman Siti Nurbaya? Apa sajakah judul puisi yang diciptakan oleh Chairil Anwar? Apakah ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka? Apakah perbedaan bahasa baku dan tidak baku? Mungkin kita sudah terbiasa menjumpai pertanyaan-pertanyaan tersebut saat duduk di bangku sekolah. Itulah salah satu realita dimana pengajaran bahasa dan sastra di sekolah seperti pengulangan lingkaran teori. Walaupun kurikulum selalu berganti, tetapi tidak banyak perubahan yang berarti dalam konsep pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan penyampaian materi pelajaran yang monoton dan  hanya bersifat satu arah.

Itulah salah satu problematika klise yang kerap kita jumpai dalam proses belajar-mengajar di bangku sekolah.Sastra hanya kerap dipahami  sebatas nama sastrawan, karya puisi/novel, nama angkatan, pola paragraf, contoh awalan-akhiran, dan sebagainya. Hal ini seakan hanya pewarisan materi yang itu-itu saja. Padahal, pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bangku sekolah semestinya mampu menggugah spirit bagi jatidiri siswa.

Problem lain dalam pelajaran bahasa Indonesia hanya sekadar penyampaian teori, majas, tanda baca, kalimat efektif, kliping koran, dan sebagainya. Jadi, seiring bergantinya tahun ajaran baru, indikator keberhasilan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kembali lagi dilihat dari segi nilai evaluasi/ujian. Padahal, ada sesuatu yang lebih penting menyangkut pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu munculnya generasi-generasi yang mampu menunjukkan identitas dirinya.

Belajar Bahasa dan Sastra tidak hanya bentuk penilaian akhir dalam wujud angka atau tingkat kehafalan siswa dalam menguasai materi. Namun, ada hal yang lebih bisa dikembangkan menyangkut utile dan dulce. Dalam hal ini, ada aspek hiburan sekaligus asep kebermanfaatan setelah siswa mempelajari bahasa dan sastra. Hal ini seringkali terabaikan oleh guru hanya demi menuntaskan seluruh materi di setiap bab dalam buku. Pada akhirnya, siswa kembali terjebak dalam sistem belajar “asal selesai”. Fenomena ini muncul karena kurangnya kreativitas model penyampaian pembelajaran. Mungkin juga disebabkan karena terlalu terpaku dalam formalitas pengajaran. Dengan demikian, guru sungkan untuk mengajak siswa lebih membuka diri dalam memahami kepekaan terhadap sekitar. Padahal, sumber apresiasi dan kreativitas dalam pelajaran ini bersumber dari kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini, kita bisa mencontoh sang guru, John Keating dalam Dead Poets Society. Ini bisa menjadi inspirasi para guru untuk memberikan pengajaran dengan sudut pandang yang tidak kaku.

Masalah ketersediaan sumber bacaan juga patut kita soroti. Buku dan media baca lain adalah “amunisi” bagi siswa yang ingin lebih memahami pelajaran Bahasa dan Sastra. Sumber bacaan yang ada di perpustakaan biasanya digunakan jika ada tugas saja. Siswa pun pada akhirnya mau membaca jika ada tuntutan saja. Malah, penyakit kemalasan membaca ini menghinggapi pengajarnya itu sendiri. Jadi, bagaimana bisa memberikan motivasi membaca kepada siswa jika gurunya pun sendiri jarang membaca?

Kasus seperti ini dapat kita amati pada mahasiswa-mahasiswa baru yang masuk program studi bahasa dan sastra Indonesia. Mereka seakan panik waktu adanya tuntutan untuk banyak membaca buku-buku kebahasaan atau kesastraan. Hal ini bisa disebabkan karena waktu SMA budaya membaca mereka termasuk kurang. Sebagian besar mahasiswa merasa asing dengan buku-buku yang harus dibaca. Itulah sebabnya, timbul sitgma bahwa kuliah bahasa dan sastra Indonesia termasuk berat karena tugas-tugasnya yang tidak lepas dari membaca karya sastra.

Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal bahasa dan sastra. Sebenarnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, misalnya dalam bentuk: buku sastra (misalnya antologi cerpen/puisi, penulisan untuk majalah dinding, atau membuat tulisan di blog). Dalam hal ini, ada kesinambungan antara proses belajar mengapresiasi dengan berkreativitas. Siswa dapat mengekspresikan dirinya dengan segala media yang ada di sekitarnya dengan adanya bimbingan guru.

Membuat Belajar Bahasa dan Sastra Lebih Mengasyikkan

Seperti kita ketahui, dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang menjadi patokan umum adalah adanya tuntutan aspek mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat aspek itu merupakan satu kesatuan yang jika diolah mampu memberi warna baru dalam semangat belajar. Misalnya dalam pengajaran sastra tercakup ketiga genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya dapat disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Aspek tersebut dapat juga disintesiskan dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka.

Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan sastra. Lebih dari itu, kita menginginkan outcome yang bagus. Contoh, proses belajar-mengajar terjadi dan akhirnya siswa memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan bahwa contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita menginginkan siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat memproduksi karya sastra sebagai outcome dalam pengajaran sastra di sekolah.

Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Adakalanya timbul kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media cetak, buletin sekolah, dalam buku sastra, atau media internet.

Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan atau ahli bahasa kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan dan ahli bahasa. Padahal, biodata dan karya sastrawan dan ahli bahasa merupakan pengetahuan yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Untuk itu, sekali-kali bisa diadakan acara di sekolah yang berhubungan dengan bahasa dan sastra. Di sekolah dapat diadakan perayaan mengenang sastrawan, lomba membuat karya sastra, musikalisasi puisi, pekan teater, lomba kebahasaan, dan lain-lain. Guru pun dapat memberikan motivasi lain, misalnya dengan memberi nilai lebih pada siswa yang karya tulisannya dimuat di media massa. Dengan demikian, materi pembelajaran yang didapat di kelas bisa diaplikasikan.

Menyangkut hubungan pembelajaran sastra dengan dunia luar sekolah, siswa pun sewaktu-waktu dikenalkan dengan kegiatan-kegiatan komunitas kebahasaaan dan kesastraan yang ada di daerah masing-masing. Ajaklah siswa untuk menghadiri acara pembacaan puisi, pelatihan menulis, pentas drama, atau dikenalkan dengan lembaga/komunitas yang berhubungan dengan bahasa dan sastra (misalnya Balai Bahasa, penerbit, redaksi media cetak, group teater, perpustakaan daerah, jurusan bahasa dan sastra Indonesia yang ada di perguruan tinggi, dll). Dengan begitu, diharapkan siswa mendapatkan input lain yang berbeda dengan yang mereka serap selama ini di kelas. Hal ini tentunya akan menambah khazanah keilmuan bahasa dan sastra bagi siswa. Nilai positif lainnya adalah adanya kepercayaan diri siswa untuk serius mendalami bahasa dan sastra tanpa ada stigma masa depan yang suram. Ada beragam ruang dalam kehidupan ini yang bisa dijelajahi dengan pandai berbahasa dan bersastra. Sudah saatnya pembelajaran bahasa dan sastra tidak berputar-putar dalam labirin teori atau pola belajar yang kaku. Oleh sebab itu, baik guru maupun siswa hendaknya mulai belajar bahasa dan sastra dengan pola link and match, sebab dunia sekarang menuntutnya demikian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun