A good teacher makes you think even when you don’t want to. (Fisher, 1998, Teaching Thinking)
Berbicara kurikulum memang menyenangkan, karena akan bertemu dengan khalayak yang luas dan memiliki kepentingan masing-masing dengan topik bahasan tersebut. Ribut isu korupsi, muncul usulan agar korupsi masuk kurikulum. Muncul isu narkoba, timbul usulan agar korupsi masuk ke dalam kurikulum. Tawuran – kurikulum, Terorisme – kurikulum, Konflik SARA – kurikulum, dan seterusnya dan seterusnya. Seolah – olah kurikulum menjadi obat segala penyakit !. kenytaaan ini membuat para street fighters, para guru, menjadi terbebani dengan tuntutan tersebut.
Padahal fakta menyebutkan jumlah sekolah negeri di Indonesia lebih sedikit dibanding sekolah swasta. Sekolah swasta biasanya dibawah suatu yayasan yang memiliki ciri khas kelembagaan sebagai suatu ‘hidden curriculum’nya. Kurikulum yang tersembunyi itulah yang lebih ampuh daripada kurikulum yang tertulis dalam persiapan mengajar para guru. Oleh karena itu penerapan kurikulum tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi merupakan suatu rekayasa sosial yang melibatkan seluruh komponen sekolah sebagai miniatur dari masyarakat. Adalah sia – sia untuk mengajarkan anak untuk jujur apabila sekolah dengan seluruh atau sebagian aspeknya berlaku tidak jujur dalam mengelola sekolah, misalnya dalam aspek keuangan.
Kurikulum terakhir disusun pada tahun 2004 yang kemudian disempurnakan pada tahun 2009 dengan penguatan pada pendidikan karakter, sebenarnya telah berada pada jalur yang benar. Mungkin masih ada beberapa kekurangan sehingga Mendikbud menyatakan perlu untuk perubahan kurikulum, seperti diungkapkan akhir – akhir ini. Perubahan ini bagi para guru dan pelaku pendidikan secara umum diharapkan jangan terlalu drastis, karena akan membingungkan dan membuat kemajuan dalam proses pembelajaran sedikitnya akan terhambat.
gambar dari http://www.odu.edu/educ/roverbau/Bloom/blooms_taxonomy.htm
Pada penerapan kurikulum, dimasa lalu di kenal istilah C1. C2, sampai C6. Mengacu kepada Taksonomi Bloom (dikembangkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1950-an) yang menggambarkan jenis berfikir yang berbeda dalam pembelajaran, terdiri dari: pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tiga yang pertama termasuk berpikir tingkat rendah, sedangkan sisanya dikategorikan proses berpikir tingkat tinggi.
Kemudian dalam perkembangannya Taksonomi Bloom tersebut di kajiulang oleh seorang muridnya yaitu Lorin Anderson sehingga muncullah Taksonomi Bloom yang direvisi pada tahun 1990 an. lihat Kurikulum pendidikan di Indonesia, sudah mengadaptasi kepada Taksonomi Bloom yang sudah direvisi, terlihat pada bagaimana perencanaan pembelajaran direncanakan dan dilaksanakan. Menurut Taksonomi terbaru, proses berpikir tingkat rendah terdiri dari mengingat, memahami, dan menerapkan; sedangkan berpikir tingkat tinggi terdiri dari menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. Pada Taksonomi Bloom yang sudah direvisi, menggunakan kata kerja sebagai bagian dari proses berfikir karena dalam proses pembelajaran.
Menjadi permenungan bag khalayak perguruan dari tingkat usia dini sampai perguruan tinggi. Apakah dalam pembelajaran kita banyak memberikan materi yang termasuk berpikir tingkat rendah atu berpikir tingkat tinggi? Menurut suatu penelitian lama yang pernah saya baca, negara kita, lembaga pendidikannya kebanyakan hanya mengajarkan hal – hal yang terkait dengan mengingat, memahami dan menerapkan, jarang sekali yang mengajarkan berpikir tingkat tinggi. Makanya pendidikan kita tertinggal dari negara – negara lainnya.
Wuhan, 11 Oktober 2012.
Sumber bacaan di internet:
http://schoolnet.org.za/twt/01/M1_Appendix_B.pdf
http://ww2.odu.edu/educ/roverbau/Bloom/blooms_taxonomy.htm
http://projects.coe.uga.edu/epltt/index.php?title=Bloom%27s_Taxonomy
http://www.utar.edu.my/fegt/file/Revised_Blooms_Info.pdf
http://www.niu.edu/facdev/programs/handouts/blooms.shtml
http://en.wikipedia.org/wiki/Bloom%27s_Taxonomy
http://www4.uwsp.edu/education/lwilson/curric/newtaxonomy.htm