Kampung tempat Hariri lahir adalah daerah dengan tradisi keislaman tradisional yang kuat. Pola dakwah dengan ceramah di panggung masih menjadi model dakwah yang biasa...pun demikian di daerah-daerah Bandung dan sekitarnya. Mendatangi pengajian merupakan tolabul ilmi yang memperoleh pahala. Secara keturunan ia juga memiliki "kans" untuk menjadi mubaligh. Meskipun menurut IKADI, organisasi resmi para pendakwah di Indonesia, Hariri belum layak menjadi ustadz, seperti yang saya baca dari harian nasional berbasis Islam hari kemarin. Mungkin juga IKADI ini kurang menyelami fenomena keberislaman di pinggiran Bandung dan bergaul dengan para mubaligh kampung yang menjadi basis bagi "kelahiran" Hariri-hariri lainnya. Hariri adalah bakat lokal yang kemudian dipoles oleh televisi untuk menjadi pendakwah selebritas yang masih memiliki penggemar di tingkat kampung yang "kagum" dengan ketenaran ala televisi. Seperti sikap masyarakat awam yang setiap hari dihibur acara televisi nasional
Perilaku Kyai Haji Hariri memicu perdebatan di media, negatif dan positif. Kemudian dikompor-komporin oleh media televisi dan media lainnya. Yang saya lihat dari peristiwa itu, ternyata orang kampung di Kabupaten Bandung sudah begitu melek teknologi, sehingga perilaku aneh sang Hariri bisa dipelototi jutaan manusia di seluruh dunia, beberapa saat setelah kejadian berlangsung. Media bisa menjadi kontrol sosial bagi para elit, para tokoh, yang berperilaku "minculak" atau nyeleneh. Hariri adalah ustadz ciptaan televisi dan diamini oleh masyarakat. Kalau jaman dahulu gelar kyai itu berasal dari pengakuan masyarakat. Sekarang ini berbeda, siapa saja bisa disematkan gelar kyai oleh media televisi untuk kepentingan acara dan "rating". Akhirnya muncul-lah apa yang disebut teman saya di facebook sebagai "karbitan", "instan". Ini menjadi kebutuhan pada masyarakat yang haus komoditas yang dimaterialisasikan. Yang karbitan sebenarnya tidak hanya penceramah agama atau kyai, tetapi juga profesi lainnya. Muncul berkali-kali di televisi (walaupun hanya muncul di acara gosip), maka seseorang sudah di cap sebagai artis, dengan kadar keartisan karbitan. Aktingnya yaa ampun jelek sekali. Hanya mengandalkan wajah ganteng atau cantik saja.
Semoga generasi muda Indonesia tidak banyak yang memilih jalan karbitan. Karena bila menempuh jalan ini, gampang naik dan gampang turunnya. Bisa-bisa malah terjerumus ke dalam kenistaan. Tekuni jalan hidup yang pasti-pasti saja. be professional !.
Jakarta, 15 Februari 2014