Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Posisi Politik Sukarno Tahun 1933 Vis a vis Belanda

8 Maret 2013   03:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:08 176 0

Ketertarikan saya pada Marxisme sama besarnya dengan ketertarikan saya pada Eksistensialisme Sartre. Keduanya tidak lantas saya pertentangkan seolah antara keduanya saling menegasi, seperti kebanyakan orang berpendapat. Eksistensialisme Sartre saya posisikan sebagai ajaran moral yang membebaskan sedangkan Marxisme sebagai metode berpikir sekaligus bertindak sehingga revolusi sosial jadi jelas referennya, tidak gegabah (reaktif, spontan/ tidak terorganisir sehingga mudah dipatahkan) dan tidak pula tak berpijak. Oleh karenanya menjadi jelas pula, moral revolusi yang digadang-gadang Sartre melalui sastera dalam la literature engageeseharusnya bermuara ke suatu revolusi sosial yang darinya masyarakat tanpa kelas terwujud, bukan ke arah revolusi sunyi sendirian itu.






Namun, ketertarikan saya terhadap pemikiran Marx tidak lantas membuat saya alpa membaca Sukarno. Sebab rupanya Marxisme sudah inheren dalam ajaran Sukarno, seperti bisa kita lihat dalam artikelnya berjudul “Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx” yang dimuat di koran Pikiran Rakyat tahun 1933 dan dihimpun dalam bukunya berjudul di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama. Pun tulisan ini adalah ikhtiar penulis memahami pokok-pokok pikiran Sukarno dalam 5 artikel korannya yang dihimpun ke dalam bukunya “di Bawah Bendera Revolusi”. 5 artikel itu diantaranya adalah:


  1. Jawab Saya pada Saudara Hatta
  2. Sekali lagi: Bukan “Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah!”, Tetapi “Banyak Bicara, Banyak Bekerjalah!”
  3. Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx
  4. Reform Actie dan Doels Actie
  5. Bolehkah Syarikat Sekerja Berpolitik?
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun