Takpelak bersikap kritis dengan menilai sesuatu hal mestilah terjadi. Kalau tidak, kita akan tergolong orang-orang yang menelan bulat-bulat setiap masukan yang ada, tanpa pernah mencerna, menimbang dan memikirkannya dalam-dalam. Kita malah sudah silau dan terkagum-kagum pada orang yang berbicara itu, berhubung berpangkat dan bergelar tinggi. Kita justeru terkesima sejadi-jadinya terhadap nada bicara dan penampilan yang memukau dari sang tokoh, apalagi berasal dari keturunan orang hebat. Dan kita pun menjadi pengagum fanatik pada seseorang yang indah memesona, takpeduli apa yang dilakukannya bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Seperti yang sering terujar, kebenaran yang disampaikan manusia relatif adanya. Tidak mutlak benar. Taklepas dari kekeliruan dan kekurangan, sebagaimana karakteristik manusia sebagai tempat khilaf dan sangatlah lemah. Takada orang yang sempurna, begitu pepatah lama berkata. Manusia jelaslah bukan tuhan, bukan dewa, kecuali pada kisah pewayangan, ada yang setengah manusia, setengahnya lagi dewa. Perpaduan yang unik. Tapi itu takdapat dilepaskan dari segala keterbatasan yang pasti melekat pada diri manusia,siapapun dia, dengan pelbagai macam latarbelakang hidup serta displin ilmu yang ia sedang geluti. Berlaku hukum: belum tentu benar apa yang dikemukakan manusia, baik perkataan maupun perbuatan, sepanjang itu selaras dengan keagungan dan keselarasan alam raya.
Bila saja keraguan dan kepilonan menyelimuti diri, bertanya bisa jadi jalan keluar. Menanyakan sesuatu pada ahlinya. Mencoba mengetahui lebih jauh tentang hal yang sedang kita minati itu. Tumbuh penasaran, tumbuh pula ketertarikan. Â Nalar kita pun terbatas, pengalaman batin kita pun begitu, maka keraguan berharap pecah, taklagi beku. Takseharusnya dikungkungi rasa malu, jengah, atau terperangah melulu. Mulai bertanya, bertanya dan terus bertanya. Awal dari kebingungan pada sebuah kenyataan, lalu kita pun terkesiap untuk mulai berkata-kata, meraih makna, merebut apapun yang harus dihikmati secara bijak.
Selanjutnya, mekanisme kritik menjadi penting. Menciptakan kritik yang membangun, bukan malah menghancurkan dan cenderung uraikan kesalahan tanpa solusi. Barangkali diantara kita dilanda ketakutan untuk mengatakan yang semestinya. Pasti resah memperbincangkan dan menuliskan sebuah response atas kejadian yang terjadi. Khawatir ada pihak-pihak yang menentang. Galau jikalau nanti perseteruan malah memuncak. Cemas bilamana borok masalalu terkuak lagi. Lalu kita pun cari aman dengan tidak mengabarkan dan menuliskan kenyataan yang semestinya. Padahal berbeda pendapat, beragam bunyi suara, jika ditanggapi dengan baik, itu pertanda iklim yang baik untuk terus berdialog. Dengan berbhinekanya opini yang bermunculan diantara kita, menandakan kita semua menggunakan akal pikiran masing- masing. Inilah yang kemudian disebut, kita berdinamika dan berdialektika satu sama lainnya.
Pada tahap berikutnya, jika perlu, kita coba untuk meragukan sesuatu dulu, jangan tergesa untuk memamah setiap pengertian dan pemahaman yang terhampar pada kepala kita. Hal ini dapat dimaknai melalui penyikapan yang positif, tanpa harus mencurigai setiap perkara yang berdatangan. Tanpa pula mencari-cari kesalahan dan kelemahan, sehingga yang muncul malah pembeberan aib dan kebobrokan seseorang, yang sesungguhnya itu semua sangat manusiawi.
Tepatnya, jadi pembaca yang aktif, atau pengamat satu bidang tertentu, dengan menatap satu persoalan, secara gamblang, lugas serta menyeluruh. Upaya pelaziman memberi tanggapan, komentar, ulasan, walau sedikit yang terucap dan tertulis, tapi itu sudah memberikan usaha-usaha yang tepat agar taklagi terjadi penyesatan dan kekeliruan pada produksi-produksi pemahaman jua pengertian. Andaikata kita sudah  merasa cukup atas jawaban dan pendapat yang ada, dan takpernah memunculkan semangat keingintahuan  yang luar dari biasa, maka demikianlah kita termasuk orang-orang kebanyakan. Biasa adanya. Mati pula kinerja kelompok dan individu yang seyogianya menjunjung tinggi pola komunikasi yang tepat dan cermat.
Anda pun pasti pernah saksikan perdebatan itu, dialog itu, perbincangan itu, diskusi itu, dari media tertentu, atau terlibat langsung di dalamnya. Bukankah ucapan kian sengit, perkataan memanas, dan percekcokan takbisa dihentikan, temui jalan buntu, membahas satu soal, sukar jawaban ditemukan. Para ahli sudah bicara sesuai dengan lahan garapannya masing-masing, akan tetapi tetap saja menemui jalan buntu. Contoh; Bagaimana menemukan solusi  yang tepat untuk membuat efek jera pada para perampok uang milik rakyat itu? Ada yang bilang dengan hukuman seberat-beratnya, ada pula yang bilang dengan langsung memberi hukuman mati. Sebab pencuri kelas teri sudah pasti dipenjarakan, entah berapa bulan lamanya, dan sebelumnya itu tubuh pesakitan sudah babak belur dihajar massa, sungguh mengenaskan. Sementara bangsat berdasi di kantor itu hanya dapat hukuman beberapa tahun saja, dengan penjara yang takjauh beda dengan penginapan paling keren di kota Anda.
Tradisi kritik belum berkembang baik di masyarakat kita. Sebab seseorang yang melontarkan kritikannya dianggap nyeleneh, sembarangan, bahkan pembelot, berbeda dari keumuman yang ada. Lantas kena sanksi sosial bagi para pengkritik, sebagai misal, dicemooh, diasingkan, bahkan dipenjarakan. Muatan kritik seseorang pada satu masalah memang berbeda, terpulang pada kadar ilmu pengetahuan dan wawasan, beserta teknik-seni komunikasi. Misal, ada yang lantang dan berani. Ada pula yang tenang, penuh kehati-hatian, dibungkus dengan bahasa  yang apik dan mengena.
Kritik tiap hari bisa saja tertembakkan, dengan segala format dan variasi, dengan segala topik dan solusi yang sebisanya didapat. Tertuju kritik itu pada siapa saja, dari siapa saja untuk keadaan yang apa saja, bisa terjadi. Di koran, televisi, radio dan media-media jejaring sosial lainnya bertebaran kritik, berbunyi ancaman, bersuara teguran, bertuliskan kata-kata makian seperti hendak menelanjangi apa yang tertempel di tubuh obyek kritik itu.Kalau saja kita mau menempatkan diri ini dalam kerangka hidup bermasyarakat, yakinlah, saling mengingatkan, saling meneguhkan, saling menguatkan antar satu sama lain, memang penting. Â Pandangan kita terbatas, daya kemampuan kita pun taksepenuhnya kuat. Lingkungan dan individu yang ada di dalamnya akan diproyeksikan mampu memberikan pendapat dan masukan yang berharga antar sesama. Bukan malah menjatuhkan, dan lebih jauh, malah membunuh satu sama lainnya. Kita pun berlindung dari hal-hal seperti itu.
Parahnya, ketika kita berbeda pendapat, kritik mandek, maka pihak lain yang berseberangan malah menghalau yang beda itu, dalam tataran yang ekstrem bisa melenyapkan nyawa orang yang dianggap lancarkan kritik. Karena ia merasa bahwa kritik bukanlah sesuatu yang sehat, ia memperlakukan kritik sebagai penyakit yang merusak keutuhan dirinya. Akibatnya, yang berseberangan akan berhadapan dengan kekuatan horor yang mengerikan.
Pada sebuah kajian diskusi, setidak-tidaknya kita belajar memahami orang lain, selain membaca materi yang ada. Kita pun dapat belajar mendengar orang berpendapat, menyaksikan silang pendapat antar satu orang dengan yang lainnya, menyimak pertanyaan yang tersampaikan, mengetahui jawaban yang terbit dari mulut sang pakar. Kita pun diupayakan terbiasa dengan iklim seperti itu, bersuara, berpendapat, siap dengan keberbagaian opini, siaga dengan tantangan yang menghadang dan tetap menganggap setiap orang adalah sama, diperlakukan sama, dibuat manusiawi, semanusia-manusianya, tanpa perlu mengagung-agungkan apa yang termiliki itu, berkaitan teknis kebahasaan, luasanya pengetahuan, keindahan berucap, jembarnya referensi atau tentang tingkah-laku yang berlebihan pada retorika.
Saya menduga bahwa dengan berkumpul, bersuara, berpendapat, dan membunyikan hal-hal yang terasa di dada, entah mengganggu, entah menggelisahkan, atau malah membuat hati bungah, pada waktu yang telah ditentukan bersama, disertai pembahas yang mumpuni di bidangnya, pembahasan yang teratur jua runut, pada tempat yang juga menyenangkan, kendati topik pembicaraan berat dan sulit dipahami, namun dengan kebersamaan, berdialog, bertukar pikiran, saling meminjamkan rasa, menegukan pendapat, hingga satu sama lain saling kenal mengenal, itulah barangkali yang mesti diperoleh dengan semangat terhebat. Dari hanya sekadar adu pendapat, adu cantik, adu manis, adu senjata dan kekuatan yang cenderung tampilkan arogansi dan hanya jago berwacana saja.
Pasti ada gunanya kajian-kajian itu, walau takterlau dihadiri banyak orang, sebab jumlah yang hadir bukanlah ukuran kesuksesan sebuah acara. Justeru dengan pertemuan seperti diskusi itu, kita dapat melatih menerima rangsangan, memberikan reaksi yang tepat, mengakrabkan diri dengan persoalan-persoalan dunia yang sedang berkecamuk, mencerap informasi dan manfaat lainnya yang dapat dirasakan oleh masing-masing individu yang kebetulan bergiat di dalamnya. Entah dirasakan langsung manfaatnya, atau mungkin dirasakan kelak di kemudian hari. Semacam upaya pengembangan karakter diri, supaya terampil bersikap dan berkomunikasi.
Apatah lagi, bila kajian itu mengambil tempat di sebuah ruang publik bernuansa kesejarahan yang kental, sebut saja, Museum. Seumpama Anda mengamati atau pernah berkunjung dalam satu Museum, lalu ruang publik tiba-tiba menjadi ramai dengan perbincangan dan perdebatan berdasar tema diskusi yang telah ditetapkan, itulah ikhtiar yang mengharapkan bahwa kita memang butuh ruang pelepasan, sebagaiman oase di luasnya padang gurun itu. Bukankah persoalan sosial menumpuk, menggunung, Â sebagaian merasa terasa terasing, sisanya mungkin terluka, dan selebihnya malah membusuk karena himpitan persoalan yang terus menindih, hingga kita semua membutuhkan banyak tenaga untuk bergerak, dan Museum beserta kegiatan di dalamnya kiranya mampu menjadi ruang olah sukma dan pikir kita, menghimpun tenaga sejenak saja, untuk kembali beraktivitas seperti yang selalu diharapkan bersama.
Lagi dan lagi kritik dianggap metode yang dianggap menyulitkan seseorang untuk berkembang lebih maju lagi. Untuk itu, saya menolak dengan tegas. Kritik ada baiknya diterapkan secara tepat, dan ditempatkan dalam hati sanubari masing-masing dalam rangka menguatkan perubahan sosial dan perbaikan nasib diri. Tanpa perlu menelanjangi seseorang, merusak nama baiknya, serta menyiksa lahir batinnya.  Mulailah saat ini untuk kembali lagi membaca secara intens, mengkritisi dengan jeli, memberikan komentar padat, bahasan dan saran yang akurat, agar pembaca dan siapapun yang terlibat di dalamnya dapat memperoleh manfaat yang ada.
Pada bagian terakhir ini, saya ingin mengutip tulisan yang sangat bernas dari Putu Wijaya (1996): Kritik adalah doping pada kehidupan dan perkembangan manusia. Kritik adalah vitamin, dalam masa yang panjang kritik adalah stimulasi, kritik takakan menyebabkan kematian satu cabang kehidupan, justru bisa melejitkan kreatifitas seseorang, siapa saja, lembaga apapun, sehingga kalau kritik tidak ada, kembang-kempis atau terlambat, banyak hal yang ditanggung dalam kelangsungan kehidupan kita.
Bandung, Februari 2013
Adew Habtsa. Bergiat di Asian African Reading Club-Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika.