Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pemuda dan Rumusan Bangsa

28 Oktober 2012   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:18 450 3

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa M Yamin berbisik dengan bahasa belanda kepada sesama orang pribumi? Padahal salah satu butir dari ikrar pemuda itu adalah “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong JavaJong AmbonJong CelebesJong BatakJong Sumatranen BondJong Islamieten BondSekar RukunPPPIPemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoasebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie (namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka). Sementara Kwee Thiam Hionghadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Mereka yang hadir dalam kongres tersebut sebagian besar adalah  kalangan yang mengecap pendidikan belanda sehingga sudah terbiasa menggunakan bahasa belanda dalam pergaulan mereka. Seperti diketahui bahwa pada masa itu bahasa belanda  dianggap sebagai bahasa nomor satu. Jadi ketika M Yamin berbisik seperti di atas itu adalah ekspresi dari “keterpelajaraan” yang  sekaligus membedakannya dengan kaum kebanyakan atau orang awam.

Tampak dari nama-nama kelompok yang hadir dalam konggres pemuda tersebut, selain sebagian besar menggunakan istilah belanda, juga tampak bahwa mereka mewakil daerah/golongan/suku masing-masing. Dari situ terlihat bahwa Indonesia yang dibayangkan kaum elit pemuda tsb adalah indonesia yang terbentuk dari gabungan atau persatuan suku-suku atau daerah-daerah yang berada di kepuluan Nusantara. Indonesia terbentuk dari yang banyak menjadi satu.

Berdasarkan nalar di atas ada kesan bahwa sebelum sumpah pemuda dikumandangkan, suku-suku atau daerah-daerah di Nusantara ini hidup dalam kotaknya masing-masing. Hal ini sesuai benar dengan definisi belanda dan pihak asing lain yang  menganggap  masyarakat-masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang tetap/permanen dalam sebuah ruang yang juga sudah ditetapkan sebelumnya (seperti “masyarakat Jawa”, “masyarakat Sunda”, masyarakat Bugis”, atau kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, “kebudayaan Bugis”, bahkan lebih jauh lagi, “manusia Sunda, “manusia Jawa”, manusia Bugis”, ….dst). Setiap suku digambarkan punya ciri-cirinya tersendiri yang bisa dengan jelas dibedakan dengan suku yang lain. Pandangan seperti ini  umumnya mengabaikan kesaling-terkaitan dan komunikasi di antara suku/kelompok tersebut, karena masyarakat-masyarakat tersebut dianggap tertutup.

Kalau kita tengok kebelakang tampak bahwa anggapan tentang kesuku-bangsaan seperti itu sangat terkait dengan pandangan para penjelajah (atau penjajah) dari eropa, baik kaum agamawan, ilmuan maupun politikus mereka. Orang-orang eropa pada awalnya begitu terheran-heran tentang budaya orang timur yang dirasakan eksotis sekaligus liar dan berbahaya, lalu mereka mencatat dan merumuskan berdasarkan prasangka mereka sendiri. Dengan kekuatan politik dan militer, akhirnya prasangka-prasangka orang asing itu pun diwujudkan dalam bentuk penaklukan-penaklukan, hingga definisi asing tentang kesukubangsaan tersebut akhirnya dipercaya  bahkan oleh kaum pribumi itu sendiri.

Hal di atas sejalan dengan apa yang disinyalir oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu skema divide-et-impera penjajah kolonial belanda terhadap segenap potensi persatuan bangsa Indonesia, seperti dikatakannya: “Di jaman Belanda kita dipecah-pecah secara sistematis, hingga daerah yang satu dijauhkan dari daerah yang lain. Belanda mengatakan akan memajukan kebudayaan kita, akan tetapi usaha memajukan kebudayaan oleh Belanda itu nampak jelaslah maksudnya, yaitu untuk ‘memurnikan’ kebudayaan-kebudayaan daerah-daerah masing-masing. Untuk itu didirikan Java-Instituut, di samping ada Batak-Instituut, ada pula Bali Instituut dan lain-lain.” Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan, Buku 2, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1994). Istilah “memurnikan” kebudayaan tersebut maksudnya adalah bahwa setiap kelompok etnis itu dianggap hidup terpisah, tertutup, sehingga tampak berbeda dan unik dari kelumpok lain.

Sumpah Pemuda dianggap sebagai upaya mempersatukan daerah-daerah yang dianggap sudah berbeda-beda dari sononya itu. Entah sadar atau tidak para pemuda terpelajar itu sejak awal memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah kolonial tentang bagaimana harus memandang keberadaan suku-suku yang ada di indonesia (tentu saja, mereka adalah murid-murid sekolah belanda).

Sejenak kita ke luar dari ruangan para elit, untuk menengok kalangan awam. Kalangan awam yang dimaksud di sini adalah rakyat biasa yang tidak mengenyam pendidikan  Belanda dan bukan berasal dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi, serta tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Sebagian besar hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat di pedesaan.

Jauh sebelum peristiwa konggres pemuda, sebenarnya di antara berbagai kelompok masyarakat tersebut sudah terbentuk hubungan saling tergantung yang berlangsung di antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas yang ada di Nusantara. Banyak bukti yang menujukan bawa mereka bukanlah suku bangsa yang tertutup dan terkotak-kotak (lihat misalnya ulasan Ahmad Baso, dalam buku Pesantren Sudies, 2012).

Masyarakat awam tentu saja  tidak berbahasa belanda, mereka berbahasa ibu di daerah masing-masing. Meski demikian bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia bukanlah barang baru di kalangan masyarakat yang berbeda suku di nusantara. Bahasa Melayu sudah digunakan jauh sebelum para elit dalam Kongres Pemuda menetapkannya  sebagai bahasa persatuan.

Bahasa Melayu diketahui sebagai lingua franca di antara banyak masyarakat di  Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana, dalam bukunya Sedjarah Bahasa Indonesia,mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.

Menurut Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut, pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. “Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan,” tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun