“Rumah yang Tidak Berjendela Tidak Sehat”. Kalimat ini kutemukan di buku pelajaran Bahasa Indonesia saat aku duduk di kelas 1 SD. Ibu Guru mengatakan bahwa jendela berfungsi untuk sirkulasi udara dan sinar matahari. Penjelasan yang abstrak bagiku saat itu, berbeda dengan fungsi pintu yang menurutku lebih kongkrit, untuk keluar-masuk. Aku juga berfikir, toh udara dan sinar matahari juga bisa masuk melalui pintu.
Waktu kecil aku juga sering bermain kejar-kejaran atau sembunyi-sembunyian bersama saudara dan teman-teman, tempat bermain kami biasa di dalam dan di luar rumah. Saat bermain itu aku sering keluar-masuk rumah melalui jendela. Kata Emak, jendela bukan untuk keluar-masuk, itu sama saja dengan mengajari maling masuk ke dalam rumah. Aku berfikir alangkah kerennya si maling, memiliki kesamaan dengan udara dan sinar matahari. Tapi menurut Emak, semua ada tempatnya dan aturannya masing-masing, demikian pula dengan jendela dan pintu, hanya maling yang tidak mematuhi itu.
Jika sedang sendiri di rumah, aku suka memandang ke luar melalui jendela, memikirkan banyak hal di luar sana, dan jika kemudian menemukan ide apa saja, maka aku segera berlari menuju pintu ke luar untuk mencari kawan-kawan sepermainanku. Sadarlah aku, Jendela untuk berfikir, sedangkan Pintu untuk bertindak.
Pintu dan jendela adalah sebuah kesatuan. Jendela identik dengan sesuatu yang personal, dari sana individu menatap sekitar, ke rumah tetangga dan alam luas. Sedangkanpintu adalah ruang dinamik yang memberi garis antara ruang dalam dan ruang luar. Ruang dalam adalah tubuh yang diam dan bergerak, sedangkan ruang luar adalah ruang tubuh untuk menyapa dan berbagi dengan tetangga. Kalau seseorang ke luar rumah, lewat pintu, dia masuk ke masyarakat, jadi pintu adalah saluran dalam membentuk kehidupan bersama.
Sekarang ini banyak rumah yang diberi pagar tinggi dan runcing. Pandangan dari jendela akan terhalang pagar tersebut. Aku membayangkannya seperti pikiran yang diberi pengaman, sensor, supaya tidak kemasukan unsur-unsur jahat, pikiran harus dijaga dan dibatasi karena dia mulia, banyak orang menganggap kerja otak lebih baik daripada kerja otot, kerja intelektual lebih berharga dari pada kerja kuli. Pembedaan ini begitu ketatnya, seperti pintu-pintu jaman sekarang yang dijaga satpam yang selalu menanyakan KTP pada tamu-tamu, kadang-kadang dilengkapi tulisan “awas anjing galak”. Beginilah urusannya kalau sudah menyangkut stratifikasi sosial, ruang luar sepenuhnya dianggap ancaman, pintu dan jendela perlu diberi penyekat.
Waktu kecil, ketika sedang berfikir di jendela ada kalanya aku tidak tahan untuk segera bergerak, melakukan sesuatu, apa saja, maka otomatis aku melompati jendela karena tak sabar menuju pintu, lupa akan nasehat Emak tentang maling. Tapi maling melintas jendela pertama-tama adalah untuk memasuki rumah, sedangkan aku untuk ke luar rumah; maling melakukan tindakan perkosaan, aku melakukan pembebasan pikiran, jadi ada perbedaan yang tidak hanya secara teknis. Kalau sudah begitu aku merasa pikiran dan tindakan tidak selalu bisa dibedakan dengan tegas. Yang satu tidaklah mendahului yang lainnya. Mungkin pikiran anak-anak memang seiring-sejalan dengan keseluruhan gerak anggota tubuhnya, pun segala sesuatu yang bergerak akan ditangkap dalam pikirannya.
Renungan tentang jendela dan pintu mengantarkanku pada sebuah kesimpulan: bahwa kita boleh berfikir seperti maling, tapi tidak boleh bertindak sebagai maling. Maling sungguhan akan dimasukkan ke dalam Penjara, yakni sebuah “rumah” yang secara prinsip tidak memiliki pintu dan jendela. Penjara sepenuhnya adalah sebuah Pagar yang ekstrim.
aant_subhansyah@yahoo.com
(ilustrasi: mifka blog)