nyeruput secangkir kopi, ditemani
camilan, sambil mendengarkan musik
favorit, sembari baca koran atau
nonton tivi. Tentu maknyoss
tenan, terasa seperti surga kecil --bagi sebagian orang. Tapi pernahkah kalian renungkan
tentang kerugian-kerugian
merokok? Bayangkan, asap rokok
yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari asap
knalpot. Apa jadinya kalau kita hembuskan dan dihirup anak kita, keluarga kita dan orang-orang
di sekitar kita?
Coba suruh anak kita duduk di
depan moncong knalpot, lalu suruh
dia menghisap asapnya. Mau orang-
orang yang kita sayangi seperti itu? Argumen klise yang sering
diteriakkan para perokok antara
lain: kami telah menyumbang cukai
yang jumlahnya tidak
sedikit, menyediakan banyak
lapangan kerja, dan segelintir dalih lainnya. Fakta lain, uang yang
dikeluarkan untuk biaya kesehatan
para perokok jauh berlipat
dibanding keuntungan industri
rokok. Tiap tahun total sekitar Rp
120 T dibelanjakan para perokok. Bukan jumlah yang sedikit, kan?
Ironisnya, para perokok
didominasi masyarakat
berpendidikan & berpenghasilan
rendah. Seharusnya uang itu mereka
belanjakan untuk makanan yang
bergizi & biaya pendidikan untuk keluarganya. Sangat jarang orang yang memiliki tingkat
pendidikan & penghasilan tinggi yang
merokok.
Kalo saja separuh perokok
Indonesia sadar, maka akan ada
sekitar 60 trilyun yang bisa dialokasikan untuk hal-hal penting
lainnya. Bayangkan efek positif
pengalihan alokasi anggaran para
perokok ini bagi keluarga &
sekitarnya. Kalo alasan buruh pabrik
& petani tembakau yang dipakai, toh mereka tetap hidup pas-pasan, yang
makin kaya tentu saja pemilik pabrik
rokok!
Coba hitung, sehari habis sebungkus
rokok seharga katakanlah Rp 10 ribu, sebulan
300 ribu gak berasa, anak-anak tega dikasih makan pake ikan teri
doang. Gimana bangsa Indonesia
mau maju?
Untuk itu, mari berhenti merokok
sekarang juga. Berhenti beli, berhenti
minta, berhenti hisap. Ingat, merokok, selain membahayakan diri juga membahayakan orang lain. Selain berdosa karena mendzalimi orang lain, kita juga berdosa karena mendzalimi diri sendiri. Jadi dobel deh dosanya. Akan lebih baik kalau duit yang sedianya buat beli rokok kita belikan susu untuk anak dan keluarga kita. Atau kita sedekahkan ke orang miskin, yang begini pastilah jauh lebih bermanfaat, dan berpahala pula. Gimana gak asyik coba?
Saya sendiri sempat jadi perokok aktif selama beberapa tahun. Semenjak lulus SMA dan sudah bisa nyari duit sendiri saya merokok. Meski kadang sebungkus bisa buat seminggu kadang untuk sehari, tergantung situasi. Syukurlah, sejak hampir 3 bulan ini saya total berhenti merokok. Seminggu pertama hampir kumat. Coba ngisep sebatang, anehnya saya sudah tidak menemukan kenikmatan merokok. Bener-bener hambar. Sejak saat itu hingga kini saya betul-betul total berhenti menghisap nikotin. Secara pasif sih masih, secara teman sepergaulan rata-rata perokok. Alhamdulilah banget tidak tergoda. :)
Ini hanya sekelumit analisa saya mengenai dampak negatif merokok, terutama dari sisi finansial dan kesehatan. Rokok memang menjadi dilema bagi kalangan masyarakat kita. Meski berdampak buruk, tetapi masih banyak masyarakat yang hidup dari rokok. Seperti petani tembakau, buruh pabrik rokok, juga penjual rokok. Mungkin sudah jadi hukum alam, akan ada sisi manfaat dan mudharat pada setiap hal. Pilihan tentu saja bergantung pada diri masing-masing. Sekali lagi, pilihan di tangan kalian. Satu hal, jangan egois dan sayangi orang-orang di sekitar kalian.
*diketik di Jakarta, dini hari 24 Januari, tahun naga air
Aan Nugroho SPd MTp
@AanNoe on Twitter