Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kampung Kecilku Kampung Tahayul (Bag 1)

25 Desember 2008   02:35 Diperbarui: 9 Februari 2016   10:40 692 0
TAHUN 1931, dalam sebuah buku tipisnya yang berjudul The World as I See It, Albert Einstein mengatakan: The most beautiful experience we can have is the mysterious. It is the fundamental emotion that stands at the cradle of true art and true science. Mungkin benar apa kata ilmuwan bermisai dan berambut khas itu.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan bermain masa kecil saya di kampung datang dan mengajakku berbincang lama tentang Kampiri, kampung masa kanak kami. Hal paling banyak kami perbincangkan adalah misteri: tahayul, pamali dan hal mistik lainnya.

Sudah dua tahun lebih saya tak pernah pulang kampung. Sejak 1997, tak cukup selusin kali saya bertandang ke sana. Jika pun pulang, paling lama sepekan. Kota telah merampas saya dari rengkuhan kampung kelahiran. Beberapa tahun lalu, ibuku memutuskan menjual rumah dan pindah ke Balikpapan mengikuti dua adikku yang lebih dulu menetap di sana. Artinya peluang saya untuk pulang kampung semakin berkurang banyak. Kampiri (awalnya bernama Amessangeng yang berarti ‘sesama keluarga’), kampung kecil tempat kelahiran saya terletak di desa bernama Biru, sebuah desa dengan hamparan sawah yang dihidupi aliran air Bendungan Sanrego. Desa Biru adalah satu dari belasan desa yang ada di Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Banyak hal unik dan menarik yang selalu saya kenang dari kampung kelahiranku, salah satunya adalah bahasa Bugisnya yang mungkin agak berbeda dengan bahasa Bugis lain yang dikenal orang. Seringkali orang menganggap bahwa jika seseorang berasal dari Bone, maka logat dan kosa-kata bahasanya semua sama. Nyatanya tidak. Hal itu saya tahu karena pernah tinggal selama hampir tiga tahun di Watampone, ibukota kabupaten. Bahasa Bugis yang saya bawa dari kampung menjadi tertawaan banyak orang di kota waktu itu. Kampung saya jauh lebih dekat dari Sinjai daripada Watampone sehingga bahasa Bugis saya lebih dekat ke bahasa Bugis Sinjai. Sengaja saya ungkap hal ini di awal tulisan karena banyak kosa-kata yang akan disebutkan dalam tulisan ini yang mungkin sedikit asing bagi pembaca.

Menyadari akan semakin jauh dari kampung, akhir-akhir ini saya sering menuliskan bermacam-macam hal tentang kampung itu. Kali ini saya akan berbicara tentang ‘dunia gelap’ yang selalu menjadi misteri bagi saya sejak lama. Orang-orang Kampiri kuat memeluk banyak kepercayaan tradisional seperti mitos, pamali, tahayul atau hal-hal semacam itu. Di sisi lain, mereka juga sangat kuat memeluk kepercayaan agama Islam. Kebanyakan sarjana yang ada di kampung itu menyelesaikan kuliahnya di Universitas Islam seperti IAIN Alauddin Makassar (sekarang UIN Alauddin)

***

SEJAK kecil saya sudah akrab dengan nama aneka jenis mahluk halus yang dipercayai orang di Kampiri. Pula saya akrab dengan dunia-dunia mistik lain yang seringkali menjadi perbincangan orang-orang tua di sana.

Kepercayaan rakyat atau sering disebut tahayul adalah hal yang bagi orang berpendidikan dianggap sederhana bahkan pandir, kolot, ketinggalan jaman, tidak beralaskan logika, secara ilmiah tak bisa dipertanggungjawabkan, dan seterusnya. Dalam bahasa Arab, kata ‘takhayul’ memang berarti ‘hanya hayalan belaka’—sesuatu yang hanya ada di angan-angan, yang sesungguhnya tidak ada. Tahayul berpadanan dengan kata ‘supertition’ dalam bahasa Inggris. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, ‘superstitio’, punya makna tak jauh berlainan: terlalu takut kepada dewa-dewa—yang mahluk-mahluk gaib juga.

Oleh para ahli folklore modern, penggunaan kata ‘tahayul’ untuk mewakilkan hal-hal yang berada di luar jangkauan akal dianggap mengandung makna merendahkan sehingga mereka lebih senang menggunakan istilah ‘kepercayaan rakyat’ atau folk belief. Meskipun orang punya pandangan merendahkan, anehnya, hampir tak ada orang, bagaimanapun modernnya, sungguh-sungguh lepas dari tahayul atau apapun penyebutannya. Kota yang dianggap mewakili wilayah modernitas juga tak pernah bisa betul-betul bersih dari tahayul. Media-media bahkan menjadikan tahayul dan kawan-kawannya sebagai pipa-pipa besar tempat mengalirnya uang milyaran rupiah. Itu adalah sedikit bukti nyata bahwa tahayul tak pernah berhenti gentayangan.

Ada satu klasifikasi tahayul yang pernah dibuat oleh seorang bernama Wayland D. Hand, redaktur bab Superstitious dari buku The Brown Collection of North Carolina Folklore Jilid VI dan VI 1. Saya menemukannya di salah satu halaman Majalah Tempo yang terbit 16 Maret 1985. Ia membagi tahayul ke dalam empat golongan besar: tahayul di sekitar lingkungan hidup manusia, tahayul mengenai alam gaib, tahayul mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, dan tahayul lain-lain.

Contoh tahayul di sekitar lingkaran kehidupan tampak nyata dalam peristiwa sehari-hari di kampung saya, mulai dari kelahiran (bahkan sebelumnya) sampai kematian. Seorang perempuan hamil sangat dianjurkan membicarakan, mendengar dan melihat hal yang bagus-bagus, jika sebaliknya dipercaya anaknya akan lahir jelek. Perempuan hamil yang selalu melihat orang cacat dipercaya akan melahirkan anak yang cacat pula. Sewaktu melahirkan, ari-ari bayi ditanam di bawah pohon kelapa agar kelak tumbuh seperti pohon kelapa: tinggi dan berguna—mengingatkan saya pada lambang Pramuka, organisasi yang pernah dimasuki nyaris semua orang seusia saya. Ari-ari bahkan dipercaya sebagai saudara kembar bayi. Sering pula dijumpai pinggang anak-anak kecil di kampung saya berkalung sebuah bantal seukuran jempol tangan diikat benang hitam. Dalam bantal kecil itu biasanya disimpan sedikit potongan ari-ari anak bersangkutan. Saya termasuk salah satu orang yang pernah mengenakan kalung serupa itu di pinggang. Kalung itu, kata nenekku, bisa melindungi saya dari bermacam-macam bala.

Sewaktu kecil saya juga tak sepenuhnya bebas bermain karena banyak larangan ini dan itu yang harus saya patuhi. Misalnya, keluar saat mangngaribi (magrib) atau bermain-main saat turun bosi tomate (hujan orang mati) sangat berbahaya. Keduanya dipercaya sebagai waktu mahluk-mahluk halus menyebar penyakit dan tulah. Itulah mengapa disebut bosi tomate, arwah-arwah orang mati itu menyebar penyakit saat turun hujan seperti itu. Selain itu, mangngaribi dipercaya pula sebagai waktu bergentayangannya longga, mahluk halus yang tinggi sekali (longga berarti tinggi) dan Asu Panting. Kedua mahluk halus ini sangat berbahaya menurut kepercayaan orang di kampung saya. Orang yang pernah melihatnya atau berpapasan meskipun tak melihatnya akan terkena sakit keras dan bahkan meninggal.

Berbicara tentang sakit, di kampung saya bahkan banyak penyakit yang dipercaya disebabkan oleh mahluk halus. Beberapa contoh yang masih saya ingat adalah; dahu-dahureng atau dawu-dawukeng dalam bahasa Bugis Bone yang umum dikenal, penyakit ini ciri-cirinya adalah di dada dan di punggung ada luka, seolah-olah bekas tombak yang menembus tubuh. Maddahu atau maddawu berarti menombak. (Perhatikan salah satu perbedaan penting dalam kosa-kata Bugis itu, di kampung kami bunyi ‘w’ menjadi ‘h’ seperti bahasa Bugis Sinjai.) Hampir serupa dengan penyakit itu, ada juga penyakit yang dikenal sebagai tado-tadoreng, di leher terlihat seperti bekas kena jerat, dan sarippeseng, di punggung ada luka yang perih seperti bekas orang disarippe (dipukul—dengan tali atau rotan). Untuk menyembuhkan penyakit itu juga kadang menggunakan hal yang nampak sama sekali tak masuk akal. Salah satu sepupu saya pernah menderita sarippeseng dan diobati dengan tahi cacing tanah yang masih basah (tanah serupa bukit kecil tempat cacing tanah menggali lubang).

Jika di sebuah rumah terdapat seorang yang sakit, pemilik rumah harus ‘memagari’ rumahnya dengan baca-baca (mantera) khusus sambil biasanya menyiram dengan air garam di sekeliling rumah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari parakang yang memiliki ‘indera penciuman’ sangat tajam untuk mendeteksi tempat orang sakit berada. Parakang adalah satu jenis hantu atau mahluk halus di Bugis yang sangat ditakuti. Parakang bisa mengubah diri menjadi bermacam-macam wujud: pohon pisang, kambing, tangkai-tangkai bambu atau ampoti (keranjang dari daun kelapa tempat bertelur ayam).

Suatu waktu nenekku pernah cerita pada saya bahwa parakang mengisap pello (rektum) orang sakit. Parakang melihat orang sakit seperti sebiji nangka atau buah-buahan lain yang matang sempurna dan menggiurkan untuk dicicipi. Seorang tetangga saya dulu oleh orang-orang kampung dianggap sebagai parakang. Beberapa anak muda menghaluskan pecahan beling dan menaburkannya di pelimbahan orang itu. Konon, dengan begitu, parakang akan tersiksa dan akhirnya pindah. Orang yang diduga parakang itu memang pindah kampung mengikuti suami keduanya. Saya tak tahu persis apakah itu berhubungan dengan bubuk beling di pelimbahannya atau tidak. Selain pecahan beling, konon melepaskan belut di pelimbahan juga ampuh menyiksa parakang. (Bersambung)

 

AAN MANSYUR, Blogger

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun