Setiap hari ia menanyakan hal yang sama, “apa yang sebenarnya kau cari?”
Setiap hari pula aku menjawabnya dengan gelengan kepala, dengan mulut yang terkatup rapat.
Diam.
Lalu aku beranjak pergi. Membuka pintu apartemenku dan tumpah ruah dengan jutaan balon-balon pikiran yang hilir mudik di jalan. Aku bergabung dengan mereka, robot-robot yang waktunya digantikan oleh sejumlah nominal.
Dan seorang bocah yang sama pula menatapku disenja hari. Sesaat setelah aku membanting pintu, melepas sepatu sekenanya, dan mengendurkan simpul dasi.
Bukan, bukan pertanyaan, melainkan senyuman.
Dibalik cermin, bocah itu hanya tersenyum saja. Seakan mencoba menghibur wajahku yang layu, yang sari pati hidupnya habis terhisap oleh monster bernama rutinitas.
Hampir setiap hari, saat aku menyempatkan diri menengok cermin, bocah itu selalu hadir. Di pagi hari, ia bertanya. Dan di sore hari, ia tersenyum saja.
Dua puluh lima tahun setelahnya, setelah perjumpaan pertamaku dengan bocah itu, belakangan aku mulai tersadar. Barangkali sudah sedemikian terlambat.
Dan rasanya seperti tertampar.
Bahwa pagi akan terjawab senja. Bahwa jawaban dari pertanyaan bocah itu tak lain adalah senyumannya sendiri.
Bocah itu adalah aku, api kecilku yang telah mati.
Yogyakarta, 16 Oktober 2012