Pengalaman mengalahkan bayangan. Demikian kata-kata bisa diracik.
Semula, sebagian teman peserta Gowes Merdeka Jogja-Borobudur berniat untuk cukup memancal sepeda sampai di Ancol. Separo jalan. Dalam bayangan mereka, Borobudur teramatlah jauh. Sedari awal, mereka sudah yakin tidak akan sanggup menempuh. “Bolehkah kami ikut jika tidak sampai tujuan?” pinta mereka saat menyodorkan pendaftaran nir formulir.
Tentu saja boleh. Yang tidak boleh, seperti yang saya tulis di pengumuman fesbuk, adalah berhenti di tengah jalan. Kalau mau berhenti harus minggir. Jika di tengah, bisa tertabrak!
Maka, berbondong-bondonglah teman-teman itu ke Bundaran UGM, pagi 17 Agustus 2010, petang sebelum matahari terbit. Waktu menunjukkan pukul 05.00 wib ketika satu per satu mereka menampakkan hidung.
Sudah ada Bang Ugartua Rumahorbo saat saya tiba. Setelan kostum merah-merah khas atlet sepeda lintas nusantara menandai keseriusan abang yang hobi sepedaan ke kantor ini. Masih gelap, dari kejauhan saya tak mengenalinya. Beda sekali penampilannya dengan keseharian sebagai eksekutif Penerbit Erlangga yang termasyur itu.
Dari ujung telpon, Danu Primanto memberi kabar sedang dalam perjalanan setelah memastikan mendapatkan pinjaman sepeda. Entah teman yang mana yang ia perdaya. Yang terang, fotografer situs berita Jogja http://www.tourjogja.com ini datang secara sumringah, dengan wajah sendunya yang senantiasa tampak teduh.
Bambang MBK, wartawan aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ngebut dari arah selatan. “Saya khawatir ditinggal,” bisiknya mendapati jumlah sepeda yang tidak sebanyak yang ia bayangkan. Ia pikir ini event akbar yang bakal diikuti ratusan atau ribuan peserta layaknya acara sepeda gembira yang kerap digelar di Jogja.
Dari arah punggung, turun dari lereng Merapi, dengan satu-satunya sepeda lipat yang ikut, datang Wisnu Nugroho (Inu), wartawan Kompas penulis buku Pak Beye dan Istananya (Penerbit Kompas, 2010). Berkaos “45 Tahun Kompas Merajut Nusantara”, ia seperti hendak melanjutkan keikutsertaan dalam gowes Surabaya-Jakarta tempo hari yang sempat diikutinya di sepenggal rute saat peserta melintas di Jogja.
Berturut-turut teman-teman lain datang. Chandra Sena, Laga, Haris, Sugeng, Wompy, dan Bayu, dari Komunitas Gowes Koprol Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ada yang penuh semangat sejak beberapa hari lalu, ada yang baru semalam memutuskan ikut gara-gara dibujuk kiri-kanan.
Ada kejutan. Dua teman cewek ikut serta pula. Kejutannya bukan karena mereka cewek. Bukan pula karena mereka belum pernah bersepeda jauh. Lalu?
Mereka datang tergopoh-gopoh. Dari arah timur. Saya pikir, mereka sedang berpacu dengan matahari –dan mereka menang. Masih gelap saat mereka datang. Saya tidak lekas menyapa karena mereka, Anka dan Yuyut, langsung duduk di bibir boulevard. Anka menyelonjorkan kedua kakinya. Ia menambal kedua lututnya dengan kapas. Ups, ternyata habis terjatuh. “Tadi waktu lewat Jalan Solo, ada orang gila nglempar batu ke kami. Kami jatuh. Yuyut tak luka. Orang gila itu lari mendekat, kami pun lebih dulu lari,” ungkap Anka tanpa meminta iba. Hebat, mereka memutuskan untuk maju terus!
Alhasil, kami pun bersiap. 13 orang bergabung. Beberapa teman lain urung karena berbagai alasan. Ada yang mendadak mendapat tugas kantor. Ada yang lembur mengerjakan tugas ibunya. Ada yang kakinya pegal duluan. Ada yang tak memberi kabar.
Karena belum semua saling mengenal, kami berdiri melingkar. Saling mengenalkan diri sambil menatap wajah-wajah yang belum terbasuh sinar mentari. Pemimpin perjalanan dan penyapu di buntut rombongan pun kami tentukan.
Berangkat!
Kami memasuki kompleks Universitas Gadjah Mada. Terus ke utara, melewati samping Grha Sabha Pramana, lalu berfoto bersama di halaman Balairung. Arsitek kantor pusat UGM tersebut adalah Ir Soekarno, yang memilih untuk meninggalkan karir keinsinyurannya –dan ini tidak pernah dipertanyakan di pelajaran sejarah sekolah kita– untuk menjadi aktivis kemerdekaan republik, menjadi presiden pertama republik, dan mati sebagai orang buangan presiden kedua republik.
Usai menjunjung sepeda melompati celah pintu pejalan kaki di pagar Balairung, kami menuju Selokan Mataram. Susur selokan pun kami mulai. Ke arah barat. Matahari sudah semburat. Melewati jembatan baru yang melangkahi Kali Code, kami terus menggowes santai ke barat, menyeberangi Jalan Magelang dan Jalan Lingkar Barat.
Begitu lepas dari sana, pemandangan alam mulai dominan menghampiri mata kami. Tidak lagi permukiman yang kami susuri, melainkan bentangan sawah yang menghijau. Air selokan yang coklat pekat, yang mengalir melawan arah kami, seperti mengiringi deras aliran darah di tubuh kami. Penuh semangat!
Di simpang Jalan Cebongan, kami berhenti sejenak di sebuah bengkel sepeda motor yang baru buka seintip pintu. Kami butuh pinjam kunci pas untuk membetulkan roda sepeda Yuyut yang nggesut gara-gara jatuh tadi. Beres!
Jalan beraspal di pinggir Selokan Mataram mulai naik turun sejak itu. Permukaannya mengikuti kontur tanah di sekitar aliran kali irigasi buatan zaman Jepang itu. Sedikit tanjakan memaksa kami menekan pedal lebih tegas. Sedikit turunan memanjakan kami pada udara sangat segar yang boleh kami hirup.
Sampai di ruas Seyegan, sekitar pukul 06.30 wib, kami mulai beriringan dengan adik-adik SMP yang hendak berangkat ke sekolah. Ini tanggal merah. Mereka masuk untuk ikut upacara bendera tujuh belasan. Bangga melihat mereka mau naik sepeda. Hare geneee masih ada yang mau ke sekolah keringetan?
Karena sudah hobi bersepeda, Mas Inu, Bang Ugar, dan Mas Bambang, melaju cepat di depan. Sedang teman-teman yang lain, karena tidak pernah bersepeda, atau tidak terbiasa melaju di jalan raya (on road), tercecer di belakang. Alhasil, pada titik-titik tertentu kami saling menunggu.
“Weh, pit-e antik… pit-e antik,” teriak anak-anak SMP 2 Tempel saat menggumuni sepeda lipat Mas Wisnu, saat kami berhenti di persimpangan selokan dengan jalan raya penghubung Tempel-Klangon. Mungkin ana-anak itu membatin, ada orang sudah gede kok masih mainan sepeda anak-anak.
Usai melewati jalan kampung, karena jalan tepian selokan sudah “habis” kami memasuki kawasan Ancol. Di sini, di Kali Progo ini, kepala Selokan Mataram terletak, sedang ujung ekornya ada Sungai Opak sana, sejengkal dari Candi Prambanan di timur sana.
Semula, sebagian teman hendak berbalik kanan di sini. Namun, pengalaman asyik sepanjang jalan tadi, plus komporan dari kami, mendidihkan adrenalin mereka untuk melanjutkan perjalanan. “Itu tanjakan terakhir kita,” tunjuk saya pada ruas jalan terjal di seberang sungai, menjawab keingintahuan seorang teman yang hendak meyakinkan niatnya. “Tanggung, masa udah sampai sini nggak sekalian ke Borobudur,” teman yang lain tak kalah garang memanas-manasi.
Akhirnya, ditambah bergabungnya dua teman, Andon dan Dedy Kristanto, yang menyusul, tak satu pun penggowes mengayuh mundur pedalnya. Semua maju, tak terkecuali Anka yang lecet lututnya merembeskan darah. Mas Bambang yang puasa saja bersemangat, masa yang lain loyo.
Sepenggal jalan bebatuan menanjak segera kami tempuh untuk meninggalkan Kali Progo ini. Ini tanjakan terjal pertama yang kami hadapi sejak 25 km pertama. Sebagian besar kami terpaksa memperlakukan sepeda kami layaknya sapi yang hendak disembelih. Menuntun sepeda.
Di ujung tanjakan, kelezatan lintasan halus menyambut kami. Dalam nafas yang tersengal-sengal usai menuntun, kembali saya yakinkan teman-teman bahwa di depan sana datar-datar saja. Hanya ada sedikit tanjakan. Bersemangatlah mereka melaju, melewati plang petunjuk arah tempat ziarah “Sendang Sono”.
Tahun lalu, di tanggal yang sama, saya bersepeda sendirian ke kompleks peziarahan Maria itu. Juga melewati sebagian penggal Selokan Mataram. Kali ini, melalui ajakan “iseng-iseng berhadiah” di fesbuk, saya mengajak teman-teman bergabung. Dan ternyata banyak yang berminat.
Ternyata, tanjakan terjal dan turunan curam kembali menyambut kami. Sebagian besar peserta terpaksa kembali bergelayut di samping sepeda. Gigi pedal tak ada lagi yang mau menolong. Gir paling enteng pun sudah putus asa.
Gerutu mulai terlontar. Gerutu yang justru memacu hasrat untuk terus melaju. “Kunto kurang ajar. Katanya tadi tanjakan terakhir. Nggak tahunya masih ada tanjakan lagi,” kami tertawa lepas di sebuah warung kecil di seberang Pasar Japuan-Tanjung Magelang. Jarak peserta terdepan dan terbelakang begitu jauh. Maka kami putuskan beristirahat di sana. Hanya Mas Bambang yang puasa, dan tetap puasa hingga kembali pulang nanti. Kami makan dan minum di warung soto milik ibu berkerudung itu. Ber-14 cuma habis Rp 50.000. Bang Ugar yang traktir.
Rambu-rambu di tengah jalan itu melegakan kami. “Borobudur 7 km”. Saya yakinkan teman-teman jika trek terakhir ini datar-datar saja. Tak ada lagi tanjakan. Nyatanya, sampai di Borobudur, tanjakan terakhir itu tak pernah ada. Walau kemiringannya kecil, tetap saja ada tanjakan.
Namun, syukurlah, walau tak pernah mendapati tanjakan terakhir, tak satu pun peserta menyerah. Tepat pukul 10.00 wib, kami tiba di pintu masuk Borobudur. Sesuai target. Dan untuk turut merayakan hari jadi Republik Indonesia, kami berfoto bersama sembari mengepalkan tangan kiri di atas-depan kepala. Tanpa kibaran bendera merah putih, kecuali bendera milik pengelola. Juga, tanpa sedikit pun emblem atau embel-embel keindonesiaan lain. Kami bercelana pendek, berkaos oblong, jauh dari layak jika harus upacara bendera.
Kelar berfoto di depan papan nama Taman Wisata Candi Borobudur, kami menyusuri jalan kampung di samping kompleks candi Buddha tinggalan Dinasti Syailendra abad ke-8-9 ini. Kami tidak berfoto di dalam kompleks, mendekati candi, karena oleh petugas kami dilarang masuk mengendarai sepeda. Ironis memang, di negara agraris ini, pola hidup orang-orang agraris justru disingkirkan. Tentang pelarangan sepeda ini, silakan baca tulisan saya di sini.
Ya, sudah. Yang penting kami sudah mencapai tujuan. Setelah cukup berpantas muka dengan jepretan kamera, kami pun bergegas kembali ke Jogja. Mampir Candi Mendut. Di siang yang sangat terik. Lewat rute yang minim “tanjakan terakhir”.
Yogyakarta, 18 Agustus 2010
Salam Gowes Merdeka,
AA Kunto A
[aakuntoa@gmail.com; http://www.aakuntoa.wordpress.com]