Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Pelayanan yang (Tidak) Menyenangkan

11 September 2013   08:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:04 254 1
"Mau apa, Mas?!", tanya Teller sebuah Bank di daerah Jababeka I, Cikarang, pada tanggal 28 Agustus 2013. Setiap harinya, Bank yang berdiri di sebelah hotel ini sangat ramai dan tidak pernah ditemukan tanpa antrian di hari kerja. Jawaban jutek yang saya dapatkan membuat saya menduga bahwa hal ini dipicu oleh kejadian sebelumnya; saya mengantri nomor antrian Teller untuk print buku tabungan namun dipersilakan satpam langsung karena proses print dia nilai cepat sehingga tidak perlu nomor antrian. Tetap woles, saya menanggapi santai "Print buku tabungan, Mbak." Petugas tersebut mengambil buku, membuka halaman muka, menginput data, kemudian matanya sedikit melotot karena terkejut; mungkin karena data akun saya, bukan nilainya loh (#jadimalu). Setelah proses print selesai, sikap petugas tersebut berubah 180 derajat; "Sudah selesai, Bapak. Ada yang bisa dibantu lagi?", disertai senyuman manis di wajahnya dan ditutup "Terima Kasih" setelahnya.

Pengalaman ini saya namakan The Astra Effect. Saya memang membuka rekening saya, di bank yang sama dengan yang sudah saya ceritakan, di cabang AMDI, Sunter dimana lokasi tersebut merupakan kantor pusat Astra. Pembukaan rekening itu sendiri saya lakukan sebagai persyaratan berkontribusi untuk Astra.

Memandang rendah, by default

Salah satu hal mendasar yang saya perhatikan dari orang-orang yang memberikan servis mereka adalah melihat dulu siapa yang akan dilayani. Kalau seseorang tersebut terkenal, atau punya banyak uang, banyak sekali privileges yang dia dapatkan. Mulai dari antrian-cepat (bukan bebas antri), diskon, dan terutama dalam bahasan ini attitude atau sikap. Betapa manis dan indahnya dunia dalam mendapatkan pelayanan when you are somebody; senyuman cantik, sambutan hangat, bahkan plastik dibawakan dan pintu dibukakan. Bagaimana seandainya orang yang mendapatkan servis sama sedang tidak rapi; memakai celana pendek, sandal jepit, kaus oblong, rambut disisir tanpa wax? Apa iya sih dia mendapat servis yang sama seperti sebelumnya? Kalaupun iya, itu karena orang yang pernah memberi servis inget atau dia memang terkenal.

Penampilan kan memang yang pertama dilihat orang? Sangat SETUJU! Memang baik sekali jika bisa rapi setiap waktu. Namun, ternyata hal ini membentuk semacam konsekuensi dimana seseorang yang mungkin sedang tidak rapi, mungkin karena memang sedang casual, tidak lagi mendapatkan servis yang memuaskan. Tidak jarang saya dengar "Ah, dia kan cuma disuruh. Ngapain gua harus baik-baikin dia?", atau, "Ah, mahasiswa biasa doang, bapaknya juga bukan pejabat. Biarin aja!". Maka, setelah merenungi dan memperhatikan semua ini, tidak heran orang sering mengeluh dan marah-marah karena merasa diri penting juga. Saya membayangkan bagaimana jika by default, atau standar terendah, dalam melihat menerima orang lain adalah 1 level. Sepertinya, yang akan muncul adalah kerendahan hati, penghormatan dan penghargaan yang berujung pada good service. Yah, sepertinya...

Service SOP : Keramahan Artifisial

"Selamat Siang! Apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?", tanya seorang petugas kasir di gerai ayam goreng renyah pada saat tiba giliran saya memesan. Seluruh ucapanya disambung jadi satu seolah-olah tidak ada pemisah atau jeda! Semua dilakukannya demi terpenuhinya SOP dan tidak kena audit! Di lain kesempatan, saya mendapat jawaban yang awalnya menyenangkan di sebuah gubug Pizza, "Pilihan tepat", disertai acungan jempol. Namun, entah mengapa, setiap item yang saya pesan petugas penerima order tersebut terus menjawab hal yang sama, bahkan untuk menu yang batal saya pesan!

Saya pernah merenungkan; ini yang aneh SOP, yang bikin SOP, atau yang melaksanakan SOP? Setelah berkonsultasi dengan senior-senior tempat saya pernah berkontribusi di bidang assurance, SOP sejatinya tidak bernyawa, namun dapat menghilangkan nyawa jika tidak diikuti. Bisnis itu hidup karena dilakukan oleh manusia. Karena itu, perlu adanya upaya mengerti mengapa diatur demikian di SOP. Sepertinya ini yang miss; auditor mungkin hanya akan melihat kesesuaian dan sulit sekali menjaring kepuasan pelanggan (konteksnya servis).

Heart Service vs. Heart Attack Service

"Sore, Bapak! Wah, saldonya masih cantik banget nih! Hati-Hati di jalan ya, Pak!" Siapa kira-kira yang memberi sapaan sehangat ini? Saya mendapatkan sapaan sehangat ini, dalam kondisi casual dan sisa saldo kartu debit hanya 50 ribu (bapak itu #lebay, mungkin), dari seorang penjaga gerbang toll di daerah Cibitung I. Luar biasa karena penjaga lain terkadang seperti robot. Waktu transaksi dengan pejabat tersebut kurang dari 10 detik, dan service-from-heart terasa sekali. Melihat ini, alasan "standar pembatasan waktu transaksi" menjadi sekedar upaya pembenaran atau ngeles. Bapak ini bekerja enjoy sekali diiringi lagu dangdut. Di lain waktu saya bertemu petugas yang sama, dia masih seramah ini. Senang sekali kalau bertemu Bapak ini. Di sini saya merasakan pengalaman mendapatkan heart service yang ternyata membuat pelanggan tidak resisten untuk datang kembali, bahkan diharap. Saya rasa ini contoh bagus tidak memandang rendah by default; pengemudi truk sampai mobil mewah disapanya semua!

Kejutan bisa menjadi menyenangkan atau tidak menyenangkan. Bayangkan apabila pelayanan yang kita dapat tidak sesuai harapan, apa reaksi kita? Sebagian ada yang (berusaha) woles dan memberikan feedback namun sering saya lihat pelanggan memberikan feedback yang ofensif dengan cara agresif. Pelanggan tersebut, saya rasa, berusaha supaya meyakinkan dirinya dan orang lain untuk tidak mendapatkan jebakan batman dari pelayanan yang sudah dia dapatkan. Ketidakpuasan mengendalikan orang tersebut menjadi kasar dan marah-marah serta ofensif. Mungkin kalau begini, lama-lama dia bisa kena heart attack karena tensinya sering meninggi. Inilah yang saya rasakan dari Heart Attack Service; setelah dapat pelayanan bawaannya emosi aja - ngerti gitu gausah aja dari awal.

AAD

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun