Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Awas, Bahaya Kuning dari Utara

12 Juni 2015   09:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 450 0

 Awas, bahaya kuning dari utara! Dahulu, pada era (memasuki) Perang Dunia II, peringatan semacam ini ditujukan untuk waspada terhadap bahaya invasi militer Dai Nippon. Faktanya, balatentara imperial negeri matahari terbit itu memang melakukan invasi ke hampir sebagian besar negeri di Asia Timur, Asia Tenggara dan Pasifik, sekaligus memulainya perang besar di kawasan ini.
Sekarang, bukan Jepang alias Jepun yang harus diwaspadai, tapi balatentara kuning lainnya yang tampak semakin besar dan semakin pongah serta nampak berambisi bernafsu besar untuk menjadi agressor. Siapa lagi kalau bukan negeri China alias RRC. Di tengah geliat pertumbuhan ekonomi yang menguat, China pun begitu ambisius untuk menunjukkan dirinya sebagai negeri superpower di dunia. Dengan anggaran militer yang besar, China bukan saja ingin menguatkan pertahanannya, tapi mulai bernafsu menginvasi negeri-negeri jirannya.
Sekarang ini, bukan hanya Korea Selatan dan Jepang yang ngeri dengan agresifitas Militer China, negeri-negeri Asia Tenggara pun tak lepas dirundung khawatir. Konflik wilayah di Laut China Selatan berpotensi bagai bara api dalam sekam, menunggu waktu saja untuk berkobar membara.

Sebagai negeri yang semakin kuat, China sudah menunjukkan keangkuhan dan niat ekspansinya. Konflik kepemilikan kepulauan Spratly merupakan pemicu yang boleh menjadi penyebab konflik terbuka, selain sengketa kepulauan Paracel (antara China dan Vietnam). Padahal secara kasat mata, kepulauan Spratly ini lebih layak menjadi milik negeri-negeri Asia Tenggara kerna memang lebih dekat secara geografis. Namun dengan tidak memperdulikan etika hubungan antarabangsa, China sengaja mengabaikan semua itu. Bukan pula menunjukkan niat penyelesaian melalui dialog, malah China rupanya telah sedari lama secara sepihak membuat peta sendiri yang memasukkan wilayah negeri orang ke dalam wilayahnya, membangun benteng laut (mungkin pangkalan militer) dan secara rutin mengirim tentara lautnya berpatroli di wilayah sengketa. Di sini terlihatlah nafsu besar angkara murka negeri tirai bambu tersebut.

Sederhananya, Jika kepulauan Spratly yang jauhnya ribuan mil dari daratan China itu sengaja diklaimnya, sesungguhnya bukan semata kerna adanya potensi sumber daya alam (cadangan minyak dan gas), tapi sejatinya jika kepulauan itu jatuh dikuasai China, maka selain akan meluaskan klaim wilayahnya, juga berpotensi sebagai pangkalan militer untuk pijakan agresi dan invasinya ke kawasan Asia Tenggara, mungkin juga ke kawasan Pasifik.

Jangan pernah lupa sejarah, bahwa sedari jaman dahulu, negeri dan bangsa China adalah negeri dan bangsa yang suka berperang dan menginvasi negeri lain. Tengok saja kisah Tibet dan Uyghuristan. Pun, jika China mengklaim kepulauan Spratly dengan asumsi sejarah bahwa telah sejak lama wilayah ini menjadi rute perdagangan bangsa China, maka bukan tidak mungkin China akan mengklaim wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara yang pernah menjadi lokasi bermastautin dan berdagangnya bangsa China. Misalkan Pulau Pinang, Singkawang, Pontianak, Mandor, Monterado, Belitung, dan sebagainya.

Masalahnya, siapkah negeri-negeri Asia Tenggara jika harus berdepan muka secara langsung dengan China? Dengan kekuatan militer yang besar dan terus membesar sekarang ini, bahkan jika semua negeri-negeri Asia Tenggara yang ikut berkonflik dengan China ini bergabung, belum tentu mampu menghalau kekuatan PLA China. Belum lagi secara ekonomi, pengaruh ekonomi China yang disokong oleh "Jaringan China" adalah penguasa ekonomi di rantau Asia Tenggara ini bahkan di dunia.

Jika sedemikian adanya, maka siap-siaplah menghadapi agresi dan invasi China. Bersiap-siaplah untuk bernostalgia di dalam kawasan medan perang Asia Timur Raya! Dan awas, bahaya kuning dari utara!
(Tok Angah)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun