SEJATINYA sudah sejak lama saya mencium aroma tak sedap hubungan Jokowi dan Ahok. Bahwa telah terjadi disharmoni kepemimpinan di antara mereka berdua. Hanya saja, selama ini Ahok berhasil menahan diri meski itu bertentangan dengan karakter aslinya yang ceplas-ceplos. Bisa jadi karena Ahok lebih memikirkan dan mendahulukan kepentingan yang lebih besar.
Rupanya pertahanan Ahok jebol juga. Terkait dikeluarkannya Instruksi Gubernur No. 150 tentang larangan penggunaan kendaraan pribadi baik roda empat dan roda dua ke kantor bagi seluruh pejabat dan PNS di lingkungan Pemprov DKI.
Alih-alih Ahok menaati Intruksi Gubernur tersebut, bahkan dia jadi orang pertama yang melanggarnya. Ahok tetap menggunakan kendaraan dinasnya, Toyota Land Cruiser ke kantornya. Dia berkilah, kalau menggunakan angkutan umum dia harus berganti kendaraan sebanyak 3 kali. Waktu tempuhnya pun jadi molor, yaitu selama45 menit. Sedangkan kalau menggunakan mobil dinas hanya butuh waktu sekira 20 menit.
Ketika ada beberapa PNS yang menyindirnya, Ahok segera menyemburkan ucapan pedasnya. “Mau nggak mereka ikut saya kerja?” ketus Ahok. Dia merasa paling bekerja keras di lingkungan Pemprov DKI. Sampai di kantor paling duluan dan pulang paling belakangan. Hampir semua urusan di Jakarta, dia yang meng-handle-nya.
Menurut analisa saya, sikap penolakan Ahok terhadap Instruksi Gubernur tersebut sebagai wujud akumulasi kekesalan Ahok. Karena selama ini, banyak kebijakan Jokowi yang sebenarnya tidak disetujui Ahok.
Sebagai latar, Ahok pernah curhat ke media. Dia mengatakan bahwa Jokowi keseringan ambil jatah cuti. Cuti untuk ikut kampanye pemenangan jagoan PDIP di beberapa Pilkada Gubernur maupun Bupati/Walikota. Belum lagi ketika cuti karena Jokowi pulang ke kampungnya di Solo. Ketika Jokowi cuti, otomatis Ahok harus jadi penjaga gawang sendirian di Jakarta. Curhatanke media ini akhirnya diredam sendiri oleh Ahok agar tidak terjadi polemik di masyarakat.
Ahok juga kesal ketika Jokowi keseringan blusukan yang seringkali tidak ada urgensinya. Apa gunanya SKPD, Walikota, Camat, Lurah, dan seluruh jajaran Pemprov DKI kalau gubernurnya sendiri harus selalu blusukan dan turun ke bawah? Hal ini akan memberi kesan bahwa kepemimpinan di DKI tidak efektif. Jajaran di bawahnya hanya akan bergerak di saat ditungguin langsung gubernurnya. Namun untuk kasus ini Ahok juga tidak mengembangkan di media.
Kekesalan Ahok berikutnya adalah ketika Jokowi sedang gencar-gencarnya membumi hanguskan kesenian topeng monyet di wilyah Jakarta. Saat itu, Ahok tidak setuju karena kesenian topeng monyet adalah salah satu seni budaya Betawi yang seharusnya dilestarikan.
Menurut Ahok, jauh lebih baik mengurus anak terlantar dan “gepeng” yang memang merupakan perintah konstitusi. Jangan karena monyet dan binatang lain saat itu sedang jadi issue internasional lantas diurus duluan. Lagi-lagi untuk kasus ini Ahok bisa menahan diri dan tidak mengembangkan di media manapun.
Lebih mengejutkan lagi dan sempat menimbulkan polemik, ketika Ahok dengan lantang mengatakan bahwa dia akan mundur dari politik seandainya nanti Jokowi maju jadi calon presiden (capres). Dia merasa politik bukan habitatnya. Habitatnya adalah sebagai pengusaha.
Statemen terakhir ini memang sangat mengejutkan dan terdengar aneh keluar dari mulut Ahok. Toh, Ahok sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia politik dan tiba-tiba mengatakan politik sebenarnya bukan habitatnya. Ada apakah dengan Ahok? Jujur, saya juga belum tahu jawabannya.
Kembali ke disharmoni kepemimpinan Jokowi-Ahok. Jikalau ketidakharmonisan ini tidak segera dicarikan solusinya, saya khawatir akan menjadi bom waktu. Sewaktu-waktu bisa meledak dan terjadi pecah kongsi seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Foke dan Prijanto. Jokowi dan Ahok harus menyempatkan waktu untuk duduk bersama menyelesaikan masalah ketidakharmonisan ini.
Semoga Jokowi dan Ahok tetap bersatu dan kompak sampai selesai menunaikan tugasnya sebagai gubernur dan wakil gubernur dan berhasil mewujudkan harapan warga betawi menjadikan Jakarta baru.
Semoga bermanfaat. Salam
Foto: Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama
Sumber Foto: Ismar Patrizki/Antara