Penulis buku
Three Cups Of Tea, David Oliver Relin, ditemukan tewas di rumahnya di Mutlnomah Country, Oregon, Amerika Serikat, pertengahan November lalu. Ada bekas benturan benda keras di kepalanya. Ia diduga bunuh diri lantaran depresi setelah mengetahui kisah di buku best seller tersebut ternyata fiktif.
Three Cups of Tea menceritakan tentang perjuangan Greg Mortenson, seorang pendaki yang tersesat di pegunungan Himalaya. Ia terdampar di sebuah desa berpenduduk syiah. Oleh penduduk, ia diberi sup dan dirawat hingga pulih. Sebelum pergi, Mortenson berjanji akan kembali dan membangun sekolah untuk mereka. Janji itu dibuktikan Mortenson. Ia benar-benar kembali ke Himalaya, menemui para kepala suku di sana dan membangun sebuah sekolah. Persentuhannya dengan orang-orang muslim Pakistan di lereng Himalaya membuka matanya: Islam tak seseram seperti yang sering digambarkan para politus Amerika Mortenson juga mengkritik cara-cara Amerika memberantas –apa yang mereka sebut– teroris. “Jika melawan teroris adalah sebuah perang, maka kita tidak akan memenangkannya dengan sebuah bom, tapi dengan sebuah buku.” Dalam paragraf lain, Mortenson menulis: “Di saat perang, seringkali kita mendengar para pemimpin –Kristen, Yahudi, Islam– berkata, ‘Tuhan ada di pihak kita!’ Itu tidak benar. Sebab saat perang, Tuhan hanya berpihak pada para pengungsi, janda, dan anak-anak yatim.” Kisah Mortenson ini membuat saya jatuh hati sejak kali pertama membaca. Ini kisah nyata, setidaknya itulah yang diklaim penulisnya di lembar pertama. Mortenson menuturkan kisah ini kepada Oliver Relin yang kemudian menerjemahkannya menjadi sebuah novel yang indah. Tapi kematian Relin membuat saya patah hati. Sebab, kabarnya, Relin bunuh diri setelah tahu kisah Mortenson itu ternyata fiktif! Ia tak sanggup menanggung beban moral, seperti fotografer Kevin Carter yang bunuh diri beberapa hari setelah menerima pulitzer. Kebohongan Mortenson, jika itu benar, diungkap Jon Krakauer lewat buku berjudul
Three Cups of Deceit (Tiga Gelas Penipuan). Krakauer menelisik ulang perjalanan Mortenson di Himalaya dan menemukan beberapa kebohongan. “Delapan bab pertama Three Cups of Tea adalah karya fiksi rumit yang disajikan sebagai fakta,” tulis Krakauer. “Mortenson berbohong tentang kebaikan yang ia lakukan, perjalanan yang ia tempuh, dan sekolah yang telah ia dirikan.” Sebelumnya, seorang pembaca juga pernah menggugat Mortenson ke Pengadilan Negeri Montana. Ia merasa ditipu dengan label ‘non fiksi’ buku tersebut. Gugatan itu memang ditolak hakim, namun Mortenson diminta mengembalikan dana amal sekitar US$ 1 juta. Hakim menilai Mortenson menggunakan dana donasi itu untuk membiayai perjalanan dan promosi bukunya. Kejaksaan menyebut tindakan Mortenson sebagai “Biaya Pribadi yang tidak pantas.” Mortenson sampai saat ini belum memberikan tanggapan atas tudingan miring terhadap bukunya tersebut. Tapi kematian Oliver Relin rasanya sudah melebihi jawaban apapun yang kita inginkan dari Mortenson. Saya pun sudah terlanjur patah hati. Ada yang mau buku
Three Cups of Tea? _DW_ mampir ke
BLOG saya ya..hehe
KEMBALI KE ARTIKEL