(Potongan doa Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang diamini istrinya, Ibu Ainun Habibie dengan anggukan kepalatepat pada hari ulang tahun pernikahan mereka yangke 48, 12 Mei 2010, di Intensive Station I-3 LMU Klinikum Universitas Muenchen).
Kisah ini diawali dari pertemuan dua insan pada tanggal 7 Maret 1962 di kediaman Keluarga Besari di Jalan Rangga Malela no. 11 B Bandung. Saat itu Habibie muda yang baru pulang dari Jerman untuk liburan di Indonesia diajak oleh adiknya, Fanny (J.E. Habibie) untuk bersilaturahmi ke kediaman keluarga Ainun yang sedang bersiap untuk merayakan malam takbiran Idul Fitri tahun itu. Tanpa sengaja Habibie berjumpa kembali dengan Ainun di ruang makan duduk seorang diri mengenakan celana blue jeans dan sedang menjahit.
Betapa terkejutnya Habibie melihat Ainun telah menjadi wanita dewasa yang cantik dan anggun hingga seketika berseru “Ainun, Kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir”
Dengan tenang sambil tersenyum Ainun membalas “Rudy, kapan kamu tiba dari Jerman?”
Keduanya telah tidak bertemu lebih dari 7 tahun sejak lulus SMA. Mereka sama-sama sekolah di SMA Kristen di Jalan Dago. Suatu hari karena kesal sering dijodoh-jodohkan dengan Ainun oleh para guru karena sama-sama berbadan kecil, paling muda di kelasdan pintar dalam ilmu pasti, Habibie mendatangi Ainun yang sedang duduk bersama teman kelasnya. Tanpa alasan apapun langsung berkata tidak sopan“Mengapa kamu begitu hitam dan gemuk?”
Namun setelah malam itu, Habibie tidak akan pernah bisa melupakan pandangan mata dan senyuman lembut Ainun sampai kapanpun.Besoknya ketika Habibie mengajak Ainun bertemu lagi, beberapa kawan mereka berujar “Rudy, kamu mau jadikan Ainun pacarmu? Kamu harus tau diri! Sainganmu anggota keluarga terkemuka Indonesia yang berpendidikan lebih tinggi, lebih kaya, lebih ganteng dan lebih besar dari kamu! Kamu siapa? Sepeda motor saja tidak punya!..”
Dengan keyakinan dibalas Habibie “ Saya percaya takdir seseorang ditentukan Allah SWT. Jikalau memang Ainun ditakdirkan untuk Saya dan Saya ditakdirkan untuk Ainun, maka Insya Allah Ainun akan menjad istri saya dan Saya menjadi suami Ainun”
Akhirnya Habibie memberanikan diri mengajukan pertanyaan “Apakah Ainun sudah memiliki kawan dekat?” karena tidak dibalas, maka Habibie mengulangi pertanyaannya sekali lagi. Setelah itu Ainun berhenti, sambil memandang mata Habibie, Ainun menjawab “Saya tidak memiliki kawan atau teman dekat dan khusus”
Karena cuti Habibie di Indonesia hanya 3 bulan, maka mereka sepakat untuk menikah sebelum Habibie kembali ke Jerman.Dengan dukungan penuh kedua keluarga, akhirnya Akad nikah dilaksanakan tanggal 12 Mei 1962 dengan adat Jawa di kediaman keluarga Besari. Seketika lingkungan kehidupan habibie berpindah dari Ibu yang membesarkannya, karena ayahnya telah meninggal tahun 1950 ketika memimpin shalat Isya di atas Sajadah, ke istri yang akan mendampinginya membentuk keluarga.
Ainun yang waktu itu telah menjadi dokter di RSCM memutuskan ikut dengan Habibie ke Jerman meninggalkan keluarga, sahabat dan pekerjaannya untuk mendampingi suami menyelesaikan program doktor di bidang konstruksi ringan. Hidp di Aachen Jerman, dengan gaji asisten Professor dan Peneliti yang sebesar DM 1.300 (sekitar 680 Euro), Habibie mulai kewalahan karena harus membiayai kedupannya bersama Ainun. Banyak pengeluaran seperti asuransi, sewa tempat tinggal dan transportasi yang cukup menguras keuangan mereka. Untuk itu Ainun dan Habibie rela hidup hematmengurangi pengeluaran dengan pindah tempat tinggal ke pinggir kota dan kadang berjalan kaki melewati kuburan dalam cuaca dingin untuk menghemat uang transport.
Karena harus mempersiapkan kelahiran bayi pertama maka kesulitan keuangan keluarga kecil ini semakin bertambah. Semuanya dikerjakan sendiri. Habibie membelikan mesin jahit untuk ainun dengan dicicil, agar bisa menjahit sendiri. “Maafkan, kemampuan saya hanya ini”
Ainun mencium Habibie dan menjawab dengan pandangan mata dan senyuman“Kamu sudah memberi yang lebih indah dari semuanya.. Saya mengandung bayimu, anakmu dan keturunannmu”. Kemudian mereka bersyukur sambil berpelukan memanjatkan Al-Fatihah bersama.
Habibie kemudian mengajukan ijin bekerja di perusahaan kereta api Jerman untuk menambah penghasilan. Ia bekerja mendesain gerbong kereta menggunakan teknologi konstruksi ringan. Tantangannya adalah menyalurkan gaya 200 T yang diterima gerbong melalui seluaruh permukaan kulit gerbong kereta. Dengan kerja keras dan dukungan istri, Habibie berhasil dan membantu perusahaannya mendapatkan kontrak. Demikian pula dengan riset S3 mengenai metode thermoelastisitas untuk menghitung tegangan akibat pemanasan kinetik pada sayap pesawat terbang. Habibie sempat sampai pada kesimpulan teorinya salah total, sehingga usahanya meraih gelar doktor bisa gagal. Namun dengan ketenangan Ainun disertai tatapan mata dan senyumnya memberi masukan “Saya yakin bahwa semua yang dikembangkan Rudy sudah benar. Mungkin ada kesalahan pada angka masukan yang begitu banyak. Mengenal kemampuanmu, Saya sangat yakin akan keunggulanmu”. Dan memang benar apa yang dikatakan Ainun. Inilah yang membuat Habibie menamai anak pertama yang kemudian lahir “Ilham Akbar”, mengingat Ainun selalu memberinya Ilham dalam dalam hidup. Habibie akhirnya meraih gelar Dr. –Ing.pada tahun 1965.
Selepas mendapat gelar doktor, Habibie segera mendapat tawaran untuk melanjutkan riset di bidang thermoelastisitas untuk dapat menjadi guru besar di RWTH- Aachen. Ada juga tawaran bergabung dengan Boeing. Namun akhirnya Habibie lebih memilih bergabung dengan perusahaan pesawat yang tergolong masih kecil di Hamburg bernama HFB agar dapat lebih banyak mengambil ilmu yang kelak bisa di manfaatkan bagi pembangunan bangsa. Gaji awalnya sebesar DM 2.500. Sebagai Doktor termudadi perusahaan, Habibie sering dimintai konsultasi oleh rekan-rekannya. Bahkan sebagian mencoba menguji kemampuannya. Hari-hari Habibie menjadi sangat sibuk hingga tidak sadar bahwa Ainun telah mengandung lagi. Thareq Kemal lahir Tahun 1966.
Karena kecerdasan dan kerja kerasnya dalam menyelesaikan beberapa project dengan memuaskan, karir Habibie terus menanjak. Tahun itu Habibie mendapat kunjungan dirjen pendidikan tinggi Departemen Pendidikan yang memberikan ijin bekerja dengan catatan jika negara memerlukan maka Habibie harus segera pulang. Tahun yang sama Habibie pulang ke Indonesia untuk menghimpun data mengenai fasilitas dirgantara nasional yang mungkin akan dikembangkanya nanti. Ainun memanfaatkan waktu selama di Indonesia untuk mengenalkan Indonesia kepada Ilham dan Thareq, juga kepada kerabat-kerabat dan kawan lamanya.
Habibie dan Ainun memutuskan pulang ke Indonesia pada tahu 1974 saat mengepalai pengembangan iptek untuk perusahaan gabungan MBB. Waktu itu keadaan keuangan keluarga Habibie telah mapan. Ainun merelakan diri untuk mengurus sekolah anak-anak lebih dahulu sebelum pulang. Mereka merelakan meninggalkan rumah yang baru dibangun di Kackerbeck. Habibie juga menolak tawaran menjadi warga Jerman, serta tawaran mengembangkan tekhnologi dari Presiden Marcos di Filipina. Kepulangan Habibie tidak lepas dari peran Ibnu Sutowo sebagai Dirut Pertamina waktu itu, yang ditugaskan oleh Presiden Suharto untuk memulangkan Habibie.
Presiden Suharto mempunyai visi untuk mengembangkan kemampuan penguasaan tekhnologi bangsa Indonesia sehingga bisa bersaing dengan negara maju. Untuk mengakomodir visinya dibentuklah Divisi Advance Technology Pertamina. Disinilah Habibie mulai bekerja mengembangkan dasar-dasar penguasaan tekhnologi bangsa ini. Pembangunan IPTN dimulai dari tahun 1975 dengan banyuan “kader teknologi” yang pulang ke tanah air. BPPT didirikan tanggal 21 Agustus 1978 menggantikan Divisi ATP. Pada tahun 1978 itu juga Habibie di lantik menjadi Menristek. Habibie juga turut mengembangkan industri strategis nasional seperti PT. IPTN, PT. PAL, PT Pindad dan PT Inka.
Pesawat pertama hasil produksi PT IPTN dan CASA terbang perdana pada tahun 1984. Menyusul kemudian pesawat pertama yang murni diproduksi PT IPTN N 250 terbang perdana 10 Agustus 1995. Salah satu pesawat tercanggih dikelasnya waktu itu. Hal ini menumbuhkan kebanggan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Atas proposal yang diajukan mahasiswaUniversitas Brawijaya bernama Erik Salman Habibie bersama tokoh muslim Indonesia mendirikan ICMI tanggal 7 Desember 1990. Atas dukungan Presiden Suharto dan 49 Ilmuwan Habibie menjadi ketua ICMI. Disini Habibie turut berpartisipasi dalam pendirian Harian Umum Republika yang kemudian melahirkan lembaga Dompet Dhuafa. Bank Muamalat dan Yayasan Orbit juga berdiri atas andil ICMI.
Selama mendampingi Habibie menjadi pejabat dengan pekerjaan yang sangat padat, Ainun selalu memberikan dorongan dan semangat dengan senyuman lembutnya. Ainun juga terlibat dengan berbagai kegiatan yang bersifat kemanusiaan. Seperti orang tua asuh dan panti jompo.
Mulai tahun 1996, Ainun mulai bermasalah pada pernafasan dan jantung. Atas saran Dokter Rumah Sakit MMC Ainun dibawa ke rumah sakit di Bad Oeynhausen Jerman. Saat itu tidak ada kamar kosong yang tersedia. Namun Habibie bersikeras menggunakan kamar darurat. Mereka mendaftarkan 2 pasien agar Habibie bisa berbaring disebelah Ainun meski dokter menyarankan menginap di hotel. Firasat Habibie benar, malam itu Ainun mengalami serangan jantung dan harus segera dioperasi. Operasi sukses dilaksanakan dengan mengganti klep jantung. Semenjak saat itu Habibie memutuskan untuk mundur dari kabinet periode mendatang untuk lebih memperhatikan Ainun dan membayar waktu Ainun dan anak-anak yang telah dirampas pekerjaannya selama ini.
Namun takdir mengatakan lain, Presiden Suharto mengangkatnya menjadi Wakil Presiden tahun 1998. Ainun kembali mengalah. Tak lama kemudian reformasi bergulir dan Habibie di angkat menjadi Presiden RI ke 3 menggantikan Suharto yang mengundurkan diri.
Salah satu alasan Habibie tidak mau dicalonkan lagi menjadi presiden tahun 1999 adalah kesehatan Ainun yang kembali memburuk.Habibie memilih mendirikan The Habibie Center (terinspirasi Carter Center) agar tetap bisa berperan dalam pembangunan tanah air.
Bulan Mei 2000, Ainun kembali dibawa ke Jerman karena kondisi kesehatannya. Sistem kekebalan tubuh Ainun menurun, sehingga tidak diperkenankan tinggal di daerah khatulistiwa. Pasangan ini menghabiskan waktunya di pusat rehabilitasi Jerman, Swiss, Spanyol, Austria dan Hongaria berdua. Mengunjungi pusat-pusat kebudayaan eropa. Menikmati kasih sayang dan cinta sejati mereka di usia senja. Habibie tak pernah meninggalkan istrinya sendirian. Dia menemani Ainun kemanapun.Baru tahun 2004 Ainun diperbolehkan pulang ke Indonesia. Itupun tidak boleh lebih dari 3 bulan. Sesuai saran dokter, Habibie mambawa Ainun menikmati udara laut,berlayar dengan Queen Marry, Queen Elizabeth dan Queen Victoria yang mempunyai fasilitas kesehatan lengkap. Mengarungi Perairan Eropa dan Karibia. Mengunjungi banyak negara seperti Jepang, Hongkong, Australia, Korea Selatan berdua saja. Ainun dan Habibie sangat menikmati masa ini, karena mereka bisa menjadi wisatawan pertama kalinya berdua saja.
Mereka menonton Madame Butterfly karya Giacomo Pucini di Sidney Opera House setelah sebelumnya pernah menyaksikan Opera Love Story La Boheme di National Theatre Muenchen sambil berpegangan tangan dan menangis. Mereka juga pergi ke sebuah bukit di Nagasaki,setting terjadinya Love Story Madame Butterfly.
Selama hidup bersama Habibie, Ainun rutin melaksanakan puasa senin-kamis berdua. Membaca Alquran pada malam hari hingga beberapa juz. Dalam waktu penyembuhannya Ainun dan Habibie beberapa kali mampir di Mekah untuk menunaikan Umroh.Hubungan cinta antara mereka menciptakan semacam telepati, yang memungkinkan bisa berkomunikasi tanpa bicara. Cukup dengan tatapan mata. Bahkan jika mereka tidak berada di lokasi yang sama. Hal ini bahkan telah diakui oleh dokter-dokter di Jerman.
Cinta ini yang kemudian dinamakan Habibie sebagai “Cinta sejati, suci, murni, abadi..”.Habibie merasakan bahwasanya dia dan Ainun telah menyatu “ Manunggal roh, jiwa..”.
Pada Maret 2010, Habibie membatalkan rencananya berlayar dengan kapal Queen Victoria setelah hasil pemeriksaan MRI di rumah sakit MMC menunjukan adanya kanker ovarium satdium 3 atau 4 pada tubuh Ainun. Segera dibawanya Ainun ke Jerman dengan pesawat Luthfansa. Setelah 10 jam terbang, Ainun mengalami kesusahan bernafas sehingga harus dibantu tabung oksigen. Penerbanganpun dipercepat hingga 30 menit. Ainun langsung dijemput dengan ambulans. Sesampainya di rumah sakit LMU- Muenchen, Habibie berjanji akan terus berada di sisi Ainun, setidak-tidaknya satu atap. Selama dua bulan Habibie tidak keluar dari rumah sakit untuk menemani Ainun menjalani belasan kali operasi dan therapy.
Dalam kondisi kritis Ainun masih memikirkan yayasan-yayasan yang dia kelola. Seolah-olah semua harus tuntas sebelum dia meninggal.
Karena terlalu memperhatikan kesehatan isterinya, kondisi fiik Habibie menurun. Suatu hari Habibie baru dibolehkan masuk ke ruangan ICCU pukul 12.00 karena dilarang dokter, ketika masuk Ia mendapati isterinya menangis.
Habibie pun bertanya “Ainun, mengapa menangis? Sakit?” Ainun menggelengkan kepalanya karena dimulutnya dipasang alat pernafasan.
“Takut sama peralatan ini?” Ainun kembali menggelengkan kepalanya.
“Saya mengerti sekarang. Kamu mengira telah terjadi sesuatu pada saya?” Sambil menangis Ainun mengangguk. Mereka bertatapan mata, dengan perasaan sama seperti ketika bertemu pada 7 Maret 1962.
Tanggal 12 Mei 2010 di rumah sakit LMU-Muenchen Habibie dan Ainun merayakan ulang tahun ke 6 Windu atau 48 tahun pernikahan mereka dalam keadaan memprihatinkan. Habibie memanjatkan doa yang diamini Ainun dengan anggukan kepala. Doa yang berisi ucapan terimakasih kepada Allah karena telah menyatukan mereka dalam cinta sejati yang indah. Ketika diperkenankan Habibie mendampingi Ainun tidur bersebelahan sambil berpegangan tangan, memandikan Ainun dengan air zam-zam.
Ketika dokter meminta izin untuk melakukan operasi ke 13 pembersihan jaringan kanker pada Ainun, dengan kesal Habibie bertanya “Anda sudah mengoperasi istri saya 13 kali dan hasilnya makin memprihatinkan. Apakah jika Istri saya dioperasi lagi anda dapat menggaransi keadaan Ainun menjadi lebih baik? Kalau anda dapat memberi garansi saya akan menyetujuinnya”.
Jawabab dokter “Kami tidak dapat memberi garansi”
“Kalau demikian, apa gunanya istri saya dioperasi lagi. Saya serahkan kepada Tuhan. Saya hanya memohon agar anda tidak memberi rasa sakit lagi kepada istri saya”.
“Apakah Anda membenarkan kebijaksanaan Saya?”
Dokter serentak menjawab “Kebijaksanaan Prof. Habibie sudah tepat, jika kami dalam keadaan Prof Habibie, Kami akan mengambil keputusan yang sama”
Seketika Habibie menangis didepan para dokter, dan meminta agar jika sudah waktunya Ainun meninggal, maka jangan diperlihatkan monitor denyutan jantungnya. Habibie takut menjadi histeris. Dokter menyanggupi permintaan Habibie. Mereka menyatakan kagum dengan cara Ainun an Habibie menghadapi semua ini dengan cinta yang murni. “Kami banyak belajar selama dua bulan ini, semoga Tuhan melindungi Anda berdua “.
Tanggal 22 Mei 2010 Pukul 17.20, Profesor memberi tahukan kepada Habibie bahwa waktu Ainun telah hampir tiba. Habibie membisikan syahadat ke telinga Ainun sambil mengelus tangan dan kepala istrinya. Pukul 17.30 Waktu Muenchen Ainun meninggal dunia.
“INNAA LILLAHI WA INIAA ILAIHI ROJI’UUN, AINUN Saya sangat cinta padamu”
Setelah Ainun meninggal banyak simpati berdatangan dari berbagai kalangan. Dari Presiden hingga anak kecil berumur 10 tahun yang mengirim surat “Yth. Bapak Habibie yang saya sayangi, Namaku Zahra umur 10 tahun. Aku mau bilang, jangan bersedih lagi ya pak. Bapak harus tersenyum. Saya yakin Ibu Ainun sekarang sudah di surga...” pada lembaran kedua terdapat empat bait lagu ciptaannya dan Ibunya.
Hingga hari ke 100, setiap hari Habibie berziarah ke makam Ainun. Setelah melalui proses berfikir menggunakan filsafat dan kepercayaan agama, akhirnya Habibie mulai Ikhlas merelakan kepergian Ainun. Dengan keyakinan suatu saat mereka akan dipertemukan kembali di akhirat. Setiap hari sehabis sholat lima waktu Habibie memanjatkan doa yang mereka panjatkan bersama di rumah sakit Muenchen.
Ini adalah kisah nyata Cinta dua orang manusia yang diabadikan lewat memoar karya B.J. Habibie berjudul “Habibie & Ainun” sebagai persembahan kepada istrinya Hasri Ainun Habibie. Bukan sekedar fiksi romansa tragis macam Romeo Juliet.
Ya Allah, berikanlah kepada saya kemampuan mencintai Istri saya kelak sebagaimana Habibie mencintai Ainun.... Amiin.