Saya tidak bodoh. Saya tahu semua tanda yang kamu kirimkan lewat bahasa mata, cinta.
Saya bodoh. Saya tidak tahu cara menerima atau menolak kiriman itu.
“Tiap kita adalah pembaca.” Ayah memulai petuah. Kunci untuk menjadi pembaca yang baik adalah kerendahan hati, nak. Delapan tahun silam, Ayah banyak cerita tentang kegiatan ‘membaca’ kehidupan. Gunung, sawah, jalan raya, gempa, hujan, sinar matahari, bau basah tanah, dan segala yang ada di alam ini (menurutnya) adalah objek baca yang terhebat. Kala itu, Ulfa hanyalah anak SMP yang gerah ingin segera melepas mukenah dan menghambur ke depan televisi. Baginya, membaca adalah mengeja kalimat-kalimat yang tertulis di buku. Itu saja.
Hari ini datang. Ulfa bersikeras menerobos petak-petak memori untuk menemukan kembali sejumput nasihat Ayah. Selain kopiah hitam, sarung kotak-kotak hijau, sinetron favoritnya, juga dengungan nyamuk, tidak ada yang mampu diingatnya lagi. Dia meraba dalam kesamaran, pernahkah Ayah membahas tentang aplikasi setelah ‘membaca’? Adakah di antara kumandang adzan Ayah menjelaskan kepadanya menghadapi situasi ini? Ah! Ulfa menahan dadanya yang terasa sesak. Dia ingin bertemu Ayah sekali lagi dan bertanya, “Aku membaca tanda dalam bahasa matanya, Ayah. Apa yang harus aku lakukan kemudian?”
Ini bukan tentang luapan banjir yang mengisyaratkan kemarahan alam, ini tentang sebuah perasaan. Ketika engkau mampu membaca bahasa mata seseorang, lalu engkau menemukan cinta, lantas apa yang harus diperbuat selanjutnya?
#
“Aku tak memiliki jawabannya, Wa?”
Beberapa detik berlalu sunyi.
“Apa yang harus dijawab, Fa. Bukankah tidak pernah ada pertanyaan?” Memecah sepi yang membekukan, membuat Wawa hati-hati berkata.
Tidak ada pertanyaan, Ulfa tersentak oleh jawaban sahabatnya. Yah, bukankah selama ini dirinya hanya membaca. Mengeja semua isyarat yang dengan bebas dia tafsirkan sendiri. Pada Wawa, dirinya, juga pada Tuhan dia deklarasikan itu adalah: Cinta.
Ah, keyakinanku terlalu besar untuk menyimpulkannya.
Wawa menggenggam tangan Ulfa, “Kamu terjebak dalam spekulasi, Fa. Seperti bunga api di simpan dalam tempurung kepala. Meledak-ledak. Tak pernah padam. Berhati-hatilah Fa, ini akan menyakitimu kelak…”
Ulfa terdiam. Kumpulan detik menggumpal dalam kehampaan. Ada yang berteriak di tempat tersembunyi, Menggema. Ulfa kadung percaya pada keyakinannya. Juga teriakan hatinya sendiri.
Ini cinta!
#
Perempuan terkadang sibuk dengan perasaannya sendiri. Suara Nia mengulang tanpa diminta, membuat Ulfa memarahi seluruh komponen tubuhnya yang selalu saja salah mengerjakan sesuatu hari ini. Ada yang tak sinkron. Ada yang tak balance. Bahkan gurauan Nia yang tidak ditujukan untuknya begitu tajam mengiris.
Ada apa ini?
#
Angin menderu. Menerbangkan rok. Memainkan jilbab putih. Burung-burung berkicau. Langit cerah pada pukul tujuh pagi. Seperti ada yang menarik langkahnya untuk melaju ke halte yang sempat dihindarinya beberapa hari belakangan, Ulfa menangkap sesosok dari kejauhan.
Tinggal beberapa depa mereka bertemu. Laksana kilat, pikiran Ulfa dipenuhi ‘hasil bacanya’ selama ini. Mata lelaki itu, senyum, suara, laku, tawa, sejak hari Ulfa melanggar rambu-rambu pandangannya, menjadi satu bahasa: cinta. Dan detik ini, Ulfa justru memilih berbalik lantas bergegas pergi. Dia menyadari sesuatu. Namun terlambat. . .
“Fa!” seru seseorang memberhentikan langkahnya.
Lalu lalang pejalan kaki, arus kendaraan yang mulai ramai, obrolan sepintas pemuda-pemudi, mengaburkan debar jantungnya. Ulfa meremas ujung jilbab. Ayah…
“Iya, Fir.” suaranya tercekat di kerongkongan. Bersikaplah sewajarnya, Fa. Rutuknya sambil mengibaskan kepala.
“Kamu sakit?”
“Tidak. Ada perlu apa yah?”
“Saya pikir kamu mau nunggu angkot di halte itu, tapi kok malah pergi? Haha…” tunjuk Zafir sambil meninggalkan tawa hambar di ujung kalimat. Ulfa mencoba tersenyum, “Eh, saya melupakan sesuatu.” terpaksa dia berbohong.
Oh.
Satu kata dari Zafir menyublim kegelisahan. “Ada lagi?” tanya Ulfa. Tidak ada. Hatinya menjawab sendiri pertanyaan yang seharusnya tak dilontarkan, ayolah buat spasi sejauh mungkin Fa.
Sepucuk surat tersodor di hadapan Ulfa. “Ini memang cara klasik, Fa. Namun ini yang terbaik.” Zafir segera menyetop angkot dan masuk ke dalam. Meninggalkan Ulfa. Juga sepucuk surat.
#
Ulfa menghitung detik. Apa yang harus aku lakukan, Ayah? Sepertimu aku telah membaca, namun benarkah ada yang salah dengan objek bacaku. Atau cara membacaku. Dimana letak kekeliruan itu, Tuhan?
“Aku tidak memiliki jawabannya, Fa.”
“Mungkin aku akan sepertimu, Wa. Entah ketika pertanyaan itu ada atau tidak.”
Ulfa menutup pintu kamar. Meninggalkan Wawa. Juga sepucuk surat.
***
#Cerpen ini terinspirasi dari buku “Berjuta Rasanya” karya Tere Liye. Mari membaca dengan kerendahan hati. Salam Autumn.
*Ketua FLP Cab. Maros
*Cerpen ini pernah dimuat di Koran Harian Fajar Makassar :)