"Kamu nggak bosan di rumah terus?" Tanya ibu.
"Aku lagi usaha berhemat, bu. Mau servis hape yang baterainya cepat habis," gerutunya.
Ibu menghampiri Anggi dan menepuk pundaknya dengan lembut, "Mau nemenin ibu panen, nggak? Cabai dan nangkanya sudah bisa diambil," ajak ibu.
Dahi Anggi mengerut, matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan. Sinar matahari belum terlalu menyengat dan udaranya masih segar.
"Mau.. Tapi aku cuci muka dulu ya," sahutnya sambil bangkit dari tempat tidur.
Setelah cuci muka, mengenakan sunscreen dan mengenakan topi, Anggi menyusul ke halaman belakang rumah yang didominasi dengan tanaman kecintaan ibu. Ia menghampiri ibu dan segera membantu memetik cabai yang sudah merah merona.
 "Akhirnya panen juga, ibu menananmnya dari biji lho!"
"Oh, cepat juga, ya?"
"Makanya harus rajin disiram dan dikasih pupuk," tambah ibu.
Anggi mencermati cabai-cabai yang masih berwarna hijau muda. Ia ingat dulu ibu sampai menadahkan air hujan untuk menyirami cabanya. Ia melirik ibu yang bersenandung memilah cabai.
"Bu, kalau kita masih bisa beli, kenapa harus tanam sendiri? Kan ibu jadi capek, kulitnya juga jadi kusam," tanya Anggi bingung.
Ibu tertawa lantang dengan pernyataan anaknya yang tidak salah sama sekali. Beliau mengusap peluh dari dahi dan tersenyum ke anak perempuannya.
"Ibu kan juga harus berhemat kayak kamu, harga cabai di sini naik.. Aplagi bapak sama adikmu suka makan pedas. Lumayan bisa hemat tiap belanja sayur," jelas ibu dengn santai.
Setelah memetik cabai secukupnya, mereka berjalan ke pohon nangka yang tidak terlalu tinggi. Ibu sudah membungkus buahnya dengan karung bekas beras agar tidak kena hama. Anggi bertugas untuk menangkap buahnya dan ibu yang akan naik dinglik kemudian memotong tangkai nangka.
"Hati-hati ya, bu,"
"Iya, pegang karungnya, ya. Berat lho,"
Benar saja, nangka yang dibungkus karung cukup berat, membuat badan Anggi nyaris hilang keseimbangan. Ibu terkekeh melihat anak perempuannya sempoyongan kemudian turun dari dingklik.
"Makasih, nak. Hasil panen kedua, nih!" Decak ibu dengan bangga.
"Ibu nanam pohon ini dari kapan?"
"Wah.. Mungkin ada delapan tahun. Ibu tanam dari biji!"
"Lama ya.." Gumam Anggi.
Mereka kembali ke dalam rumah, meletakkan hasil panen kecil-kecilan kebun ibu. Anggi menuangkan air dingin dan menyerahkan gelasnya ke ibu.
"Makasih, sayang," sahut ibu.
Walaupun ibu berkeringat tapi rautnya terlihat bahagia. Anggi meneguk air dingin dan menatap ibu.
"Kok ibu bisa suka berkebun, sih? Kan panas, kotor, belum lagi kalau tanamannya mati. Kenapa nggak suka jalan-jalan kayak tetangga atau saudara ibu yang lain? tanyanya penasaran.
Ibu tertawa lepas, "Kok tanya begitu? Nak, bahagia itu dari diri sendiri,"
"Tapi kulit ibu jadi kusam dan keriputnya lebih banyak dari bude-bude yang lain.." Protes Anggi.
"Yang penting ibu sehat dan bahagia, kan? Nak, ibu sudah tua. Capek kalau harus ke restoran makan-makan. Belum pegeluaran transpor, macet.. Mending di rumah dan berkebun."
"Ibu beneran bahagia?" Tanya Anggi takjub.
Ibu tersenyum lebar, "Iya. Lihat tanaman dari benih dan biji tumbuh besar. Liht mereka berbuah, rasanya senang, bangga dan puas."
"Tapi kadang ibu suka kesal kalau ada tanaman yang mati. Kayak pohon kersen kemarin," balasnya.
"Iya, dong! Itu bagus untuk stabilin gula darah, eh mati.. Tapi kan bisa dipotong terus tanam ulang. Mirip seperti kehidupan, kadang kita gagal, tapi dengan kegagalan itu kita belajar banyak dan harus berani mencoba lagi. Harus bangkit lagi," jelas ibu.
"Kan tumbuhnya lama?"
"Ibu belajar sabar dari berkebun, nak. Prosesnya lama tapi pas panen, rasanya bangga, senang dan puas! Nikmati prosesnya, jangan melulu soal panennya."
Anggi mengangguk, matanya melirik pojok halaman belakang yang mash kosong. Kemudian ia menatap ibu yang bersantai di kursi.
"Bu, aku mau coba tanam daun bawang dan kangkung, boleh?"
Mata ibu berbinar, "Kamu mau? Boleh! Sore nanti kita sama-sama ke belakang, ya!"
Melihat ibunya yang antusian, Anggi tersenyum. Mungkin ini bisa jadi awal hobinya yang tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak juga menjadi hobi yang membuatnya bahagia seperti ibu.