Tubuhmu menggigil meniru-niru langit telanjang yang kehilangan bintik cahaya. Gusarmu menyergap lebih cepat dari bising jangkrik yang merambat.
Belum sempat kau hitung berapa kali butir embun pecah menelungkup dibibir atap, kau telah selesai menjadi peramu bagi mata jiwa.
Sekali lagi kau mematung, tak ada kosa kata yang berdenyut. Hanya pudar, perlahan-lahan, yah perlahan-lahan. Menyinggahi gelap.
Kupang, 21/4/20