Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Televisi Bheneka Tunggal Eka

28 Agustus 2010   18:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 328 0

Sewaktu saya melakukan penelitian lapangan di salah satu desa di lereng Merapi Yogyakarta. Saya menyusuri bermacam-macam ruas jalan desa yang tidak jarang saya kembali lagi karena jalan tersebut buntu. Kebiasaan masuk (blusukan) ke daerah-daerah yang dianggap keramat, menyisir setiap petak sawah, perempatan jalan, dan juga ajang pergumulan orang banyak, sering saya lakukan. Ada kemenyan mengepul di ruas-ruas jalan yang sepi, kembang setaman berserakan di pojok-pojok sawah petani, beberapa garam menggaris mandala di sudut-sudut jalan yang angker. Semua itu terjadi karna sebentar lagi desa ini akan menjalankan ritual pilkades. Pengalaman blusukan seperti ini adalah pengalaman biasa bagi para antropolog, bahkan pengalaman saya ini masih tergolong amatir. Empat bulan lebih saya meninggalkan dunia perkotaan, tidak membaca Koran, menonton TV, mematikan HP. Ini semua saya lakukan untuk merasakan betul bagaimana “menjadi” masyarakat pribumi, sehingga ‘rasa’ masyarakat itu bisa saya rasakan sesempurna mungkin. Setelah dua minggu menjalani ‘ritual pertapaan’ gaya para antropolog. Saya mulai mengaktifkan HP saya kembali, dan setiap seminggu sekali saya membaca Koran daerah namun masih minus menonton TV.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun