Satu sisi ada yang merespon positif. Terutama, mereka yang merasa dirugikan dengan penerapan Kurikulum 2013. Tak sedikit pula yang tidak sepakat. Mengingat K-13 masih seumur jagung pelaksanaannya. Apalagi, kurikulum ini menelan biaya sekitar Rp6 triliun. Namun sayangnya, biaya yang begitu besar belum diikuti dengan mulusnya pelaksanaan di lapangan. Lalu, apa yang salah dengan kurikulum di Indonesia? Dan, siapa yang harus bertanggung jawab? Inilah yang harus kita jawab bersama.
Kurikulum 13 di Persimpangan Jalan
Sebenarnya berbicara perubahan kurikulum bukan hal yang baru lagi di negeri ini. Setiap ada pergantian penguasa, di situlah kurikulum juga mengalami perubahan. Tentunya, perubahan tersebut tidak lepas dari perkembangan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dampaknya pun sangat memengaruhi kualitas pendidikan itu sendiri.
Hingga kini, kurikulum pendidikan di Indonesia belum memenuhi standar mutu yang jelas dan kongkret. Kalau berdasarkan pada fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional, mestinya perubahan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa masa depan. Kurikulum pendidikan sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan kebutuhan, tantangan, tuntutan, dan perubahan masyarakat.
Topik utama ketika kita memperbincangkan pendidikan itu adalah manusia. Kenapa manusia? Karena, manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan. Sebuah pernyataan yang lazim dan sering kita dengarkan bahwa tujuan sejati pendidikan adalah memanusiakan manusia. Ungkapan ini seakan terus diperbincangkan dan disetujui untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan, sebagai pegiat dan pelaksana pendidikan.
Oleh karena itu, hemat saya, pendidikan mestinya melahirkan pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi, bertanggung jawab, dan bersifat proaktif dan kooperatif. Bangsa ini membutuhkan generasi yang andal dalam bidang akademis, sekaligus memiliki watak dan karakter yang baik. Singkatnya, generasi yang diharapkan bangsa ini adalah pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis dan berbudi luhur.
Sekarang, kita coba melihat bagaimana penyelenggaraan UN yang kerap diwarnai dengan kecurangan dan ketidakjujuran. Lalu, bagaimana mungkin bangsa ini bisa melahirkan generasi-generasi yang jujur dan baik, kalau pendidikannya sudah terbiasa dengan sistem ketidakjujuran.
Meneropong Implementasi Kurikulum 2103
Sukses tidaknya sebuah kurikulum dalam tataran implementasi tergantung kepada peran dan kreativitas guru. Sebagus apapun kurikulumnya, kalau gurunya tidak bisa menyampaikan dan mengimplementasikan dengan baik, maka dijamin akan sia-sia dan berjalan di tempat. Maka di sini pentingnya sebuah kreativitas seorang guru. Saya sering diskusi dengan beberapa guru pengajar. Hampir semua guru yang saya ajak diskusi itu merasa kewalahan dengan Kurikulum 2013 ini. Minimnya kesiapan guru dalam menerapkan kurikulum ini karena banyak guru yang belum mendapat pelatihan. Belum lagi ketika memasuki proses penilaian rapor yang bentuknya penilaian deskriptif.
Nah, di saat guru tidak siap dengan kurikulum ini, di saat itu pula guru terbebani dan disibukkan dengan urusan sertifikasi. Kesibukan itu membuat guru kelelahan, sehingga asal-asalan saat mengajar. Padahal, program sertifikasi guru ini telah menguras sekitar dua per tiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN. Tetapi ternyata, tidak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional.
Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri”, tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Kurikulum ala Pesantren
Dalam konteks ini, mestinya menteri pendidikan ataupun menteri agama tidak usah jauh-jauh studi banding ke luar negeri, kalau hanya ingin merumuskan kurikulum yang cocok untuk dunia pendidikan di Indonesia. Cukup dengan datang ke pondok pesantren yang ada di Indonesia, lalu lihat bagaiamana proses pembelajaran di dunia pesantren. Sejarah mencatat, pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita bisa lihat bagaimana proses pelajaran di pesantren yang diterapkan dengan sistem sederhana (metode tradisional). Walaupun, ada beberapa pondok pesantren yang lembaganya memiliki berbagai kelengkapan fasilitas pendukung untuk membangun potensi-potensi anak didik (santri).
Maka menurut hemat saya, model pendidikan di lingkungan pesantren perlu dikaji oleh pemerintah, untuk dijadikan pertimbangan dalam membuat kurikulum yang diterapkan secara nasional. jika Kurikulum 2013 menitikberatkan pada pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai etika dan moral, maka model pendidikan ala pesantrenlah yang tepat untuk dijadikan contoh. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan akan tetapi dalam segi akhlak, sosial, intelektual, spritual, dan mental menjadi ciri khas dalam pendidikan pesantren.
Yang membedakan lembaga pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah dinamika kehidupan dalam pesantren terjalin lebih harmonis dan humanis. Interaksi antara santri dengan kiai sangat kuat. Mereka hidup sebagai keluarga besar. Kiai tak perlu sibuk mengurus sertifikasi, sebagaimana yang dilakukan guru lembaga di luar pesantren. Kiai memosisikan dirinya sebagai pendidik sekaligus pemimpin keluarga, yang tidak hanya mendidik dan mengajari ilmu pengetahuan, akan tetapi nilai-nilai moralitas dan akhlak menjadi perhatian khusus dalam lingkungan pesantren.
Kiai tidak hanya mengajarkan tentang pahala salat berjamaah. Tetapi kiai memimpin langsung salat berjamaah bersama para santri. Sehingga, konsep yang diterapkan itu bukan berbasis “pahala-isme”, yang mana murid hanya diberi pemahaman tentang keilmuan tetapi tidak dihadapkan dengan implementasi di kehidupan sehari-hari.
Diakui atau tidak, ke depan tuntutan zaman dan persaingan di dunia yang serba modern ini semakin berat. Hampir setiap hari, kita saksikan tawuran antarpelajar, pemerkosaan di kalangan pelajar, keterlibatan pelajar dalam penggunaan narkoba, dan sebagainya. Tentu, hal ini menimbulkan keprihatinan bagi kita semua. Gagalnya lembaga pendidikan mencetak generasi bangsa disebabkan karena pendidikan kita cenderung mengejar kecerdasan otak ketimbang karakter, moral, dan nilai-nilai agama. Anak didik hanya dituntut pintar secara ilmu pengetahuan tetapi mengabaikan nilai-nilai akhlak.
Dengan hadirnya pesantren yang tetap teguh memegang tradisi, yang diwariskan secara turun temurun oleh para ulama. Kita berharap pendidikan ala pesantren ini tetap konsisten dalam mencetak karakter-karakter tangguh yang melekat pada santri. Oleh karena itu, menurut hemat saya, kurikulum pesantren harus diadopsi sebagai solusi atas keruwetan kurikulum di Indonesia. Ini karena pesantren memang sumbernya pendidikan karakter.