Kadang-kadang dialog filsafat/filsafati mengasah kemampuan untuk berasionalisasi, ngeles , cari-cari alasan. RAsio terlalu diagung-agungkan. Konon katanya, filsafat adalah jalan menuju kebenaran dengan kebebasan, kemerdekaan dan kemampuan berpikir mandiri.tapi ternyata sistem filsafat yang saya alami justru seperti dogma dan mapan dengan tradisinya. Aneh juga kalau ada yang namanya 'pelajaran/matakuliah filsafat"....kenapa? karena justru dengan mata kuliah maka seakan-akan ada arahan bagi para mahasiswa bahwa 'berpikir yang bener seperti ini lho...". Lebih aneh lagi yang namanya 'ujian filsafat' karena selalu diberi nilai. Apa sih yang dinilai, "rasio?sistematika berpikir?". Kenyataan selama ini adalah saya harus menghafal (dibungku dengan argumen keren 'memahami') pemikiran orang lain. Lucu.
Lebih aneh lagi dengan guru-guru filsafat yang katanya sudah bisa bergelar 'filsuf" (ok....saya harus akui ada beberapa filsuf keren seperti Aristoteles, Newton dan Whitehead yang berangkat dari guru empiris: Biologi, Fisika n Matematika) tapi ternyata hanya 'jabatan'. MAksudku gini lho...dia menjadi filsuf karena berasal dari kompetensinya menghafal pemahaman-pemahaman orang lain. Saya punya satu guru filsafat yang sok-sokan, setengah kafir. Jijik rasanya diajari oleh orang kayak demikian, apa lagi bahannya....Mungkin kita bisa bayangkan bahwa para mahasiswa diminta untuk memakan nasi basi...