Sutra merah muda melayang berselancar di udara. Dipermainkan oleh angin yang hangat. Menari begitu indah, mengikuti suara malam, berputar dengan anggun. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Hingga angin malas bertiup, ia hanya mengambang dalam kekosongan partikel debu yang berjalan monoton. Dengan lelah sutra itu lemas terjatuh membawa debu ke permukaan sungai waktu dan mengikuti arus. Kali ini, ia berenang dan meliukkan tubuhnya dalam gelombang waktu. Sungai itu mengantarnya.
Entah kemana, hingga bermuara di suatu tempat. Antah berantah, mungkin saja.
Bulan mengapa kamu terasa dekat tapi sangat susah untuk kugapai. Tidakkah kamu kasihan pada diriku yang terombang-ambing oleh waktu. Mana sihirmu? Keluarkanlah, buat aku bahagia. Cerabutlah
diriku dari pusaran waktu yang tak pernah berhenti. Tidakkah kamu menangis akan kisahku. Aku hanyalah sutra, bisa terkoyak suatu saat nanti. Oleh waktu; oleh ruang; oleh partikel kosmik; oleh apapun; dan oleh siapapun. Aku hanya ingin kau, bulan, yang mengangkatku ke atas. Mendekatkanku padamu. Ikatkan aku dengan benang perak di tubuhmu agar diriku tidak terhempas ke bumi. Tidakkah dirimu merasa iba padaku?
Ini cerita pahit. Getir. Sepahit buah maja. Pahit oleh jahatnya waktu. Waktu yang bermaujud iblis telah menamparku kali ini. Aku ingin membalas tapi tidak bisa karena ia hanyalah waktu. Ceritaku tidak manis, semanis madu. Ini hanyalah cerita tentang diriku dan pengunjung asing dalam hidupku.