Apresiasi terhadap buku ini begitu kentara dari Penulis buku Best Seller Atlas Wali Songo (K.H. Agus Sunyoto) Pak Agus Sunyoto memberikan komentarnya terhadap buku ini, berikut bunyinya. "Sangat menarik. Pengungkapan yang cemerlang antara aktualita, faktualita, politik, sejarah, budaya dan jiwa patriotik melalui bahasa naratif yang komunikatif dan mudah di cerna."
pun dengan penulis buku Dalang Galau Ngetwit dan konsep Ngawur Karena Benar (Sujiwo Tejo)
"Di dalam buku sejarah, pahlawan adalah orang yang pada akhirnya membosankan. Di dalam roman, pahlawan bisa penuh warna seperti manusia biasa pada umumnya. Begitu pula Kiai Lelonobronto, nama samaran Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam Karya E. Rokajat Asura ini. Kejenakaannya bersama sang adik, Samingan, maupun romantismenya bersama Sang Istri, Alfiah, barulah sebagian warna warni sang gerilyawan dalam karyanya."
Ketika Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuhnya yang ringkih dengan menahan sakit paru di dada memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit, dan membuktikan pada dunia bahwa negeri tercinta Indonesia masih ada walau pemimpin politik kita telah di tawan oleh Belanda. Mungkin, inikah skenario yang sudah di buat oleh para pemimpin bangsa kita ketika itu, Bung Karno lebih memilih jalur diplomasi dan Dimas (demikian Bung Karno memanggil) Â Soedirman memilih gerilya, kontak fisik dengan pasukan Belanda. Ada sebuah percakapan antara Dimas dan BUng Karno yang sangat menyentuh dada dan membuat hati ini tak karuan di buku ini. "Sekarang yang akan memimpin perang itu, Panglima Besar atau Panglima Tinggi?" ujarnya. Bung Karno mengerenyit tapi kemudian tersenyum tenang. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi Dirman, kondisinya sudah begini!". "Siap!" Soedirman menghormat. "Kalau Panglima Tertinggi tidak bisa memimpin, mohon izin Panglima Besar akan memimpin perang gerilya ini!. kau masih sakit, Dirman!". Sergah Bung Karno, nada suaranya meninggi!". Yang sakit itu Soedirman, Panglima Besar tidak pernah sakit," ujarnya. Hiks hiks. Luar biasa dialog yang menggugah rasa nasionalisme ku. Bagaimana mungkin seorang yang sedang sakit, badan ringkih dan di tandu mempunyai Semangat perjuangan dan pengorbanan yang begitu luar biasa, hanya untuk membela tanah air kita tercinta. Hidup matinya hanya untuk Indonesia kawan. Apakah para pejabat negeri kita ini sudah membaca buku-buku sejarah yang menggugah rasa memiliki nusantara ini. apakah mereka yang membuat kebijakan untuk mengelola negeri ini masih bisa berjuang tanpa pamrih, tanpa perduli golongannya. Apakah masyarakat kita termasuk saya sudah menghargai dengan cara perilaku yang membuat bangga nusantara. Aaaaah sudahlah. Kok malah ngelantur. lanjuuuut.
Dialog tersebut adalah pembuka dari buku ini yang begitu hidup, mengalir deras dan membakar emosi kita tentang sosok yang sederhana namun gigih dalam memperjuangkan setiap cita-citanya. Dalam sosok Jenderal Besar ini, kita bisa mengambil sebuah pelajaran tentang hidup, kehidupan, romantisme, kegigihan, dan kecerdasan.
Pernah suatu ketika di tahun 1934, Soedirman yang tergabung dan memimpin kepanduan Hizbul Wathan Muhammaddiyah cabang Cilacap mengadakan diklat di kaki Gunung Slamet. Memang seru ketika kita curhat di ketinggian atau untuk mengorek sesuatu dari kawan kita, dan itu yang di lakukan Sidik, seorang sahabat Soedirman untuk mengetahui lebih jauh tentang rasa suka Soedirman terhadap Alfiah, putri seorang saudagar batik dan pengurus Muhammadiyah. Dan seperti biasa, seorang yang kasmaran tidak akan menjawab dengan jujur apa yang di rasakannya. udara dingin Gunung Slamet menjadi saksi kegigihan seorang Soedirman yang mampu bertahan, sementara kawan-kawan yang lain turun dan tak kuat menahan teror dingin di Gunung Slamet itu. Hingga azan Subuh berkumandang Soedirman tetap mampu mengalahkan rasa dingin itu. Apa yang di ajarkan oleh Raden Suwarjo Tirtosupono, begitu membekas dalam diri Soedirman. "Susah dan senang menghadapi tantangan alam, berasal dari pikiran kowe sendiri," ujar Raden Suwarjo. Kegigihan yang luar biasa yang akhirnya menjadikan seorang Soedirman mampu mengemban tugas negara dengan briliant. Walau di tandu, walau parunya hanya sebelah yang bekerja, walau tubuhnya ringkih, strategi, kharisma dan wibawanya mampu membuat komando yang begitu tepat dan dahsyat.
Sang pejuang gerilya itu pun akhirnya tak mampu melawan penyakitnya. "Aku bangga sekali, Bu. sepanjang hidupku Gusti Allah memberikan jalan yang sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dengan pikirannya sederhana.Rasanya tugasku seudah selesai, Kalaupun pada akhirnya di pundut sing kagungan, aku rela,"ujar Soedirman
Jangan sekali sekali melupakan sejarah kawan. Semoga Seluruh anggota masyarakat Indonesia, para anggota dewan dan pejabat yang membuat kebijakan mampu bersinergi dengan elegant. dan mereka yang mempunyai kebijakan selalu berpihak untuk untuk kebaikan rakyat yang bisa dinikmati oleh rakyat indonesia dan cita-cita luhur para pendiri bangsa kita tercapai. Amiin. Kesederhaan Bung Hatta mungkin bisa di bilang zuhud. Kegemilangan Bung Karno dalam membangun karakter bangsa membuat bangsa kita di segani ketika itu, bahkan Bung karno di nobatkan sebagai pahlawan Islam di Asia-Afrika. ketika Bung Karno berpidato Bung Karno yang fenomenal di depan Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960. Pidato itu diberinya judul To Build the World Anew, Membangun Tatanan Dunia yang Baru.
Aymara