"Puncak adalah bukan yang utama dalam pendakian
justru yang utama adalah prosesnya, kebersamaannya
setiap langkah kita adalah sejarah
sejarah akan kita ciptakan, setidaknya untuk kita sendiri"
Aymara
Dieng tidak hanya terkenal dengan candi dan telaga warnanya saja, buah carica, buah yang mirip atau sejenis papaya ini banyak mengandung vitamin C, namun ia kecil, uniknya mungkin karena pohon ini berada di ketinggian, jadi ia berbuah kecil, mengkeret, kulup dan gingseng jawa (Purwaceng) yang tanpa efek samping, justru yg ada malah "efek depan" (Hahaha intermezzo sedikit ah kawan), juga merupakan hal yang khas dari sana, demikian juga kentang, bahkan ada sebuah kentang yang ajaib, kentang merah, ungu dan hitam kawan..
Selain itu, nah ini menurut saya yang paling ajieb, pesona yang luar biasa yang di pancarkan dari sebuah gunung,. Ya Gunung Prau. Keindahannya akan membawa ke dalam sisi romantisme jiwa kita, taman bunganya menyentuh sisi lembut dalam nurani kita dan bukit-bukitnya yang berayun mensimbolkan hati dan iman kita yang fluktuatif.
Sementara Pucuk-Pucuk Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, Lawu, Ciremai, Selamet dan ada beberapa gunung kecil lainnya seperti Ungaran, Telomoyo Sikunir dan gunung lainnya semua bersembulan perlahan di antara kabut-kabut itu, ketika mentari mulai memberikan sinar lembutny Ia tak beraturan namun terlihat indah. Lautan awan itu beriak bergelombang seakan diam namun sebenarnya ia bergerak mendekati sepasang gunung suami istri, Sindoro Sumbing
Semua lukisan Tuhan itu seakan membawa kita ke alam yang lain, alam dimana nurani kita yang terdalam berdecak kagum akan kekuasaanNya dan pastinya gunung ini begitu rekomended buat kawan-kawan daki.
Awal Perjalanan
Gunung Prau, mungkin kawan jarang mendengarnya, asing di telinga. Namun bagi kawan yang pernah mengunjunginya sama seperti diriku, begitu mengagumi guratan tangan Tuhan ini. Ya gunung ini memang bukan gunung yang menjadi idola, tapi aku yakin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, 2 tahun mungkin gunung ini akan menjadi destinasi pendakian yang akan di gandrungi dan di gilai pendaki. Karena waktu tempuh untuk mencapai puncaknya yang tak terlalu lama, namun view yang di dapat lengkap dan sempurna. Padang sabananya mirip dengan rinjani, aku menyebutnya mini Rinjani, hamparan bunga Daisy (lonte sore)nya memutihkan padang sabana itu, serta sunset dan sunrise jika cuaca cerah akan kita dapatkan dengan sempurna.
Aku berniat mendakinya, Aku hunting tiket kereta jauh-jauh hari, karena aku lebih nyaman dengan rangkaian “besi merayap” ini, walaupun ia “besi merayap” namun jangan di Tanya jalannya, ia super cepat dan tanpa kemacetan. “Merayap” saja cepat tuh besi ya, apalagi berdiri, hahahahaha. Lagi-lagi intermezzo kawan. Tiket PP sudah di tangan dan aku siap untuk mengexplore gunung ini.
Kereta Progo perlahan meninggalkan Stasiun Senen, tepat pukul 22.00, menuju Lempuyangan Jogjakarta, dan nanti aku akan turun di stasiun Purwokerto. Kereta sekarang ini sudah bukan cerita lama lagi kawan, ia begitu on time. Ekonomi Ac dan tidak boleh merokok lagi di dalam gerbong. Bagi kita yang perokok, masih ada kok kesempatan untuk merokok di bordes atau sambungan, namun sekali lagi kita yang suka narkopian akan terisolir dari pedagang kopi hingga stasiun Prujakan, Cirebon. Dan aku tidak ingat di stasiun mana akhirnya aku mendapatkan pedagang kopi di dalam kereta ini, yang pasti setelah lewat stasiun Prujakan, nikmat betul kawan rasa kopi ini. yuk ah srupuuuuut..mantab benerrrrr..
Subuh, sekira pukul 04.00 aku tiba di stasiun Purwokerto. Istirahat sejenak dan seperti biasa aku pesen lagi narkopi segelas, sembari menunggu agak siangan untuk melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Stasiun ini begitu sepi kawan, namun sisa-sisa kekokohannya masih terlihat jelas, rapi dan bersih membuat kita nyaman berlama-lama di sini, dan untuk tiduran pun masih enak kawan. Sekira jam 05.30 aku lanjut ke terminal Purwokerto dengan menggunakan angkot kecil, dengan uang Rp 3.000 aku tiba di terminal ini dan jalanan masih belum bising. Lagi dan lagi untuk menunggu bis yang ke Wonosobo aku pesen kopi lagi sekadar untuk menemani asap yang keluar dari mulut dan hidungku. Tak berapa lama bis seperti roti tawar itu muncul dan dengan sigap aku menaikinya. Taraaaa, aku duduk di pinggir kiri, dengan udara yang masih segar kawan.
Di bis itu aku bergumam, ternyata Banjarnegara itu luas kawan, ia sepertinya tidak habis-habis. Hahahahah, setiap tulisan di kanan kiri dari mobil yang ku tumpangi selalu saja tulisan Banjarnegara, kota penghasil dawet yang enak ini sepertinya ada banyak tempat hahahah.. oh iya dari Purwokerto aku melewati Banyumas-Banjarnegara dan Wonosobo. Sekira jam 08.00 aku tiba di Wonosobo dan tidak turun di terminal namun aku di turunkan di SPBU Klerang, segera ku hubungi Mas Pii, dan dengan baik hati ia menjemputku untuk menuju gunung prau. Asssikk.sekadar pemberitahuan, ada jembatan longsor dan otomatis mobil bi situ tidak sampai Wonosobo, hanya sampai pemandangan, dan kita nyambung lagi ke Dieng.
Jalur Pendakian Gunung Prahu Lewat Patak Banteng
Gunung Prau ini merupakan gunung yang memanjang, punggungannya bisa meliputi beberapa kabupaten, yaitu Wonosobo, Banjarnegara dan Kendal. Aku memilih jalur Patak Banteng dan turun via Dieng. Jalur Patak Banteng ini, menurutku lebih cepat sampainya dan pastinya dengan waktu tempuh yang lebih cepat otomatis medan yang kita lalui juga terjal kawan. Aku mengibaratkan bagi kawan yang sudah mendaki Gunung Gede via jalur Putri, ini mirip kawan, medan yang akan kita lalui pertama adalah ladang-ladang kentang petani yang begitu hijau, indah dan segar, Kacang Babi sebutan lain dari Kacang Polong, setelah itu kita akan bertemu anak tangga yang sudah di buat sedemikian rupa, dan itu adalah langkah awalu ntuk beradaptasi kaki, dengkul dan jantung kita. Oh iya di anak tangga ini aku bertemu dengan anak gimbal khas Dieng, namun sangat disayangkan ia tak mau di foto, ia malah nangis…ckckkc.
Setelah melewati anak tangga ini, kita akan bertemu jalur tanah, dan kebun atau ladang-ladang kentang penduduk itu masih juga menemani kita di jalur pendakian ini. Aku begitu menikmatinya kawan, seperti biasa, aku hisap rokokku dan asap putih keluar mantab dari hidung dan mulutku, aku lihat lagi perpaduan antara asap putih, angina dan kebun yang hijau membawa anganku melayang jauh ke awang-awang. Jalur ini masih lebar kawan, kita bisa jalan beriringan hingga 3 orang. Dari perkampungan penduduk menuju pos 1, Kita terus saja mengikuti jalan yang masih besar itu, kemudian tak berapa lama ada tonggak batu yang baru di buat oleh pemuda sana, dan kita ambil ke arah kiri kawan. sepertinya kita tidak membutuhkan waktu yang lama, sekira 45 menit kita akan tiba disana. Dan pastinya dari atas kita akan lihat hamparan ladang petani berpadu dengan kabut yang turun secara perlahan selalu menemani pendakian kita. Aku istirahat sejenak di pos 1 ini. Aku nikmati hembusan anginnya yang menjalari kulitku, suara burung dan gesekan daun begitu merdu kawan. Ia menjadi nyanyian alam nan indah.
Jalan terus menanjak, membuat nafasku engap dan degup jantungku yang sudah tak beraturan. Aku atur nafasku. Sembari istirahat di tengah jalan sebentar. Tarik nafaas, buang pelan-pelan. Begitu terus. Kembali nafasku normal kembali. Setelah aku rasa cukup, aku lanjutkan perjalanan ini. Medan tanah masih terus mengikuti langkah kita, jalan setapak itu aku tembus, begitu juga dengan kabutnya. Medan itu, kini semakin terjal kawan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah aku kayuhkan kakiku untuk menggapainya. Sukses, akar yang melintang itu mampu aku kalahkan kawan, batu licin itu sanggup aku singkirkan dank abut itu berhasil aku tembus. Kini sore mulai menjelang dan kuambil headlampku untuk menerangi langkahku yang mulai gontai. Mungkin headlamp ini menarik perhatian kunang-kunang, ya karena kunang-kunang itu, yang banyak orang bilang itu adalah “kuku setan” terus menghampiriku. Aku terus susuri jalan setapak itu, perlahan namun pasti, kadang langkah buta ini terperosok ke dalam lubang, terpeleset dan tersandung akar pohon. Tetap aku nikmati pendakian ini, karena jelas ini adalah penyeimbang dalam kerja paruku, dimana disini aku hirup oksigen murni yang tidak aku dapatkan di Jakarta dan Depok. Aku lihat plang di pohon itu tertera pos 2, ya aku tiba di pos 2 dengan aman lancar dan terkendali. Seperti biasa aku istirahat sejenak, sambil aku ambil minum untuk sekadar membasahi tenggorokanku yang sudah kering, ku ambil sebatang rokokku dan lagi dan lagi kepulan asap itu berbaur dengan kabut yang sedari tadi selalu saja menemani pendakianku ini. Di Pos ini kami ngobrol bareng Mas Pii, bercerita tentang desanya dan kegiatan yang di lakukannya, ternyata sungguh luar biasa apa yang di lakukan oleh Mas Pii.
Rupanya ia mengelola sebuah perpustakaan daerah, kelompok tani, dan mendirikan Bull Eggs Adventure. Dan bagi kawan yang hendak mendaki Gunung Prau bisa menghubungi langsung mas Pii ini, orangnya ramah, terbuka dan easy going. Aku pun sebenarnya baru pertama kali kenal, dan sepertinya aku begitu nyambung membahas semua hal. Itu saktinya dunia maya kawan.
Semua kegiatan itu di lakukan oleh anak-anak muda di sana yang bercita-cita ingin membangun desanya agar lebih baik dari Mas Pii dan kawan-kawan volunteer lainnya di desa Patak Banteng itu, sungguh cita-cita yang mulia yang hanya keluar dari pemikiran yang mulia dan juga luar biasa. Ia bahkan pernah menjadi pembicara di hotel Gracia Semarang, berbicara tentang konservasi di daerahnya dan memberdayakan masyarakat desanya.
Setelah ngobrol ngalor ngidul itu, dan istirahat cukup kami lanjutkan pendakian untuk menuju pos 3. seperti biasa jalur masih menanjak dan terus menanjak, dengusan nafasku kini seperti mobil tua yang ringkih dan berat. Langkah kakiku sudah tak beraturan, dengkul dan pahaku juga sudah berat. Namun mungkin itu adaptasi yang terlalu lama buat kakiku. Aku berhenti setelah beberapa langkah, aku lanjutkan lagi langkahku. Pohon-pohon besar itu sekarang mulai terlihat samar. Dan dari headlampku jelas terlihat kabut begitu tebal turun kembali menjalari kulitku lagi. Aku terus melangkahkan kakiku dan ternyata tak berapa lama aku tiba di pos 3. hufth perjalanan yang melelahkan, dan aku baringkan tubuhku, istirahat, kembali kuambil airku, kuteguk nyeeeess, tenggorokanku langsung basah lagi dan kuambil coklatku sekadar untuk menambah tenaga yang tadi sudah terkuras.
Kembali kami ngobrol dengan Mas Pii, dan bahkan Aku berandai andai, jika anggota DPR kita yang terhormat itu melakukan pendakian massal seru kali ya. Hahaha.biar anggota DPR kita itu tahu bahwa alam nusantara ini begitu kaya, sejarah dan budaya kita luhung, dan setidaknya jika sudah berinteraksi dengan masyarakat sekitar akan membuat suatu kebijakan yang pro rakyat. Dan pastinya jika semua fraksi di DPR itu ikut pendakian massal kan tingkat kebersamaannya semakin kokoh, dan mottonya pun berubah, “tidak ada kepentingan yang abadi, yang ada adalah kebersamaan yang abadi untuk membuat kebijakan yang pro rakyat”. Assssikkk. Andai itu semua benar..eaaaaaaaaaaaaa.
Kami terus berjalan, sekarang jalur yang aku lalui di kenal dengan jalur cacing, ya, pos 3 menuju pos 4 ini jalurnya mirip spiral, dan kita akan terus menjalaninya. Justru jalur ini adalah jalur yang paling terjal diantara jalur pos 1 ke pos 3. kita harus pandai-pandai membuat pondasi kaki kita kuat, jangan sampai kita terpeleset, karena jalur ini licin kawan, dan jika terpelset atau terperosok, engkel kita kena, waw, akan sangat menyiksa bagi kita kawan, yang ada kita bukan menikmati pendakian tapi malah penyiksaan pendakian buat kita. Aku sabar menjalani medan terjal ini, kini adaptasiku sudah bagus, aku atur nafasku, kakiku semakin kuat dan tegar. Langkahku mantab, karena aku dengar dari Mas Pii, bahwa aku akan sampai puncak, ya hanya 4 pos saja yang akan kita daki kawan, setelah itu landai, puncak dan patok sebagai tanda bahwa itu adalah puncak Prau.
Langkahku semakin cepat, semangat 45, layaknya pasukan Bung Tomo di Surabaya, ketika mempertahankan serangan dari Londo-Londo itu. aku tidak hiraukan nafasku yang terengah, aku ingin segera tiba di puncak Prau, mas Pii berkata, “itu, di balik batu itu, kita akan tiba di jalur yang landai, itu, ya batu itu sebagai batas atau tanda bahwa aku akan segera tiba di Puncak Prau. Aku bergetar, aku sentuh batu itu, tanda itu, perlahan dan aku berucap syukur, akhirnya aku tiba di jalur landai, yang menurut kalangan para pendaki ini merupakan bonus, namun bagiku ini merupakan gaji ke 13 atau cuti hamil, hahahahaha…
Kini langkahku semakin panjang, setelah beberapa langkah dari batu itu aku terkesima, pekatnya malam itu, gulita suasana itu tidak mengganggu pandanganku, hamparan sabana dan bukit itu terlihat siluet, temaram namun damai, terangnya sinar rembulan membantu suasana itu menjadi begitu syahdu. Semilir angin di puncak itu begitu kencang membuat kulitku dengan cepat beradapatasi, milyaran bintang gemintang menyambut kedatangan kami. Tampak Gunung Sindoro Sumbing tetap kokoh dengan segitiga kerucutnya selalu memperhatikan tingkahku. Aku bersalaman dengan mas Pii, mengucapkan syukur kepada Tuhan yang masih memberikan kesempatan kepada hambanya ini untuk menikmati lukisanNYA.
Aku ingin menikmati malam ini, ya menikmati kabutnya, hembusan anginnya dan juga sruputan narkopian di ketinggian.
Oh ya, ku beri tahu satu hal kawan, bahwa pada malan itu Gunung Prau adalah milik kami, ya karena hanya kami yang ada disana. “Apika senior” (tenda), kenapa aku bilang demikian karena “apika junior” masih di dd Iis. Aku dan Mas Pii. Di puncak itu lagi-lagi kami berseloroh, “Apa engga kaya, kita” “rumah kita punya, bahkan sangat luas halamannya, bahkan pintunya pun bisa kita arahkan persis ke depan Gunung Sindoro dan Sumbing”, “atap kita bermilyar gemintang yang kadang-kadang ia memainkan cahayanya”, Kadang ada bintang yang jatuh, dan langsung aku berteriak “Aku ingin hidup pas-pasan” eits jangan salah tafsir dulu, pas-pasan ini makna hakiki kawan. Pas aku mau hiking pas aku ada waktu, tenaga dan tiket. Pas aku mau traveling, pas aku dapet tiket promo dan ada uang. Pas aku mau beli rumah pas aku dapat undian rumah gratis..hahahaha. intermezzo kawan. Jangan terlalu serius ah.
Segera kami mendirikan tenda dalam keheningan gunung Prau ini, beres, memasak dan ritual narkopian pastinya tak ketinggalan, lalu lanjut ngobrol ngalor ngidul, oh iya di sini juga, akhirnya aku merasakan kentang merah, kentang ajaib itu, ya kenapa kentang ini ajaib? Karena walaupun bibit yang kita tanam itu adalah kentang merah, namun tetap saja jika panen, tidak melulu itu kan menghasilkan kentang merah, ya tetap saja yang dominan kentang kuning, ia hanya berbuah sekira 1-5 pohonnya saja, ajaibkan kawan.
Ketika hembusannya sudah mulai menjalari kulit kami, dan rasa dingin mulai menyerang, aku masuk tenda dan zzzzzzzttttt. Nyenyak sekali aku tidur, pagi jam 05.00 aku terbangun dan menikmati rasa dingin ini, melihat moment pagi di puncak prau sendirian, mas Pii masih tertidur dengan nyenyaknya. Aku coba melihat lembayung itu, sinar jingganya masih belum terlihat, gelap suasana pagi itu membuat aku harap-harap cemas, apakah aku akan mendapatkan moment matahari terbit, matahari yang memberikan kehangatan dan pencerahan kepada semua makhluk hidup di dunia ini.
Perlahan namun pasti, sinar jingga itu keluar, sedikit samar dan temaram, namun itu adalah tanda bahwa moment dimana matahari akan keluar sempurna akan jelas terlihat. Aku perhatikan terus kawan, moment itu negitu indah, matahari telah bangun dari peraduannya kini.
Sinar jingga, bahkan kemerahan memantulkan cahayanya berbaur dengan suasana pagi itu dan dengan awan yang putih, ia menghasilkan sebuah corak yang luar biasa, abstrak namun jelas dan indah. Semua moment itu aku abadikan dalam senjata pamungkasku dan dalam memori otakku.
Aku menikmati itu semua kawan. Moment itu begitu syahdu,indah dan damai. hati kecil ini berguman betapa kuasa tuhan itu luas biasa, menciptakan lukisan dengan indahnya, namun jika alam itu murka, gunung itu meletus, tanah itu longsor, keindahan itu tak terlihat yang ada adalah kejam dan bengisnya alam ini. tapi alam murka itu bukan kehendaknya, namun harus di ingat ia murka karena tangan jahil kita juga, badut-badut serakah juga yang membabat habis hutan kita, tanah sebagai resapan air beruabah menjadi villa dsb.
Setelah puas menikmati alamnya dan puas juga mengeluarkan uneg-uneg di dada, aku segera packing untuk turun melalui Jalur Dieng, tepatnya nanti aku akan turun di gerbang SLTP 2 Kejajar. Kembali ke alam nyata, kembali menghadapi rutinitas dengan kebisingan kota dan hiruk pikuk poltik yang semakin absurd dan tidak jelas. Untuk menghilangkan itu semua aku berdendang lagu Bang Iwan
Dari gunung ke gunung
Menembus lembah kabut dan jurang
Melewati hutan pinus
Melewati jalan setapak
Mendengar gesekan daun dan burung-burung
Menikmati aroma tanah dan segarnya udara
Jauh dari kebingungan sehari-hari