Kerusakan hutan di Aceh sudah tiba pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Ada pembukaan lahan baru oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan, pembukaan pertambangan yang tidak mengindahkan kaidah penyelamatan lingkungan oleh para pengusaha nakal, dan perambahan hutan dengan menebang pepohonan secara liar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab pun berjalan lancar serta semakin meluas saja. Hal ini tentu penyebab utama rusaknya hutan di Propinsi paling ujung Sumatra ini. Bencana alam adalah ancaman dari semua tindakan tersebut. Apa yang harus ditempuh oleh Pemerintah Aceh untuk menyelamatkan hutan dari kerusakan tersebut?
Merujuk pada pendapat Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh TM Zulfikar, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2011 pada Selasa (14/6) di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh sudah ada dalam kondisi darurat ekologi karena banyaknya bencana alam yang telah terjadi setiap hari dalam empat tahun terakhir. Angka kerusakan hutan di Aceh tiap tahun terus mengalami pengurangan luas yang mencapai kurang lebih 20.796 hektare per tahun akibat pembalakan liar. Apa yang akan terjadi pada hutan Aceh 10 tahun ke depan jika Pemerintah Aceh tidak berbuat apa-apa untuk menghambat laju kerusakan hutan di wilayahnya?
Ini adalah sebuah masukan untuk Pemerintah Aceh yang harus segera merumuskan sebuah konsep yang berpihak pada perbaikan kerusakan hutan di Aceh. Darurat ekologi yang tak bisa ditunda lagi karena banyaknya bencana yang menimpa daerah Aceh yang tak sedikit merenggut harta dan nyawa manusia. Data kerusakan hutan Aceh menurut WALHI terjadi begitu cepat dan sangat luar biasa setiap tahun. Jika kita buat perbandingan pada tahun 2007 kerusakan areal hutan di Aceh mencapai satu persen dari keseluruhan luas hutan yang ada. Hingga kini bisa dibayangkan bagaimana hutan Aceh akan rusak bila tidak ada upaya penyelamatan dilakukan lewat program Pemerintah Aceh.
Penebangan liar dan proses penambangan yang dilakukan beberapa perusahaan yang mendapatkan ijin tambang di hutan Aceh dari Gubernur Irwandi Yusuf adalah contoh tindakan yang harus dihentikan. Dan kebijakan yang pantas diambil oleh Pemerintah Aceh adalah menjadikan hutan di Aceh sebagai tujuan wisata yang berpotensi terhadap peningkatan pendapatan daerah.
Penanganan hutan yang serius agar aset tersebut dapat dipertahankan, digunakan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan azas manfaat sehingga produktifitas hutan dapat terus dirasakan. Tekanan terhadap hutan itu sendiri telah demikian kuat dan menyebabkan telah terjadinya eksploitasi sacara berlebihan terhadap hutan itu sendiri. Beberapa jenis flora dan fauna bahkan telah hampir punah akibat pengrusakan dan penyempitan habitat hidup mereka, disamping pengambilan/penangkapan terhadap flora dan fauna itu sendiri.
Umumnya perambahan hutan dilakukan oleh masyarakat karena tuntutan ekonomi, dimana sasarannya adalah jenis-jenis kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Karena itu jenis-jenis kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi semakin berkurang potensi dan keberadaannya.
Untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan melestarikan hutan itu sendiri maka diperlukan penyisihan sebagian areal yang dipergunakan sebagai kawasan konservasi, dengan tujuan untuk konservasi sumberdaya alam dan pelaksanaan pengawetan keanekaragaman genetik (flora dan fauna) serta mewujudkan keseimbangan ekosistem lingkungan. Hutan wisata merupakan suatu kawasan pelestarian sumberdaya alam yang letaknya tidak harus berada di pusat kota. Keberadaan hutan wisata yang jauh dari pusat kota juga sangat baik sebagai kawasan konservasi yang dapat berperan sebagai paru-paru dunia.
Keberadaan suatu kawasan konservasi di Aceh berperan penting dalam mewujudkan keseimbangan hidup semua mahluk hidup. Penanganan yang disertai tindakan yang kurang tepat dalam pengelolaan mengakibatkan berkurangnya nilai dan fungsi kawasan serta kelangkaan hingga musnahnya jenis flora dan fauna yang ada di dalamnya. Kebakaran juga merupakan salah satu faktor menurunnya potensi hutan yang ada di seluruh wilayah Aceh. Kebakaran menyebabkan terjadinya degradasi keanekaragaman jenis vegetasi maupun satwa yang menjadikan kawasan tersebut sebagai habitatnya, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan nilai estetik, salah satu fungsi dari kawasan tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh dapat menjadikan hutan sebagai daerah wisata yang dikelola secara profesional dan ditata dengan indah. Bila perlu, kerjasama dengan pihak swasta untuk pengelolaannya juga dapat dibangun. Sudah saatnya pengambil kebijakan di Aceh menuangkan program ini ke dalam satu Qanun daerah yang lengkap dengan aturan-aturan tegas yang mengikat bagi pihak-pihak yang merusak hutan Aceh. Ini adalah terobosan bijak yang akan menjadi sebuah program luarbiasa sebagai sebuah upaya penyelamatan hutan Aceh dan peningkatan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman Aceh itu sendiri.
Tak hanya hutan saja yang bisa menjadi objek daya tarik. Pemerintah dapat juga memberikan suguhan-suguhan seni budaya khas daerah Aceh yang berupa tarian tradisional yang hebat, lagu, hikayat, dan musik-musik daerah pun bisa ditunjukkan kepada para pengunjung setiap hari. Belum lagi, jika masyarakat dibina kreativitasnya dalam membuat alat-alat kerajinan tangan paling khas daerah Aceh yang bisa dijual kepada para wisatawan sebagai cenderamata untuk dibawa pulang ke tempat asal mereka.
Selain itu, hutan wisata juga dapat menghindarkan Aceh dari bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang datang silih berganti, serta menghambat terjadinya penyakit epidemik bencana seperti muntaber, infeksi saluran pernafasan, dan segalanya jenis penyakit kulit yang tentunya memakan banyak korban jiwa.
Memang, sebuah kebijakan positif apapun tak serta-merta akan diterima dengan mudah oleh banyak pihak yang masih memiliki kepentingan pribadi/kelompok yang ingin terus meraup keuntungan besar. Dan ini juga termasuk untuk kebijakan dalam upaya menyelamatkan Aceh dari kerusakan hutan di Aceh itu sendiri.
Namun, keinginan politik yang kuat untuk membangun Aceh bermartabat dari Kepala Pemerintahan Aceh itu sendiri yang didukung oleh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) adalah sebuah langkah serius untuk perbaikan kondisi perekonomian masyarakat Aceh. Hutan yang masih ada di wilayah Aceh akan menjadi nilai jual yang sangat tinggi kepada para pegiat dan penikmat wisata hutan di seluruh dunia. Apalagi, isu pemanasan global yang kian panas sepanas bumi yang hutannya kian sempit akan menjadi penopang bagi keberhasilan program hutan wisata tersebut.
Potensi sumber daya alam hutan Aceh dan semua ekosistem yang ada di dalamnya adalah bentuk keindahan alam yang sangat indah. Bayangkan saja, jika hutan di Seulawah yang ada dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar dijadikan tempat wisata tentu para wisatawan lokal dan mancanegara akan banyak berkunjung kesana. Aceh akan menjadi tempat tujuan wisata baru karena keindahan hutan bagi penduduk bumi.
Mengapa Pemerintah Aceh tidak mencontoh apa yang dilakukan oleh Pemerintah Finlandia di Eropa dimana perekonomiannya mengandalkan hutan secara luas selain memproduksi telepon genggam Nokia? Pemerintah Aceh dapat belajar pengelolaannya dari Pemerintah Finlandia tersebut yang mampu menyulap kawasan Lapland menjadi daerah tujuan wisata warga Eropa dan dunia pada musim dingin itu.
Terakhir, penting bagi Pemerintah Aceh bertindak cepat menyelamatkan hutan di wilayahnya. Jangan berdiam diri saja dan tetap bersikukuh bahwa penerapan program moratorium logging atau jeda tebang dan Aceh Green sejak 2007 silam telah sukses diterapkan. Pemerintah Aceh tidak boleh bangga dan puas dengan harga hutannya yang hanya dibandrol 4 USD per hektar itu. Jika, Pemerintah Aceh tak mau masih keras kepala dan tak mau berbuat apa-apa untuk kelestarian hutan, maka kita semua harus segera bersiap untuk mengucapkan, “Selamat tinggal hutan Aceh dan selamat datang bencana alam tanpa henti di wilayah Aceh.”[]
Tulisan ini juga dimuat di Media Online The Globe Journal.