Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Mereka Bilang Aku “Gembrot!”

22 Maret 2011   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 1065 3
Bila orang melihat bagaimana keadaanku sekarang ini, tidak akan pernah ada yang percaya dengan pengalaman pahit serta penderitaan yang harus kualami di masa kecilku. Sebuah mimpi buruk yang mungkin terlalu berat bila dibandingkan dengan kejadian yang menimpa kebanyakan anak-anak lain seusiaku waktu itu.

Aku anak yang selalu menjadi perhatian banyak orang. Bukan karena aku cantik atau menarik, tetapi karena aku adalah seorang anak yang gemuk dan jelek. Tubuhku bulat dan besar. Tidak ada satu orang pun yang pernah memanggilku "cantik" atau "manis", kebanyakan memanggilku dengan sebutan "gendut" atau "gembrot".

Bahkan kedua orangtuaku pun tidak pernah memuji diriku. Tak ada pujian sama sekali karena mereka memang bukan orang yang terbiasa memuji penampilan fisik. Mereka lebih suka memuji kemampuan belajar dan olahraga. Sebuah tipikal khas orang tua kami. Dan sama sekali aku tak menyimpan dendam untuk semua itu kepada mereka. Buat apa aku harus dendam pada dua sosok penting dibalik keberadaanku di dunia ini? Walaupun begitu, dalam hati kecilku, aku juga ingin menjadi seorang Cinderella atau Putri Putih Salju. Aku ingin dibilang langsing. Aku ingin dibilang cantik. Aku butuh puja-puji karena aku adalah manusia.

Lebih parahnya lagi, orang-orang yang paling sering mengata-ngataiku justru datang bukan dari luar. Kebanyakan justru masih saudara atau kerabat dekatku sendiri yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Makanya aku tidak begitu senang jika harus bertemu dan berkumpul dengan mereka. Pasti ada saja yang melontarkan kata-kata tidak enak itu padaku walau hanya berbentuk sindiran-sindiran yang maknanya tentu saja; aku "gendut".

Kakak laki-lakiku, Dimas, juga sering mengolok-olokku. Setiap kali ada kesempatan, dia pasti akan mengataiku "gendut". Yang lebih menyebalkannya lagi, dia justru semakin menjadi bila seluruh saudara dan keluarga besar sedang berkumpul bersama. Akhirnya semua jadi ikut mengolok-olok diriku. Aku bagaikan mainan yang selalu dilisankan mulut busuk mereka. Saat itu aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan memendam semuanya dalam hatiku saja.

Aku juga tidak bisa mengadu kepada siapa-siapa karena aku memang dididik untuk selalu bisa menyelesaikan masalah sendiri. Papa sangat keras dalam hal ini dan aku pun terlalu malu untuk bercerita kepada orang lain. Aku tidak mau dianggap cengeng dan tidak mau menjadi bahan tertawaan yang lebih parah lagi. Satu hal yang kupikirkan saat itu adalah mengapa ada orang yang tega membicarakan kejelekanku yang merupakan keluarga dekat mereka. Mereka tak pernah berpikir sama sekali bahwa membicarakan keluarga sendiri kepada orang lain berarti mereka telah menghitamkan dirinya sendiri.

Papa juga termasuk orang yang sangat keras dalam mendidik kami agar disiplin dan mematuhi semua peraturan yang dibuatnya. Bila ada salah satu dari kami bertiga yang melanggar, bukan hanya dia yang mendapat hukuman, tetapi kami semua ikut merasakan juga.

Pernah, suatu hari aku dan kakak-kakakku pergi naik ke lantai paling atas rumah kami. Dalam beberapa kesempatan, Papa sudah melarang kami untuk tidak pergi ke sana karena memang sangat berbahaya untuk anak-anak seusia kami. Namun rasa penasaran kami yang begitu besar dan kami ingin tahu apa yang ada di lantai atas itu, dan ditambah lagi oleh bujuk rayu kedua kakakku, aku pun ikut ke sana. Entah bagaimana, kami tidak menyadari bahwa papa pulang cepat pada hari itu dan tahu kalau kami sedang berada di lantai atas rumah kami. Papa sangat marah dan kami pun mendapat hukuman. Kami harus merelakan tangan kami dipukul dengan rotan berkali-kali. Sakit?!? Tentu!!

Sialnya lagi, karena waktu itu aku masih berumur kurang lebih lima tahun dan masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak, aku masih belum begitu mengenal angka. Aku belum tahu angka mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil jumlahnya. Jadi, sewaktu papa bertanya berapa - berapa banyak pukulan yang patut aku terima - aku tidak bisa menjawab. Kemudian kakakku yang laki-laki bilang lima, dan aku pun menjawab lima. Jadilah aku terkena pukulan lima kali.

Aku tidak merasa terbebani dengan masalah pukulan ini. Walaupun sakit, aku bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku memang salah. Aku telah melanggar apa yang telah dilarang oleh papa. Aku memang patut mendapatkan hukuman itu, pikirku waktu itu.

Keadaan paling pahit yang harus kurasakan adalah sewaktu aku sekolah di Malaysia. Biarpun aku pergi memang berdasarkan keinginanku sendiri, tapi aku sama sekali tidak tahu apa yang bakal terjadi menimpa diriku di sana.

Untuk bisa masuk sekolah di sana dan supaya aku tidak ketinggalan kelas, aku harus belajar ekstra ketat. Setiap hari ada guru privat, Mrs. Wina, yang datang untuk mengajar semua pelajaran, seperti matematika, bahasa Inggris, dan Mandarin, mulai dari pagi sampai sore hari. Waktu istirahat hanya dipergunakan untuk makan saja dan itupun hanya setengah jam. Selebihnya aku harus belajar dan belajar terus.

Pernah sekali waktu aku kabur dan pergi makan siang ke luar apartemen. Sudah dipastikan aku jadi terlambat kembali ke rumah. Mrs. Wina sangat marah dan sebagai hukuman, aku harus mengerjakan tugas lebih banyak lagi.

Keadaan yang paling parah adalah ketika aku akhirnya tinggal di rumahnya. Dia sangat galak dan pemarah. Dan kalau marah, dia bisa jadi sangat sadis dan tidak berprikemanusiaan. Bila aku melakukan satu kesalahan saja, misalnya ada pekerjaan rumah yang salah, aku pasti akan dipukulnya.

Pernah sekali waktu aku pulang ke rumahnya dan membawa nilai ulangan di bawah angka 80. Dia sangat marah dan aku mendapat ganjaran pukulan rotan sebanyak 50 kali! Aku sudah memintanya untuk berhenti tetapi dia terus saja memukulku sampai hitungannya selesai.

Bagaimana rasanya? Aduh, sakitnya minta ampun! Kakiku memar dan bengkak-bengkak. Jalan pun susah. Aku sangat kesakitan. Sampai sekarang pun, bila aku mengingat kejadian waktu itu, aku masih bisa merasakan rasa sakit seperti yang aku rasakan waktu itu.

Bukan hanya hukuman pecutan rotan yang aku terima. Aku juga sering dihukum dengan tidak diberi makan malam. Waktu itu aku melakukan kesalahan dengan memberikan jawaban salah pada 61 nomor pertanyaan dari 200 pertanyaan yang diberikan. Mrs. Wina seperti biasa menjadi sangat marah dan menghukumku. Aku tidak boleh makan malam sama sekali plus harus mengulang jawaban yang salah tadi dengan benar secara berulang-ulang.

Kejadian ini bukan hanya terjadi satu dua kali saja, tetapi sangat sering. Setiap kali aku melakukan sebuah kesalahan, baik besar maupun kecil, aku pasti akan mendapatkan hukuman. Kalau tidak dipukul rotan, ya, tidak diberi makan malam.

Apalagi kalau dia sedang marah terhadap anak-anaknya, hukuman yang aku terima pasti lebih berat lagi. Entah kenapa aku yang dijadikan tempat pelampiasan semua amarahnya. Padahal, anak-anaknya jauh lebih bandel dariku dan mereka sering sekali melakukan kesalahan. Mereka tidak pernah dihukum, paling-paling hanya dimarahi saja.

Semakin sering hukuman aku terima, semakin tahan juga aku atas semua hukuman yang dia berikan. Bagiku, itu hanyalah sebuah hukuman fisik saja. Rasa sakit yang aku rasakan hanya di bagian luar saja. Jadi, kalau mau dipukul, ya silahkan saja! Beratus-ratus kali pun aku tahan!

Walaupun begitu, tanpa aku sadari, aku justru melakukan pemberontakan besar. Aku semakin membandel. Semakin sering aku melakukan kesalahan. Semuanya kulakukan dengan sengaja. Puas rasanya melihat Mrs. Wina marah dan mengamuk. Biarpun aku harus dihukum, aku tidak merasa susah. Aku justru semakin senang.

Sebenarnya bukan hanya hukuman fisik yang aku terima. Secara psikologis pun aku mendapat tekanan yang sangat besar. Mrs. Wina selalu bilang kalau aku ini anak yang bodoh. Aku anak yang tidak bisa apa-apa. Aku tidak akan pernah berhasil dan tidak akan pernah memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Intinya, kalau sudah besar nanti, aku tidak akan menjadi "orang" dan hanya menjadi seorang anak manja yang bergantung pada keluarga.

Setiap hari aku harus menerima ucapan-ucapannya yang seperti itu. Sebagai seorang anak kecil, aku tidak mengerti apa-apa selain menerimanya begitu saja. Aku bahkan mempercayai semua ucapannya itu.

Aku menjadi orang yang selalu memandang negatif atas diriku sendiri. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Aku merasa tidak pernah bisa memenuhi harapan orang lain. Aku hanyalah seorang pecundang. Aku orang yang tidak berguna. Aku tidak akan pernah bisa menjadi orang yang berhasil.

Waktu bermainku juga sangat terbatas. Hanya di sekolah dan akhir pekan saja. Itupun sangat sedikit karena aku masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Mrs. Wina. Aku jadi tidak bisa melepaskan semua penat dan masalah yang aku hadapi. Aku menjadi semakin terpuruk dan terpuruk lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun