Hak atas kesehatan meliputi berbagai aspek, antara lain:
1. Aksesibilitas: Setiap individu berhak mendapatkan layanan kesehatan yang mudah diakses, baik dari segi fisik maupun finansial.
2. Ketersediaan: Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
3. Kualitas: Layanan kesehatan harus sesuai dengan standar yang tinggi dan berbasis pada bukti ilmiah (Komite Ekonomi Sosial dan Budaya PBB, 2000).
4. Non-diskriminasi: Tidak ada individu atau kelompok yang dikecualikan dari hak ini berdasarkan status sosial, ekonomi, ras, atau jenis kelamin (PBB, 2008).
Oleh karena itu, hak atas kesehatan bukan hanya tentang akses terhadap perawatan medis, tetapi juga tentang kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mendukung kehidupan yang sehat. Ini termasuk akses terhadap air bersih, pendidikan, gizi yang baik, serta lingkungan yang tidak tercemar.
Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan terjadi ketika pasien menerima perlakuan tidak adil berdasarkan ras, jenis kelamin, etnis, status ekonomi, agama, atau disabilitas. Di BPJS Kelas 3, diskriminasi ini sering kali terlihat dalam kualitas layanan yang lebih rendah dibandingkan dengan peserta kelas lainnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan, yang seharusnya memberikan akses setara bagi semua lapisan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 6 Ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak menerima pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan bebas dari diskriminasi, sehingga negara wajib memastikan kesetaraan layanan kesehatan untuk seluruh warganya.
Kasus diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS Kelas 3 sering menjadi perhatian di berbagai rumah sakit. Salah satu kasus menunjukkan bahwa pasien peserta BPJS Kelas 3 mengalami perbedaan perlakuan dibandingkan pasien yang tidak menggunakan BPJS atau kelas yang lebih tinggi. Diskriminasi ini terlihat dari waktu tunggu yang lebih lama, akses terbatas ke fasilitas medis tertentu, hingga sikap yang kurang ramah dari tenaga kesehatan. Perbedaan perlakuan ini menciptakan ketidakadilan dalam layanan kesehatan yang seharusnya dapat diakses secara setara oleh semua peserta, tanpa memandang kelas atau status jaminan.