Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Loyalitas Masyarakat Bahasa Terhadap Bahasa Daerah

11 Desember 2022   16:24 Diperbarui: 11 Desember 2022   16:24 181 0

           Bahasa adalah alat komunikasi sosial yang bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa itu beragam dengan penggunaan bahasa untuk keperluan yang beragam pula. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak suku bangsa dan bahasa daerah terbanyak di dunia, yaitu sebanyak 719 bahasa daerah yang dituturkan di seluruh pulau. Bahasa daerah sebagai bahasa ibu masing-masing suku tentu memiliki ruang lingkup yang terbatas karena tidak bisa digunakan di luar wilayah masyarakat bahasanya, yaitu masyarakat yang menggunakan bahasa yang sama.

            Mobilitas yang dilakukan masyarakat dari berbagai daerah ke daerah lain di Indonesia tentu membutuhkan bahasa pemersatu. Bahasa daerah sudah tidak lagi berlaku perannya, diganti bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang bisa dimengerti antara penutur dan mitra tuturnya. Banyaknya masyarakat desa yang notabenenya masih menggunakan bahasa daerah untuk bermigrasi ke kawasan kota demi menaikkan strata ekonomi dan sosial mereka, tentu membuat adanya pergeseran bahasa pada bahasa daerah. Pergeseran bahasa (language shift), yakni perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari terutama sebagai akibat migrasi, atau terjadinya perubahan bahasa (language change), yakni perubahan dalam bahasa sepanjang suatu periode (Kridalaksana 1993: 169, 172)

            Namun, di zaman sekarang, pergeseran bahasa daerah tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor migrasi saja, namun juga pengaruh globalisasi, bahkan prestise dan gengsi. Oleh karena itu, perlu adanya loyalitas masyarakat bahasa terutama bahasa daerah untuk tetap menggunakan bahasa ibu agar pergeseran bahasa tersebut kelak tidak menimbulkan kepunahan bahasa ibu yang dimiliki.

   

       Di zaman modern sekarang, dimana teknologi sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup manusia, kehidupan di luar masyarakat Indonesia yang dulunya asing sekarang dengan mudah diketahui. Hal tersebut menyebabkan terjadinya globalisasi dan westernisasi khususnya pada bahasa dan masyarakat bahasanya.

           Pada masyarakat perkotaan yang heterogen, bahasa Indonesia yang perannya sebagai pemersatu bangsa mulai tergerus eksistensinya dengan  maraknya penggunaan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Sementara itu, pada masyarakat desa, penggunaan bahasa daerah semakin menurun, terutama pada penutur usia muda. Mayoritas beranggapan bahwa bahasa daerah sudah dianggap tidak lagi memiliki kemampuan bahasa dalam mengungkapkan fenomena baru. Dalam berbahasa, individu yang tidak memakai istilah-istilah modern dalam pertuturan sekarang dikesankan kurang berwawasan, sehingga muncul perasaan gengsi dalam pemakaian bahasa daerah.

          Menurut Desmi Yati (2015), ada beberapa pandangan masyarakat desa terhadap bahasa daerah yang dimiliki, yaitu Pertama, bahasa daerah terpandang kuno dan telah menjadi milik masa lampau. Kedua, bahasa daerah merupakan bahasa orang miskin dan tidak berpendidikan. Ketiga, bahasa daerah tidak berguna di luar kampung. Keempat, bahasa daerah menghalangi kemajuan. Bahasa daerah terpandang kuno karena bahasa ini tidak pernah dihubungkan dengan hal-hal kemodernan. Hal tersebut mendorong penggunaan bahasa Indonesia dibanding bahasa daerah karena menyangkut strata sosial.

          Bahasa daerah yang ruang lingkupnya terbatas dan cenderung dipandang negatif menjadi rawan terkena dampak yang lebih besar, yakni pada kepunahan. Grimes (2000) mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa depan, yaitu (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu, artinya tersisa penguasaan pasif (understanding without speaking), dan (6) contoh-contoh mengenai semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa, keterancaman bahasa Kreol dan bahasa sandi.

          Kesan negatif pada bahasa daerah perlu dihilangkan. Bahasa daerah bukan hanya memenuhi perannya sebagai sarana komunikasi dalam wilayah saja, namun juga identitas diri yang diperlukan dalam pergaulan nasional dan global. Desmi Yati (2015) mengatakan bahwa kesan bahasa daerah menghalangi kemajuan dapat dihilangkan dengan menyosialisasikan bahwa orang-orang yang maju yang ada sekarang adalah orang-orang yang mempunyai karakter budaya dan sosial. Sebaliknya, orang-orang yang kehilangan identitas karakter, akan terombang-ambing di dalam ketidakmenetuan tatanan nilai globalisasi.

         Bahasa daerah yang ada karena masyarakat Indonesia yang heterogen telah hidup berdampingan dengan bahasa negara Indonesia sejak dulu. Bahasa daerah yang melekat di setiap kelompok etnis ikut mengalami perubahan seiring berkembangnya peradaban termasuk peradaban modern sehingga eksistensinya bergantung pada loyalitas masyarakat bahasa.

          Pandangan negatif mengenai bahasa daerah yang berkaitan dengan derajat sosial individu atau kelompok harus dihilangkan, mengingat bahasa daerah bukan hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai identitas diri.  Oleh karenanya, keberadaan dan penggunaan bahasa daerah harus dikuatkan agar eksistensinya tidak hilang digerus  zaman dan kemodernan



Daftar Pustaka

Listiyorini, A. (2013). Eksistensi Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia sebagai Alat Komunikasi dalam Persaingan Global. Universitas Negeri Yogyakarta.

Yati, D. (2015). Menyelamatkan Bahasa Daerah melalui Pembelajaran Bahasa yang Komunikatif. Universitas Bengkulu.

Samad, A., & Hairuddin, D., & Ratmila, K. D. Pudarnya Paenggunaan Bahasa Indonesia di Kalangan Remaja. Universitas Muslim Indonesia.





KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun