[caption id="" align="alignleft" width="273" caption="Illustrasi : joglopos.com"][/caption] PERJANJIAN GIYANTI yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 membelah kerajaan MATARAM menjadi dua, YOGYAKARTA dan SURAKARTA. Dengan demikian terpecah pula kekuasaaan politik dan pusat kebudayaan Jawa menjadi dua. Persaingan dendam kultural di antara dua belahan kerajaan itu masih tetap membekas sampai kurun waktu yang lama. Hal ini sudah tercatat dalam sejarah,
HISTORIA VITAE MAGISTRA , sejarah adalah sumber ilmu pengetahuan, demikianlah slogan bapak sejarawan dunia Herodatus 484 SM. [caption id="" align="alignright" width="260" caption="kbmwbu.jawatengah.go.id"][/caption] Ketika nama Surakarta di deklarasikan oleh Pakoe Buwono 2, terdapat beberapa prasasti yang hingga saat ini masih ada, setidaknya ada tiga tonggak sejarah pendeklarasian nama SALA menjadi SURAKARTA. Namun selama ini masyarakat luas lebih mengenal sebutan SOLO daripada nama resminya KOTAMADYA SURAKARTA, kota terbesar nomor dua di Jawa Tengah setelah Semarang, ini berkembang dari nama SALA yaitu sebuah desa yang dahulu penuh rawa. DESA SALA sendiri dan sekitarnya mulai ramai dan berubah menjadi sebuah kota sejak 20 Februari 1745 (17 Suro 1745, yaitu sejak berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari KERATON KARTASURA ke SALA yang lantas dikenal dengan nama KERATON SURAKARTA HADININGRAT. Daerah yang digunakan sebagai tempat pusat pemerintahan yang baru ini disebut SALA, lantaran di desa ini waktu itu pernah hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama KYAI SALA. Selain itu desa ini juga berawa-rawa dan penuh
pohon sala yaitu
pohon tom atau
nila, namun ada juga yang menyebut pohon sala sejenis
pohon pinus. Kendati berangkat dari nama SALA yang dilafalkan dengan
LEGENA seperti mengucapkan PONOROGO atau SITOBONDO, tetapi pada kenyataannya sampai sekarang masyarakat pada umumnya menyebut dengan SOLO dilafalkan dengan
TALING TARUNG seperti mengucapkan TOKYO atau JAGO. Bukan hanya masyarakat luar kota namun warga dalam Kota Surakarta sendiri menyebut SOLO bahkan nama-nama yang menggambarkan identitas di daerah ini juga sangat mendukungnya. Taruhlah seperti
TIMLO SOLO,
UMUK SOLO,
LONTONG SOLO,
WONG SOLO, BENGAWAN SOLO, BATIK SOLO dan lain sebagainya. [caption id="" align="alignleft" width="273" caption="kaskus.us"][/caption] Menurut para pini sepuh sebutan SALA menjadi SOLO katanya akibat kesalahan orang-orang EROPA dalam menyebut nama kota ini karena memang lidah mereka tidak seluwes lidah orang Indonesia. Bahkan orang BELANDA lebih parah lagi, mengucapkan SALA menjadi SOOLOO. Bukan hanya orang asing saja tetapi sampai sekarang masyarakat Indonesia pada umumnya salah kaprah menyebut SOLO untuk SURAKARTA. Padahal usaha untuk lebih memasyarakatkan nama resminya yaitu SURAKARTA telah dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain dalam peta bumi dan paket pariwisata tertulis dengan nama Surakarta. Tetapi rupanya KOTA SOLO lebih mudah dilafalkan orang daripada nama resminya sendiri. Penggunaan nama SOLO dalam pandangan marketing memang terdengar lebih akrab, lebih menjual, lebih mudah diingat dalam pengucapannya. [caption id="" align="aligncenter" width="167" caption="advendy.blog.uns.ac.id"][/caption] Illustrasi :
joglopos.com, kbmwbu.jawatengah.go.id, kaskus.us, advendy.blog.uns.ac.id
KEMBALI KE ARTIKEL