Malam itu saya nongkrong di sebuah Wedangan sekitar Manahan Solo, saya lagi pengen menyendiri, menikmati kesendirian dengan kehangatan wedang jahe dan menu khas wedangan yang banyak di kota Solo itu. Malam itu pengunjung tidak begitu ramai, tiba-tiba ada seorang bapak datang dan duduk di sebelah saya, memesan segelas kopi tanpa gula, mengambil nasi kucing dan tahu bacem, ia pun menyapa saya. "Mari makan mas," "Monggo pak," jawab saya sambil tersenyum. Setelah bapak itu selesai menyantap, ia pun menyalakan rokok kreteknya, kami pun sudah terlibat pembicaraan yang cukup mengasyikkan. Pada suatu saat ia bertanya, "Suka menulis nggak mas?" "Untuk mengisi waktu luang saya menulis pak." "Menulis dimana?" "Di dunia maya pak, Facebook, Twitter, Kompasiana, Sabda Space, dan dimana saja yang saya sukai pak." "Saya juga suka menulis mas," "Oh ya, nulis dimana saja pak?" "Silahkan mampir ke rumah saya kalau ada waktu, nanti saya tunjukkan tulisan-tulisan saya," katanya sambil memberikan ancar-ancar rumahnya. "Telpon saja kalau mau mampir, kalau aku nggak jawab berarti lagi naik motor, jadi kamu nunggu sebentar terus di bel lagi, jangan di SMS ya, mata ini sudah nggak setajam dulu lagi." ***** Ketika ada waktu luang saya teringat pak tua di wedangan itu, iseng-iseng kutelpon, ah ternyata nggak menunggu waktu sudah ada jawabannya. Beliau nampak senang sekali dan menunggu kedatanganku saat itu juga. Sebuah rumah yang berpagar hijau dan rindang, di halaman depan ada sebatang pohon mangga yang sudah penuh kembang dan beberapa tanaman hias tertata rapi di sudut-sudut halamannya. Kulihat pak tua sudah menunggu kehadiranku, ia langsung membukakan pagar dan menyalamiku dengan hangat. "Ayo diminum ini sudah saya sediakan es jeruk bikinan istri saya, kalau kurang manis bilang saja ya." Wah sambutan yang luar biasa di siang yang terik ini, tanpa sungkan langsung saya teguk es jeruk itu, rasanya pas, tidak terlalu manis dan tidak terlalu kecut, es jeruk bikinan orang rumah biasanya lebih mantap daripada beli di warung, itu yang sering saya rasakan. "Saya itu suka menulis segala hal yang saya alami di buku ini mas, coba kamu baca, tulisannya kacau balau atau asal tulis?" katanya sambil menyodorkan sebuah buku tulis khas anak sekolah. "Tulisanku cukup banyak di buku-buku seperti itu." Setelah menerima buku itu saya buka halaman pertama, jidat saya mengkerut, kok tulisan khas anak SD nih. "Ha ha ha ha ha ha........buka saja agak ke tengah, saya memang menulis di buku-buku bekas anak sekolah yang sudah tidak dipakai anak atau cucuku, eman-eman kalau dibuang, saya manfaatkan saja buat corat-coret sehari-hari." lanjut bapak tua itu tertawa melihat keherananku tadi. Saya mulai menikmati tulisannya, tulisan khas ortu zaman dulu, ditulis dengan huruf latin bergaya miring dan ketika saya lihat semua tulisannya, kebanyakan ditulis dengan pulpen warna biru. "Saya menyukai warna biru!" katanya menjelaskan. "Tulisannya asyik lho pak, kenapa tidak ditulis ke media cetak atau dunia maya saja pak Pur?" tanya saya. Pak tua ini memang mengenalkan namanya dengan singkat PURNOMO. "Saya nggak terbiasa menulis dengan laptop atau komputer, HP saja model kuno, yang penting bisa buat pembicaraan saja." "Bagaimana kalau tulisan pak Pur saya unggah di medsos, misalnya Kompasiana?" "Ah terserah mas, tapi jangan membuat saya repot saja ha ha ha ha ha ha......." "Kalau saya bikinkan akun di sana?" "Ah nggak usah, saya belum tertarik nulis di media elektronik!" Begitulah perjumpaan saya dengan pak Pur di rumahnya yang sejuk walau di luar begitu menyengat panasnya. Saya pun pamit dan membawa satu buku tulis untuk saya baca dan ingin saya sebarkan di dumay ini. ***** Dan saya pun memilih sebuah tulisannya yang cukup mengasyikkan untuk saya tulis ulang di sini, siapa tahu bermanfaat bagai handai taulan yang membacanya, beliau memberi judul :
Cinta pertama jangan membuat bodoh By Purnomo Cinta pertama memang berjuta rasanya sehingga membuat yang bersangkutan mabok berat tanpa perlu minum miras. Luapan emosi bagai semburan lumpur Lapindo menggerus indera dan rapat membungkus rasio. Gombloh berdendang jorok, “Tahi kucing pun rasa coklat.” Apalagi kentutnya. Biar habis makan pete sepiring penuh, baunya seperti parfum yang sebotol kecil sejuta rupiah harganya. ***** Seorang gadis jatuh cinta kepada seorang pemuda. Ia tidak pernah menanggapi nasehat teman-temannya juga orangtuanya yang mengingatkan kekasihnya belum mempunyai pekerjaan tetap. “Cinta kami mengatasi segala masalah,” katanya menyitir slogan klise novel percintaan. Ia tidak mau tahu bahwa cinta perlu diberi makan. Mereka menikah. Mereka terlihat bahagia. Dua tahun berselang suaminya belum juga (mau) bekerja. Perempuan ini yang bekerja sebagai guru terpaksa sering berhutang untuk membeli susu kaleng anaknya. Sekarang ia sedang mengandung anaknya yang kedua. Teman-temannya tidak berani bertanya apakah ia masih mencintai kekasihnya karena tidak ingin melihatnya menangis. Karena, ia pernah bercerita dengan mata berembun, suatu siang dari kamar tidurnya ia mendengar perbincangan suaminya dengan teman yang datang berkunjung. “Bekerja? Buat apa? Buat apa aku punya istri kalau ia tidak bisa menyenangkan aku? Gajinya dan sampingan memberi privat les sudah cukup buat hidup.” ***** Suatu malam menjelang pukul 9 saya ke Pasaraya Blok M mencari makan. Saya makan tanpa selera karena pikiran butek. Baru saja atasan saya memberitahu ia tidak bisa menghadiri rapat semesteran besok pagi karena mendadak harus ke luar negeri. Bahan presentasinya langsung dikirim via imel ke laptop saya. Saya harus menggantikannya. Saya pusing karena presentasi itu harus dilakukan dalam bahasa Inggris, sesuatu yang belum pernah saya kerjakan. Maka sejak keluar dari kamar hotel benak saya mulai berlatih, berpikir dalam bahasa Inggris formal, bukan Inggris cowboy. Selesai makan saya masuk ke lift untuk turun ke lantai dasar. Sepasang remaja ada di dalam lift. Mereka berdiri merapat diri, kepala saling menempel. Kami hanya bertiga, tidak ada orang lain dalam lift. Lalu, saya melihat wajah mereka berhadapan. Kemudian, mereka berciuman lip-to-lip dengan tenang namun bekepanjangan. Saya juga tenang menyaksikannya dan kelenjar hormon saya tidak enjot-enjotan akibat pemandangan ini. Waktu pintu lift terbuka, saya berjalan keluar dan sampai di lapak-lapak yang menjual vcd bajakan baru saya kaget. Astaganaga, ternyata saya masih ada di Jakarta! Kesibukan otak saya “berbicara” dalam bahasa Inggris membuat saya lupa tidak sedang berada di luar negeri sehingga saya bisa tenang menyaksikan kedua remaja itu berciuman dalam jarak yang sangat dekat dengan saya.
(Bersambung) Sumber gambar :
pojokpulsa.co.id, katakata.co
KEMBALI KE ARTIKEL